3

23.9K 492 8
                                    

<< seandainya aku terlahir kembali, aku tak ingin menjadi saudaramu, aku akan meminta untuk menjadi pasangan sehidup sematimu. Bolehkah? >>

♥♥♥

Keesokan paginya, saat bertemu adikku ia tampak bersikap biasa. Seperti tidak ada apa-apa. Padahal semalam aku tidak bisa tidur efek kelakuannya itu.

Tak mungkin juga aku menanyakan hal semalam. Mengingatnya saja aku sudah malu.

"Pagi, Kak. Nyenyak tidurnya?" Sapanya dengan senyum tersungging. Ia mengambil piring dan menaruh nasi goreng sederhana buatanku diatas piring.

"I-iya. Nyenyak." Aku ikut duduk bersebarangan dengannya.

Entah mengapa saat melihatnya mulai menyuap, ada perasaan was-was. Takut nasi gorengnya tidak enak. Aku berdebar menunggu reaksinya.

"Hemm, enak. Kakak yang bikin?" tanyanya menatapku dengan senyum yang masih tersungging. Kenapa pagi ini ia tersenyum terus. Apa ada yang membuatnya bahagia.

Cara makannya saja ia terlihat elegan. Bener-bener beda kelas rasanya.

"I-iya." Akhirnya aku bisa bernapas lagi setelah mendengar jawabannya. Berasa sedang ujian. Kenapa pula tadi aku sampai menahan napas. Bahuku pun mulai rileks kembali saking tegangnya. Huft. Horornya melebihi juri acara masterchef.

"Aku kayaknya bakal pulang malam. Kakak nggak usah nyuci atau melakukan pekerjaan rumah apapun. Sudah ada si bibi. Cukup di awasi saja. Ini aku kasih kartu debit. Takutnya kakak pengen jalan-jalan atau jajan. Tapi bagusnya sih sama aku aja kalau emang mau pergi."

Ia menyerahkan sebuah kartu berwarna gold langsung ke tanganku. Aku hanya mengernyit. Tak paham itu kartu apa pula. Cara pakainya saja aku tak mengerti.

Ia mendekatiku lalu duduk disebelah. Tangannya memerangkapku. Aku memang duduk di pojok dinding. "Makan yang banyak ya, Kak. Biar pipinya jadi cuby. Nggak tirus begini." Ia mengusap pipiku lembut. Hembusan napasnya pun menerpa pipiku.

Jantungku jangan ditanya seperti apa. Sudah bertalu-talu tak karuan sedari tadi. Bukankah seharusnya aku merasa biasa saja? Tapi kenapa jadi salah tingkah begini. Semoga saja mukaku tidak memerah.

"Mukanya merah gini jadi makin cantik." Entah ia akan melakukan apa, tapi jarak kami semakin dekat. Aku pun tak mampu bergerak. Kaku.

Tok tok tok!

Suara ketukan menyadarkanku. Dengan segera aku keluar dari kurungan tangannya. "Ke-ke depan dulu yaa." Tanpa menunggu jawaban aku segera berdiri dan mencari jalan lain yang tak harus melewati lelaki ini. Bisa-bisa aku dijahilin lagi. Dasar.

Dengan setengah berlari aku ke ruangan depan. Menghampiri tamu yang sudah mampir pagi buta begini.

Fiyuh!

Untung saja aku selamat. Kalau tidak, entah aku akan di apakan. Tapi dari adegan di televisi yang pernah aku tonton, biasanya kalau sudah seperti itu akan ....

Ih, aku mikir apa sih!

Aku memukul kepalaku biar nggak mikir aneh-aneh.

Setelah membuka pintu yang ternyata si bibik -- penyelamatku untuk hari ini -- aku masuk kembali ke ruang makan. Ternyata adekku sudah tidak di tempat.

Aku celingukan mencarinya. "Ke mana dia ..."

Saat aku berbalik ternyata ...

Dug!

Aku menabrak dada bidangnya. Keras sekali. "Duhhh!" Memerah nih jidatku sepertinya.

"Nyariin, yaa," ujarnya dengan sorot jahil.

"Pede banget!"

"Hahaha. Nggak ngaku lagi." Ia tertawa sambil mengacak rambutku gemas. "Kakak lucu."

Kenapa aku jadi merasa seperti bocah ya dihadapan lelaki ini. Kan aku kakaknya. Kok malah jadi kebalik sih. Ck.

"Aku berangkat ya, Kak." Ia menarikku dan dalam sekejap aku sudah dalam dekapannya. "Hati-hati di rumah. Kalau ada apa-apa langsung kabari aku." Kurasakan ia mengecup rambutku berkali-kali.

Ada sesuatu yang menjalar hangat di dalam dada. Entah perasaan apa ini. Walau baru beberapa hari, perlakuannya membuatku merasa istimewa. Inikah adikku? Kenapa seperti ada perasaan tak rela dengan sebutan itu. Ada apa dengan hatiku.

Ia melepas pelukan dan berjalan memasuki kendaraan roda empatnya. Membunyikan klakson, tak lupa senyum manis mengiringi kepergiannya sebelum melaju membelah jalanan.

Setelah ditinggal pergi, aku bingung mau melakukan apa. Mau melakukan pekerjaan rumah, si bibi melarang. Katanya ia sudah disuruh untuk tak membolehkanku melakukan pekerjaan apapun.

Bolehkah aku merasa terharu?

Apa aku mencari kerja saja ya. Rasanya aneh tak melakukan apapun. Setelah biasanya aku selalu bekerja keras banting tulang lalu sekarang berpangku tangan. Sepertinya memang aku harus mencari kegiatan.
Baiklah. Ayo, kita cari.

***

Tok tok tok!

Aku yang sedang menonton televisi merasa malas mendengar ketukan pintu. Lagi pewe. Tak ingin diganggu. Mana si bibi lagi di belakang pula. Pasti dia tidak dengar.

Kalaupun itu adikku, rasanya dia takkan mengetuk pintu. Pasti langsung nyelonong masuk. Toh, ini rumahnya.

Dengan enggan aku pun beranjak dari sofa. Memutar kunci dan membuka pintu.

Tampak seorang gadis cantik dengan rambut lurus sepinggang, memakai dress selutut tanpa lengan, tersenyum manis. "Permisi. Saya mencari Alden. Saya tidak salah rumah kan?" tanyanya sambil celingukan.

"Hemm, iya benar. Ini rumahnya. Tapi Alden belum pulang. Katanya pulang malam." jawabku menjelaskan.

Gadis ini begitu sempurna. Tinggi, putih, body aduhai, kulitnya licin, wajahnya jangan di tanya. Pokoknya cantik.

"Ah, ya. Mbak siapa?" tanyanya sopan.

Nilai plus lagi. Gadis ini sopan dan ramah.

Ya ampun! Perpect!

"Saya kakaknya." Entah mengapa aku merasa tidak rela mengatakan statusku.

"Oh, Kakaknya. Salam kenal calon kakak ipar. Saya Anggita, Pacar Alden." Ia menyodorkan tangannya dengan senyum tak lepas dari bibirnya.

Dan aku hanya mampu terpaku menatap gadis perfect di hadapanku.

Pacar??

***

Dudududu

Aku juga no komen ah

Cinta Terlarang (Buku Stock Ready)Where stories live. Discover now