l i m a b e l a s

17.7K 977 42
                                    

Sebab, mencintai yang bukan seharusnya itu adalah kenikmatan yang setan berikan. Dan mencintai yang halal adalah karunia yang Allah alirkan. Jadi, pilihan ada pada yang mencintai. Entah ia akan memilih jalan setan atau jalan yang Allah ridhai.

Dear, Ustadz

****

"Gue nggak ikut dulu ya," Maira batuk dua kali sambil menatap Zainal. "Kayanya gue sakit deh, lagi nggak enak badan."

Dalam dua detik, Zainal turut memandang gadis itu dengan alis mengerut. Tangannya lantas terulur untuk menyentuh dahi Maira perlahan. "Ah benar, sepertinya kamu sakit. Badan kamu panas."

Maira tersenyum senang seraya mengangguk semangat berulang. Saat tersadar sesuatu, dia langsung terbatuk lagi dengan wajah memelas, dibuat sepucat mungkin.

"Kalau begitu saya panggilkan dokter biar kamu bisa ditangani secepatnya," ucap Zainal lantas beranjak dari duduknya untuk mengambil ponsel di samping ranjang.

Mata Maira melotot. Spontan tangannya menyentuh lengan Zainal, menahan pergerakan pemuda tersebut. "Nggak usah. Gue Cuma kecapekan aja kok. Nanti dibuat istirahat pasti baikan sendiri."

Beberapa jenak setelahnya, bibir Zainal menipis. "Jangan menyepelekan sakit, Maira. Tetangga Abbah tiga hari lalu juga hanya mengeluh kecapekan, persis seperti kamu. Tapi, esok harinya meninggal karena tidak diberi perawatan medis."

"Lo nyumpahin gue mati?!" Maira memekik keras membuat Zainal justru tersenyum. "Kenapa?"

"Setahu saya, orang sakit tidak mungkin mampu berteriak sekencang tadi." Zainal mengambil peci dari lemari lantas berbalik untuk menatap Maira yang kini terus menggerakkan bibir kesal. "Jangan beralasan lagi, Maira. Kamu harus ikut saya ke rumah Abbah."

"Gue nggak mau!"

"Ada masalah apa memangnya? Apa ada dari sikap Ummah yang membuat kamu tidak nyaman? Kalau ada, biar nanti saya sampaikan sekalian," ujar lelaki itu.

"Jangan!"

Mana bisa Maira bilang kalau sejujurnya dia agak canggung kalau dihadapkan Ummah yang super lembut begitu? Bagaimana pun juga, entah sebab apa, dia tidak sanggup membuat Ummah kecewa atau semacamnya. Hanya saja ya itu tadi, dia tidak pernah bisa leluasa bertindak atau berucap bila ada wanita itu. Maka dari itu, dia menolak untuk diajak mengunjungi Ummah pagi ini.

"Jahat banget nggak sih, kalau sampai lo bilang ke Ummah menantunya ini nggak suka sama sikapnya beliau?"

Lagi, lelaki itu tersenyum. Apa mungkin satu-satunya keahliannya Cuma tersenyum?

"Maka dari itu saya bertanya karena tidak mungkin kamu menyebutkan hal yang tidak kamu sukai dari Ummah. Saya tahu kamu tidak akan membuat Ummah kecewa, Maira." Zainal lantas mengambil lengan kanan Maira lantas ditariknya pelan mengikuti irama langkah kakinya.

Dalam satu sentak, Maira melepaskan tangan itu. "Bukan berarti lo bisa mengambil kesempatan dalam kesempitan juga."

"Saya kira kamu masih sakit hingga tidak begitu sanggup berdiri."

Maira menyipitkan mata. "Lo ngeledekin gue?"

Tawa Zainal tiba-tiba terdengar. "Saya tahu betul seperti apa orang sakit dan orang yang berpura-pura sakit. Setiap ucapan adalah doa, Maira. Jangan lagi kamu berucap sakit saat badan kamu bugar. Sebab, Allah bisa saja mengabulkan ucapan kamu. Bahkan ada sebagian orang sakit yang selalu bilang ia sehat, dengan harapan bahwa ucapannya itu akan menjadi doa yang dikabulkan Allah."

Dear, Ustadz (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now