"Sabrina," Ayah memanggil dari arah pintu kamar yang terbuka.

"Ya?"

Ayah menghampiri dan duduk di sebelahku. "Ayo kita sarapan dulu, Nak."

"I-iya, Yah." Aku mengusap wajahku. Barang kali masih ada sisa air mata.

Ayah mengelus kepalaku, sementara aku memasukkan ponsel dan dompet ke dalam tas selempang.

"Ayah tahu ini berat untukmu. Tapi semuanya pasti ada hikmahnya. Kamu harus kuat dan sabar."

"Iya, Yah. Makasih." Aku memeluknya.

"Kamu tetep anak Ayah. Dan enggak ada yang bisa ngubah itu."

"Gimana dengan Mama?" tanyaku seraya melepaskan pelukan. Air mataku menggenang di pelupuk. "Mama enggak terima aku di sini, Yah. Aku kan pengen banget dipeluk Mama walau cuma sekali."

Ayah menarikku ke dalam pelukannya. "Suatu saat nanti, kamu akan dapetin banyak pelukan dari Mama, Bri. Ayah janji."

***

Tepat pukul sembilan, kami berangkat menuju tempat acara. Kata Adera tadi tempatnya tidak jauh dari sekolah kemarin. Jadi sebaiknya kami datang ke sekolah lebih awal agar bisa ikut membantu Adera dan teman-temannya.

Mengenai surat untuk Mama, kali ini aku memberanikan diri untuk meminta tolong kepada Ayah untuk menyampaikan surat tersebut. Aku pun mengatakan alasan kenapa surat ini dititipkan kepada Ayah, bukan memberikannya langsung kepada Mama. Pertama, aku belum berani berbicara apa pun meski aku tetap melakukan aktivitas seperti biasa; mencuci piring, mencuci baju, dan memasak bila diperlukan. Kedua, kenyataan bahwa selama ini surat yang kukirimkan setiap tahunnya selalu berakhir di tempat sampah. Jadi, kalau aku memberikan kepada Mama langsung, pasti akan berakhir di tempat yang sama.

Ayah tentunya terkejut mendengar penjelasanku. Karena memang sebelumnya Ayah belum pernah mengetahui perihal surat-surat ini. Dan akhirnya Ayah berjanji kepadaku kalau suratku kali ini akan dibaca langsung oleh Mama.

Motor Sadam berhenti beberapa meter dari sekolah. Kini tempat itu telah sedikit berubah. Kayu dan papan yang digunakan sebagai dinding sudah di cat dengan warna cerah. Terlihat hiasan warna-warni yang tergantung di sisi dinding.

"Kakak Sabrina...," teriak Angel dari arah tirai. Teriakannya cukup membuat anak-anak kecil yang lainnya melihat ke arahku. Lalu, dia berlari ke arahku dengan penuh semangat.

Aku tersenyum. Tanganku pun terbuka lebar untuk menyambutnya, tapi kaki mungilnya entah mengapa terlihat tidak imbang. Hingga mau tak mau aku harus cepat menghampirinya agar Angel tak terjatuh. "Sebentar, Dam."

"Ha?"

Aku tak lagi menggubris pertanyaan Sadam. Pandanganku fokus kepada Angel. Aku berlari ke arahnya bukan dengan wajah senang karena menyambutnya, tapi wajah khawatir. Dan benar saja, badannya terhuyung ke depan ketika kami berjarak kurang dari satu meter. Untung saja aku langsung menangkapnya.

Gelap.

Hening.

"Kak... bangun, Kak."

Mataku terbuka perlahan.

"Bri, bisa denger suara gue?" Suara Sadam terdengar, tapi aku belum bisa memfokuskan pandanganku. Dia sedang menempelkan sesuatu di keningku.

Sepertinya kepalaku terantuk sesuatu tadi. Sakit sekali.

"Sadam," panggilku.

"Ya?"

"Gue kenapa?"

"Tadi Kakak nolongin Angel pas Angel mau jatuh. Terus Kakak meluk Angel, tapi Kakak malah jatuh sambil meluk Angel. Terus kakaknya enggak bangun-bangun." Angel mengatakannya sambil memijat-mijat tanganku.

Keningku mengernyit. Lalu, kucoba untuk bangun dan duduk. Kulihat sekitar. Ternyata aku berada di dalam kelas. Aku berada di atas tikar, di tempatku bercerita tempo hari.

"Sabrina," Adera muncul dari balik tirai. Terdapat dua kantong plastik besar di tangannya. "Ini minum dulu." Dia mengeluarkan botol air mineral dan membukakannya untukku. "Minum, Bri, biar enakan."

"Iya, Kak. Makasih."

"Ini buat kalian juga, ya." Adera memberikan satu kantong plastik yang lainnya kepada teman-temannya. "Jangan sampe enggak minum. Soalnya kita bakal seharian di sini."

"Siap, Komandan!" sahut cowok berambut ikal dan memakai kacamata.

"Makasih lho, Bang. Bang Dera tahu aja nih kalau Ira lagi haus." Cewek berwajah imut dengan rambut pendek itu langsung meneguk habis air mineral miliknya.

"Lo kesambet apaan, Ra, ampe tuh air raib seketika dari botolnya?"

Ira melirik tajam ke cowok di sisi kanannya. "Ih, apaan sih lo, Cat! Airnya kan gue minum. Lo kira gue miss kunti apa, ha?!"

"Hei, apa-apaan sih kalian ini? Kasih contoh yang baik dong ke anak-anak di sini." Adera menoleh ke arah Angel. "Angel, jangan kayak dua kakak itu, ya."

"Bang Dera harusnya salahin Icat dong. Dia kan mulai duluan," sahut Ira. "Angel, ikut Kak Ira yuk ke depan."

"Ngapain?" tanya Angel dengan polosnya.

"Aku mau bikin sesuatu buat Kak Bri. Angel mau ikutan enggak?"

Tentu saja aku terkejut ketika namaku disebut. "Kok aku?"

"Gue ikut, Ra."

Sontak aku menoleh ke asal suara. Itu suara Sadam. Dia tersenyum kepadaku dan langsung berdiri. "Angel, ayo ikut Kak Sadam. Biarin Kak Bri istirahat dulu."

Mereka bertiga keluar, sedang Icat masih sibuk menata makanan kecil di meja.

"Ya udah. Aku tinggal juga, ya. Kamu bisa istirahat dulu sebelum acara dimulai." Adera mengelus kepalaku dengan lembut, membuatku salah tingkah. Lalu, dia menghilang begitu saja di balik tirai tanpa menghiraukanku yang sedang kebingungan ini.

"Eh, kok pada pergi, sih? Kan aku mau bantuin kalian juga."

"Nyantai aja, Kak. Persiapan udah hampir beres semua, kok," kata Icat seraya memberiku kue cokelat. [] 

MAHKOTA KERTAS [tamat]Where stories live. Discover now