Chapter 10 : Sebuah Ancaman

1.6K 124 13
                                    

"Aku akan menunda menemui Schnacke." Gumamnya kepada dirinya sendiri. Alexius menjilat bibir bawahnya dan menyeringai. "Waktunya berburu!!" Ucapnya dan berlalu meninggalkan ketiga saudaranya yang memandangnya datar.

Vincent menyugar rambutnya ke belakang. Matanya melirik Ihtheis dan Dellons. "Sebaiknya aku juga pergi. Bagaimana dengan kalian?"

"Pergilah! Aku akan pergi nanti, setelah menyelesaikan tumpukan berkas di meja ini." Sahut Ihtheis.

Vincent mengangguk lalu ia mengalihkan pandangannya kepada Dellons. Pria itu duduk terdiam sembari memikirkan perkataan Zalrath yang terus mengaing di kepalanya. Terasa mengganggu dan Dellons geram karena hal itu.

"Chaz?"

"Hmm..."

"Masih memikirkannya?"

Dellons menatap Vincent dengan alis terangkat. "Perkataannya tak bisa di remehkan. Kau tentu tahu apa maksudku bukan?" Balasnya.

Vincent mengangguk mengerti. "Kau terlihat mengkhawatirkan gadis itu?" Skakmat. Perkataan Vincent membuat Dellons marah.

Dellos menatap datar Vincent. "Sebaiknya kau pergi. Jangan menyalah artikan apa yang kau lihat. Gadis itu sama sekali tidak penting!" Setelah itu Dellons pergi meninggalkan Vincent dan Ihtehis disana.

Ihtheis menghela nafas. "Jangan memancing kemarahannya atau kau akan tahu akibatnya!!" Tegas Ihtheis memperingatkan Vincent.

"Aku tidak bermaksud begitu!" Setelah mengatakannya, Vincent menghilang begitu saja. Lagi-lagi ihtheis di tinggal sendirian disana bersama setumpuk berkas-berkas di meja.

Jika Ihtheis berkutat dengan setumpuk berkas-berkas di atas meja, Alexius justru menikmati harinya malam ini. Ya, waktunya untuk berburu bukan? Lalu apa lagi. Alexius berdiri di puncak gedung pencakar langit. Pria itu tengah memperhatikan seluruh kota. Ada banyak orang dan juga kendaraan yang berlalu lalang. Semua itu terlihat kecil dari atas gedung tinggi yang Alexius pijak.

"Ck, untuk apa aku mencari lagi. Bukankah kemarin aku sudah menandai target!" Decaknya saat menyadari sesuatu yg ia lupakan.

Setelahnya, ia menghilang dalam kabut dan muncul tiba-tiba tepat di tengah jalan yang sepi dan dari arah berlawanan, melaju sebuah mobil hitam. Sontak, mobil hitam itu berhenti secara mendadak dan si pengendara yang kesal mencaci maki Alexius. Karena tak digubris oleh Alexius, si pengendara keluar dari dalam mobil.

"Kau mau cari mati hah? Minggir dari jalanku!" Bentak pengendara itu marah.

Senyum tipis tersemat di bibir Alexius. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Lalu, ia berjalan menghampiri si pengendara itu. Alexius melirik mobil hitam yang di tumpangi si pengendara.

"Hmm... tidak buruk." Alexius lalu mengalihkan tatapannya kembali ke arah si pengendara. "Malang sekali nasibmu malam ini pak tua karena harus bertemu denganku."

"Apa kau perampok? Berapa uang yang kau minta akan aku berikan alaskan kau tidak membunuhku!"

Nyali pak tua itu menciut kala melihat seringaian yang tercetak jelas di bibir Alexius. Bulu kuduk pak tua itu meremang, tubuhnya mengigil ketakutan. Sorot mata tajam mengintimidasinya dalam gelap. Matanya memerah, seperti bukan mata manusia. Pak tua itu bergerak mundur, menghindari Alexius yang semakin mendekat.

"Tentu saja bukan? Memangnya wajahku seperti perampok huh?"

Ia mendekati pak tua yang tengah ketakutan. Tadi pak tua itu marah kepadanya, tapi lihatlah sekarang. Pak tua itu justru ketakutan. Huh, manusia memang begitu. Padahal Alexius berharap bertemu wanita muda tapi kenapa harus bertemu pak tua. Ck, dia sudah terlalu tua untuk di jadikan korban. Jiwa pak tua itu pasti tidak nikmat. Alexius mendegus dalam hati.

Falling In Love With Demons [Ongoing]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin