Epiphany 2.0

690 121 33
                                    

Episode 16,
Epiphany 2.0

Langit berselimut mega mendung kala itu. Angin berhembus lebih kencang dari biasanya menerbangkan dedaunan dari tangkainya. Entah mengapa cuaca hari itu seolah mampu membaca ratapan hati Sana.

Ayah kandung Sana hanyalah seorang nelayan Kota Ine yang penghasilannya tidak akan mampu membiayai pendidikan Sana di Korea. Meski demikian Sana tetap bahagia punya sosok ayah yang selalu mendukungnya dan memerhatikannya seperti permata yang paling berharga. Tapi sekarang suara itu bergetar, mengucap salam perpisahan pada putrinya karena setelah ini ia akan menitipkan Sana pada sang ibu.

Sana tersenyum getir. Butiran air menetes mengenai layar ponselnya. Bukan, itu bukan air matanya melainkan air mata mega itu. Sana memejamkan mata seraya mendongak, berusaha menahan air matanya agar tidak lolos. Ia biarkan tangisan awan menerpa wajahnya berharap itu akan membasuhnya dari kekacauan. Tapi tidak, air yang menghujam makin keras itu malah mendesak mutiara bening di netra Sana melesak.

Sekujur tubuhnya kuyup dan perasaannya tidak membaik sedikit pun. Ia bahkan tidak peduli lagi bahwa pria itu melihatnya hancur. Dan benar saja, Taehyung yang bernaung di bawah atap itu memang melihatnya. Dalam diamnya itu, ia menangkap sisi lain seorang Sana.

Kaki Taehyung terayun membawa dirinya melawan hujan. Dihampirinya jiwa yang kesepian itu dan entah iblis apa yang merasukinya, ia melahap bibir dingin Sana, menghabisinya di bawah hujan tanpa rasa berdosa.

Sana yang normal tentu akan menampar Taehyung karena kelancangannya tapi saat ini ia tidak merasakan apa-apa selain ketidakberdayaan. Jiwa Sana memang kering dan jika ada seseorang yang bersedia menyiramnya, Sana tetap akan berterima kasih terlepas waras atau tidaknya cara yang dilakukan.

Lutut Sana lemas membawa diri rapuh itu ambruk. Taehyung ikut berjongkok lalu ia sibukkan dirinya memandang wajah pucat yang netranya terpejam. Ia melihat bibir manis itu terbuka dan sontak Taehyung mendekat ingin mendengar suaranya.

"Menciumku di saat seperti ini, kau memang baj*ngan." gumam Sana. Taehyung tidak akan kaget, ia juga tahu siapa dirinya dan apa yang pantas menjulukinya. Sudut bibirnya tertarik membuat senyum lain yang ganas.

"Kalau begitu kau harusnya menolak. Tapi apa yang kau lakukan?" Balas Taehyung tegas. "Seems like you need me more."

Manik hazel itu membelalak mendengar pernyataan sepihak Taehyung yang menjatuhkannya.

"Tell me now, am I wrong?" Ia bersuara lagi, "Kau harusnya bersyukur karena hidupmu tidaklah hancur. Kau masih punya akal sehat untuk memperjuangkan kehidupanmu sendiri."

"Taehyung... Sana... astaga kenapa kalian hujan-hujanan?" Pekikan wanita itu menarik atensi Taehyung. Kini ia melihat wanita paruh baya itu setengah berlari menghampirinya. "Kenapa kau tidak pernah mendengarkan Ibu, huh?"

Pria Kim itu menegakkan tubuhnya. Ia sudah sangat jenuh mendengar omelan wanita itu siang dan malam. Ketika ia pikir wanita itu akan berdiri di hadapannya dengan wajah marah, realita justru membuatnya memutar otak. Di hadapannya ia seperti melihat drama dalam kehidupan nyata bagaimana ibunya malah menghampiri anak orang lain dan lebih mengkhawatirkan gadis itu dibandingkan apapun.

Tangannya terlipat sedang benaknya tidak berhenti memikirkan kemungkinan demi kemungkinan. Memang Taehyung bukan orang yang suka memerhatikan hal-hal kecil, tapi yang satu ini mengarahkannya pada satu kesimpulan tunggal.

Taehyung geleng-geleng kepala hampir ingin menepuk jidatnya sendiri.

Aah, jadi dia putrimu yang dari Jepang itu? pikir Taehyung menarik kesimpulan ketika ibu tirinya mengajak Sana untuk berdiri. Sekarang netra hazel itu menatapnya dingin. Berani bertaruh, gadis itu masih belum menyadari apapun selain gejolak hasil kriminal Taehyung mencuri ciumannya.

Taehyung tidak tahu harus senang atau apa akhirnya tidak menjadi satu-satunya hal yang diperhatikan karena masalah yang ia perbuat. Paling tidak adik tirinya yang berprestasi itu bisa mengaburkan eksistensi buruknya dalam bahtera tak berharmoni itu.

"Taehyung, antar adikmu pulang ganti baju! Ayah dan Ibu akan tunggu di restoran untuk makan malam, ya?" titah wanita itu. Giliran Sana mengernyit kaget dengan statemen ibunya barusan.

*

Taehyung menyibak surai basahnya seraya meraih handuk. Sana justru terlihat linglung memasukki rumah besar itu terang sekali benaknya sedang memproses banyak informasi sekaligus. Pria itu beringsut melempar handuk membuat otaknya menangkap realita.

"Di rumah ini ada iblis, dia merasukki siapa saja," cerita Taehyung mengias karakter rumah itu dan penghuninya. "Buka mata dan terimalah dengan lapang dada. Ini hidupmu yang sekarang!"

"Aku tidak butuh nasehatmu!"

"Sebenarnya aku menyindirmu!" akunya blak-blakan.

"Boleh aku pinjam uang? Aku akan tinggal di luar. Kubayar nanti sambil kerja." Tanya Sana spontan. Ia jelas tidak ingin tinggal di sana.

"Aku tahu tempat sewa kamar murah. Sewa saja kamarku, kau tidak perlu membayarnya!" jawab Taehyung tak kalah spontan. "Di rumah ini cuma ada 3 kamar tapi 1 kamar dipakai ibumu menyimpan koleksi sampahnya."

Pria itu mengambil satu handuk lagi untuk mengeringkan rambutnya sendiri.

"Lagian aku jarang memakainya. Live here and be a good girl!"

"Kau harusnya mengatakan itu pada dirimu sendiri!" Taehyung tidak tahu kenapa ia terkekeh padahal Sana tidak sedang melucu.

"Aku tidak segila itu bicara pada diri sendiri," katanya. "Ngomong-ngomong kamarku di lantai atas. If you need me, I'm one call away."

Sana membuang muka mendengar penuturan Taehyung. Ia membalik badan bersiap menginjak anak tangga di belakangnya. Ia lalu bergumam.

"Jangan menyentuhku lagi!"

"Hey!" panggil Taehyung ketika Sana menginjak anak tangga ketiganya. Gadis itu tidak sedikit pun berpaling.

"Tell your devil. Nevermore call me that way!"

Dengar itu, Sana. Bad boy tidak punya sistem pertahanan seperti itu.

*

P.s:
vomment dulu lah biar 'thor' seneng

MoonwakeWhere stories live. Discover now