Abraham dan Hujan

232 47 9
                                    

Payung milik Abraham tidak jadi terbuka. Hujan seolah menghipnotisnya. Kepalanya menengadah menatap awan kelabu yang berarak di atas sana dan menurunkan ribuan serat-serat halus rinai.
Apa kabar?
Tanpa sabar ia berujar di dalam hati. Sudah lama ia tak bertemu dengan gadis pemalu yang suaranya begitu lembut. Hingga dirinya harus menunduk dan mendekat setiap kali gadis itu bicara.
Namun, kenangan menyakitkan lain menghajar Abraham dengan telak. Ia tertawa dan menggeleng. Tak menyangka bisa rindu pada satu-satunya gadis yang menarik perhatian Abraham dan kemudian membuat sakit hati di saat bersamaan.
“Jika bukan karena dia adalah seorang ketua kelas, mana mau aku berteman dengan Abraham. Ayahnya seorang penjahat.”
Saat itu Abrahan terpaku di tempatnya. Tidak mampu berlari menyelamatkan Lily yang sedang dikerumuni anak-anak perempuan di kelas. Suara gadis itu cukup keras. Aneh. Bahkan mengalahkan kerasnya suara hujan yang jatuh di atas atap seng sekolah.
Ia melihat Lily menoleh padanya. Air mata membasahi pipi si gadis. Akan tetapi, tidak ada lagi rasa simpati yang hadir di hati Abraham. Kalimat Lily sudah menguapkan semua rasa kecuali kemarahan.
Abrahan tersentak, menyadari jika ia dan Lily berada di tingkat yang berbeda. Lily dengan kemewahan yang selalu berada di sekelilingnya. Abrahan dengan masa lalu sang ayah membayangi. Beruntung untuk Abrahan karena hari itu adalah yang terakhir bertemu Lily.
Sayang sekali, kini ia harus kembali. Ayahnya meninggal di dalam tahanan karena penyakit paru-paru kronis. Dunia Abraham yang ingin ditinggalkan harus kembali lagi ke titik awal.
Ponsel Abraham berdering. Ia merogoh saku celana pendeknya.
“Kamu di mana? Nyasar?”
Suara Ibu terdengar cemas dan juga bergetar.
“Aham segera ke halte, Bu. Maaf.” Ia putuskan panggilan dan berlari dengan paying tetap masih tertutup.
Ingatan tentang gadis dengan suara lembut nyaris tidak terdengar itu datang lagi. Mereka pernah berlari di bawah hujan sambil tertawa.
***
“Neng Lily nggak mau nunggu di pos satpam saja?”
Penjaga sekolah bertanya saat didapati murid yang kerap kali pulang paling akhir karena menunggu jemputan yang jarang sampai tepat waktu itu berdiri di gerbang depan yang tak memiliki atap.
Lily menggeleng, tersenyum dan menatap jalanan.
“Nanti sakit, lho, Neng?”
Lily kembali menggeleng. “Sebentar lagi jemputan saya sampai, Pak.” Suara lembutnya terdengar di antara deru hujan yang menghantam pepohonan dan juga tanah.
Penjaga sekolah menunggu beberapa saat, berharap si gadis berubah pikiran. Kemudian ia menyerah dan meninggalkan Lily begitu saja, melanjutkan pekerjaan memeriksa kelas sekaligus menguncinya.
Lily menatap langit kelabu. Apa kabar? Ia tersenyum mengingat sebuah nama.
“Hujannya lebat.”
Lily tersentak, secara spontan menunduk. Ia mulai berharap jika anak lelaki yang mengajaknya bicara segera pergi.
Satu ….
Dua ….
Tiga ….
Anak lelaki itu masih saja berdiri di samping Lily. Sesekali menendang genangan air di lantai dan menengadah.
“Jemputanmu belum sampai?”
Lily kembali diam. Jantungnya berdebar cepat dan kepala sedikit pusing.
“Kamu takut padaku, ya?”
Bayangan anak lelaki itu menimpa wajah Lily. Perlahan ia mengangkat wajah dan menatap dengan mata berkaca-kaca. Tak berapa lama pandangannya kembali turun dan berhenti pada tangan yang terulur. “Kamu pasti tahu jika kita teman sekelas. Tidak afdol jika aku tidak memperkenalkan diri padamu, kan?”
Kembali ia berharap teman lelaki yang sekelasnya pergi. Begitu lebih baik, lebih aman untuk hidupnya.
“Abraham.” Tangan anak lelaki tersebut masih terulur. “Aku sudah cuci tangan setelah dari toilet, jadi steril.” Ia pamerkan senyum paling menawan.
Bunyi klakson mobil membuat keduanya menoleh ke arah yang sama secara bersamaan. Mobil hitam yang dikendari sopir pribadi keluarga Lily telah sampai. Mengabaikan uluran tangan, Lily melarikan diri menuju halaman sekolah.
“Namamu Lily, kan? Salam kenal!” Anak lelaki bernama Abraham itu berteriak.
Lily mengigit bibirnya menahan senyum yang akan terbit. Berharap esok hari Abraham akan memperlakukan hal yang sama.
“Non?”
Lily mengerjap. Ia menurunkan pandangan. Mang Pardi sopir pribadi keluarganya sudah berdiri sambil menggulurkan payung.
“Kenapa Non Lily tunggu di luar? Besok tunggu di dalam saja.”
Mang Pardi membiarkan Lily berjalan terlebih dahulu. Ia dengan berlari kecil mengikuti dari belakang, lalu menyusul dengan cepat saat anak majikannya hampir sampai di pintu mobil.
“Makasih, Mang,” kata Lily pelan sebelum masuk ke dalam.
Setelah pintu mobil tertutup, Lily masih memandang pada hujan di luar sana melalui jendela mobil.
Kamu tahu aku menunggu yang ingin kamu katakana waktu itu?
Lily mendesah. Ia tak akan pernah mendengar suara Abraham lagi.

RAHASIA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang