l i m a b e l a s

Start from the beginning
                                    

Kaki Maira tetap mengikuti langkah Zainal meskipun nyatanya gadis itu selalu memalingkan wajah ke samping. Menghindari punggung tegap lelaki di depannya sebisa mungkin. "Dia tahu tapi berlagak nggak tahu. Suami yang luar biasa. Sampai kapan gue terjebak sama dia? Sampai gue mati?" gumam gadis itu terus menerus membuat Zainal geli mendengarnya.

"Dia pikir gue ini apa? Barang? Gue ini manusia, punya hak buat menentukan yang gue mau dan enggak. Dasar tukang ngatur. Seenaknya aja dia bikin gue nggak bisa keluar dari pilihan-pilihan gila kaya gini."

Zainal tiba-tiba berhenti membuat Maira terkejut luar biasa. Gadis itu lantas menatap galak Zainal yang membalikkan badan.

"Kalo mau berhenti bisa bilang dulu 'kan?"

"Kalau kamu mau membicarakan seseorang, usahakan yang kamu bicarakan tidak mendengar, Maira. Ini namanya kamu mengajak saya berdiskusi tentang betapa buruknya saya di mata kamu," ucap Zainal kemudian lantas menarik tangan Maira agak berjalan sejajar dengannya. "Jangan berjalan di belakang, kamu istri saya bukan yang lain."

"Ya biarin. Biar banyak yang tahu kalau lo itu nggak memperlakukan gue seperti istri kebanyakan."

"Sudahlah, tidak baik berdebat untuk hal yang tidak mungkin ada akhirnya."

Maira memutar bola mata jengah. Namun walau begitu, ia tetap ikut berjalan di samping Zainal yang sesekali tersenyum pada santri yang kebetulan lewat.

Sebenarnya rumah Abbah tidak begitu jauh dari tempat tinggal Zainal. Hanya berjarak dua gedung kecil dan sebuah kolam ikan. Hanya saja, jalan yang dibuat mengitari gedung tersebut berkelok hingga terasa jauh saat berjalan mengikuti jalan tersebut.

"Mulai senin depan, saya sudah masuk kantor."

Kepala Maira tertoleh. "Oh, lo punya pekerjaan? Gue kira lo ini pengangguran yang numpang nama sebagai ustadz."

"Saya tidak mungkin menikah bila saya menganggur. Tetap saja, saya seorang lelaki yang harus menafkahi istri dan anaknya kelak." Zainal terus berjalan, sesekali menoleh ke samping pada Maira yang sama sekali tak mau menatap padanya. Gadis itu, entahlah, sampai kapan akan bersikap acuh padanya yang selalu berusaha sabar. "Jadi selama ini kamu memperhatikan saya?"

Mendengar hal itu, Maira berdecih dalam hati.

"Satu lagi, Maira, ucapan kamu seperti tadi bisa saja membuat seseorang sakit hati, Maira."

Maira menghentikan langkahnya sambil bertanya, "Jadi, lo sakit hati sama gue?" Ia menatap Zainal dengan muka tak percaya.

"Kecuali saya. Karena saya tahu kamu memang tipe orang yang jika bicara selalu saja seenak hati, tanpa memikirkan perasaan orang lain."

Bedecak. "Lalu itu tadi apa? Perkataan lo juga udah nyakitin hati gue."

"Kalau begitu saya minta maaf."

"Maaf nggak diterima!" sentak Maira lantas berjalan cepat mendahului Zainal yang hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala.

****

"Jangan pergi plis. Di sini aja. Gue nggak mau berduaan sama Ummah. Nanti kalau gue ditanya macem-macem gimana?" Maira terus mencengkeram kedua tangan Zainal erat, enggan membiarkan lelaki itu jauh.

Dear, Ustadz (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now