Minuman kami pun tak lama sudah sampai dan ketika melihat minuman itu aku tau apa yang dipesan Agam. Aku terhitung sangat sering datang ke club setelah kejadian buruk beberapa tahun silam. Agam mengangkat tinggi gelas kecilnya dan aku pun ikut mengangkatnya untuk membuat gelas kami saling beradu. Cairan hangat itu langsung membakar tenggorokanku. Aku dan Agam terus meminum minuman kami sambil mengobrol ringan.

"Mau turun?," tanyanya dengan gerakan kepala ke lantai dansa setelah malam sudah sangat larut. Dilantai dansa lumayan banyak orang yang menari-nari mengikuti musik. 

Agam mengulurkan tangannya dan aku pun menyambutnya hingga kami berdua turun dan bergerak mengikuti musik yang di putar oleh DJ. Aku meliuk-liukkan tubuh tanpa jaim sama sekali, Agam pun menggerakkan seluruh tubuhnya didepanku dengan sedikit lebih energik. Aku seperti melihat Agam yang sebenarnya dan begitupun sebaliknya. Namun untuk seperkian detik aku dapat melihat Agam yang berada di bawah lampu dansa itu terlihat sangat tampan, berkali-kali lipat lebih tampan. Mungkinkah karena aku minum?. Tapi tiba-tiba hatiku berbicara dengan sendirinya, "jangan mencoba bermain api Kamela." Aku langsung menundukkan pandangan dan terus meliukkan tubuh dengan lincah.

Agam POV

Jam dua pagi, di satu jalan yang diterangi oleh lampu berwarna orange senja. Banyak manusia yang masih belum tidur dan melewati jalan itu termasuk Kamela dan aku yang melewatinya dengan mobil Mercedes Benz milikku. Setelah puas mengobrol ringan, minum sampai menggerakan seluruh tubuh mengikuti musik, Kamela dan aku akhirnya memutuskan pulang. "Kamu bener mau nyetir?," tanyanya ketika jam satu pagi tadi di parkiran.

"Bener, saya sengaja cuman minum sedikit supaya diantara kita ada yang sadar."Kamela tersenyum sangat lebar, aku sedikit terkejut dengan senyuman itu. Baru aku melihat senyum itu setelah beberapa kali bertemu dengan Kamela. Pasti karena tadi dia banyak minum.

"Terima kasih Gam, kamu kayaknya bukan cowok brengsek." Aku tidak menjawab, tapi hanya tersenyum. Bingung harus menjawab apa. Dia berbeda sekali ketika sudah minum.

Ketika sedang menyetir aku menengok pada Kamela beberapa kali, Kamela terlihat memejamkan matanya. Aku tau dia tidak tidur, dia sepertinya hanya capek dan mungkin sedang memikirkan sesuatu. Terlihat dari keningnya yang mengkerut sesekali dan air matanya menetes sedikit dari ujung matanya. Aku memperhatikannya sampai aku terkejut ketika mobilku akan berbelok ke arah apartemen Kamela, Kamela tiba-tiba berkata, "Gam laper."

"Ehm, kamu mau makan dulu?." Aku agak salah tingkah karena merasa telah terpegoki sedang melirik beberapa kali sambil menyetir.

"Hem. Di ujung gang situ ada coffe shop 24 jam. Turunin aja disitu Gam."

"Saya juga laper kok." Aku membelokkan mobil. Kemudian berhenti tepat di depan coffe shop yang masih buka dan terlihat dari luar ada beberapa yang sedang mengobrol sambil meminum kopi atau memakan kentang goreng. Sebagian lagi yang hanya sendiri sambil bermain ponsel.  Aku menoleh, rasanya kasian jika dia makan disini. Terlihat sepertinya Kamela pusing dan mengantuk, daritadi dia memegang kepalanya. "Kamu mau apa?. Saya pesankan."

Kamela menelengkan kepalanya, memandangku sedikit lebih lama. Jujur aku merasa agak rikuh ditatap seintens itu oleh dia walaupun sebenarnya aku sudah cukup biasa di tatap seperti itu oleh wanita. Dia semakin terlihat sangat cantik saat ini. "Saya mau sandwich dan ice coffe, apapun kopinya samain aja kaya pesenan kamu."

Aku tersenyum pada Kamela. "Oke, tunggu disini." Aku langsung turun dan tidak lama kembali dengan dua gelas kertas kopi ditangan dan satu paper bag. Mengemudikan kembali mobil dengan tenang dan mengantarkan Kamela ke apartemennya. "Saya boleh diam dulu disini?," tanyaku. Aku tidak tega membiarkannya sendiri di apartemennya dengan keadaan seperti sekarang. Aku nanti akan pergi ketika dia sudah sedikit sadar. Kamela menjawabku dengan anggukan kepala kemudian terlihat Kamela tertidur di sofanya.

Kamela POV

Aku terbangun ketika jam didinding sudah menunjukan pukul empat pagi. Kepalaku terasa berat sekali. Aku melihat ke sekeliling rumahku, Agam sedang duduk di balkon memandang sesuatu. Aku berdiri menghampiri Agam dan ikut duduk disebelah Agam. "Kamu udah bangun?." Dia bertanya dengan tenang.

"Hem. Aku repotin kamu ya pasti sampai-sampai kamu harus nungguin gini." Aku mencoba mengingat apa yang terjadi semalam dengannya hingga dia berakhir duduk di rumahku.

"Sedikit, kamu lapar dan kita udah beli makanan tapi kamu malah langsung tidur pas nyampe rumah." Jawabnya sambil terkekeh. Aku sangat malu, aku lupa kebiasaanku kalau perutku selalu lapar jika minum.

"Sorry and... thanks ya." Aku ikut duduk di kursi yang ada dibalkonku itu.

"No problem, saya kan yang ajak kamu hang out juga. Oh ya disini pemandangannya bagus ya, udaranya juga bikin hati tenang walaupun ke badan bikin masuk angin. Oh iya ini kopi sama sandwich kamu." Agam menyodorkan kopi dan juga sandwich yang tadi dibelinya untukku.

"Thanks." Aku meminum kopinya dan membuka bungkusan sandwichnya. Memakan dalam diam. Jujur aku memang sangat lapar, tadi ketika sampai apartemen kepalaku sangat berat begitupun dengan mataku. Oh ya ampun, saking sibuknya aku akhir-akhir ini dan Keila yang sibuk dengan jadwal pemburuannya, aku udah agak lama gak minum.

"Kamu suka hidup sendiri Kamel?." Aku mengkerutkan kening ketika mendengar pertanyaan Agam itu. "Hidup seperti sekarang ini maksudnya. Pergi pagi, pulang sore ke apartemen sendirian." Agam memperjelasnya kemudian menoleh padaku yang sedang meminum kopi.

"Mungkin, iya." Jawabku dengan tatapan lurus. "Kamu?."

"Ya sama. Aku juga kurang yakin sih, tapi sejauh ini aku masih nyaman." Aku mengangguk membenarkan dengan apa yang dikatakan Agam. Terkadang memang kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi besok bahkan lima menit selanjutnya. Bisa saja hari ini kita menginginkan A, besok karena keadaan kita menginginkan B. Jadi aku menyetujui apa yang dikatakan Agam. Tapi dari itu, aku menangkap satu kegelisahan dalam jiwa Agam. Tidak tau apa itu, dia tidak mau bertanya. Itu urusan yang sangat pribadi.

Aku masuk kedalam sebentar mengambil ponselku dan memainkan sebuah lagu. Lagu dari Michael Bubble, Love you anymore.

"Suka lagu Michael Bubble?."

"Suka banget." Agam mengangguk-ngangguk dan kami berdua diam, saling menatap langit. Kami memang tidak saling bicara, tapi kami seakan menikmati waktu bersama saat ini. Entah lah aku merasa nyaman dengan seperti ini. Hingga matahari terbit dan menyemburatkan cahayanya. Agam dan aku terpukau sampai tidak ada yang bersuara, namun ketika aku menoleh yang aku lihat adalah seseorang yang baru dikenal. Pertanyaannya akankah seseorang yang baru aku kenal ini akan terus menjadi orang asing dan orang baru yang nyaman untukku?. Aku terkadang lebih nyaman dengan seseorang yang asing dan baru daripada orang yang sudah mengenalku lama. Mereka akan tau semua cerita ku. Menilai ku dan menuntut lebih. Aku lebih nyaman dengan seseorang yang menilaiku apa adanya saat ini.

"Saya pulang dulu ya. Makasih udah ijinin duduk disini lama."

"Gak masalah. Kamu gak mau sarapan dulu?."

"Kopi cukup ko dan kayaknya kamu butuh mandi juga tidur."

"Ya udah, makasih buat malam tadi. Kamu temen yang asyik." Aku tertawa mendengarnya, dia pun begitu.

"Kamu juga, saya harap kita bisa hang out bareng lagi." Agam berdiri dan meninggalkan apartemenku. Dari belakang aku cukup lama memandang punggungnya. Sudah cukup lama dia tidak melihat pungung laki-laki lebih dari sepuluh detik. Ada sesuatu yang aku temukan dari kepribadian Agam, kepribadian yang tidak pernah dimiliki oleh laki-laki lain yang pernah dekat degannya dan aku cukup penasaran. Namun, ini baru berapa kali pertemuan. Semua itu bisa berubah. Aku akhirnya menutup pintu dan masuk ke kamar untuk mandi dan tidur. Berharap hidupku akan selalu baik-baik saja seperti ini.

**

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 14, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ReasonWhere stories live. Discover now