Part 4

195 24 0
                                    

Aku melirik jam ditangan. Sudah pukul satu siang, tapi aku benar-benar malas untuk datang ke acara arisan di rumah mamah dan papah. Aku tau kedua orang tuaku menginginkan aku hadir di arisan itu bukan untuk menyiksaku, melainkan ingin aku bisa berbaur dengan saudara-saudara mereka seperti dulu, tapi yang jadi masalahnya adalah kejadian beberapa tahun lalu mengubahku menjadi orang yang berbeda. Dari yang awalnya sangat senang berbaur, sekarang sangat enggan apalagi dengan orang-orang yang tau kehidupanku di masa lalu. Ya kecuali orang tuaku dan Keila. Mereka tentu tidak akan membahas atau mengungkitnya lagi. Berbeda dengan saudara-saudaraku yang hadir disana akan bertanya, apa aku sudah mendapatkan penggantinya? atau apakah aku tidak bosan dengan mengejar karir terus menerus?. Paling parah, mereka akan mengungkit hal itu lagi. Aku heran, mereka seolah tidak pernah mencoba menempatkan dirinya jika berada diposisi ku.

"Huh...," aku menghela nafas dan menyambar tas juga kunci mobil. Berjalan keluar dari apartemen dengan langkah yang tegak dan dandanan yang sudah ku siapkan dengan baik dan pemikiran matang. Menjalankan Molly ku dengan sedikit tenang untuk mengulur waktu, tapi sayang aku tetap sampai di rumah mamah tepat jam dua siang. Hanya mengulur waktu 15 menit.

"Hai mah, sehat?." Aku datang dengan mencium pipi kanan dan kiri mamah. Mamah Winarni memeluk aku dengan erat kemudian memandang putrinya ini dengan malang. Oh mamah, aku tidak ingin pulang karena tau akan seperti ini.

"Sehat, kamu sehat juga kan?." Aku mengangguk dan menengok-nengok mencari papah. "Papah kamu masih di ruang kerjanya." Mamah mengerti dengan gerak-gerik ku.

"Ya udah aku ke ruang kerja papah dulu."

"Iya, tapi udah itu kamu keluar lagi dan bantu mamah buat bawain makanan buat keluarga kita dihalaman belakang." Aku tak punya pilihan selain mengangguk. Melesat ke ruang kerja papah dan mencium pipi papah langsung. "Hai pah. Masih sibuk aja sabtu gini?." Papahku, Widodo langsung menyimpan kertas yang ada ditangannya dan berdiri. "Sedikit kerjaan. Kamu gimana, sehat kan?."Papahku memang sama gila kerjanya seperti aku, tidak suka menunda pekerjaan sedikitpun.

"Aku sehat pah." Papah memelukku dengan hangat dan penuh cinta. Aku merasa papah masih merasa bersalah atas apa yang terjadi padaku. Terasa dari pelukan dan dukungan yang selalu dia berikan untukku. "Papah senang. Ya udah kamu cepetan bantu mamah kamu lagi. Nanti pasti mamah kamu teriak manggil nama kamu." Aku tersenyum mendengar suara papah dengan tawanya yang renyah. Hal itu yang jadi salah satu alasanku rindu rumah.

"Kamela...,"

"Tuh kan." Papah menepuk bahuku dan kembali duduk di kursinya. "Sana kamu bantuin, papah seleseiin ini sedikit lagi." Aku akhirnya keluar dari ruangan papah dan membantu mamah untuk membawakan berbagai macam makanan yang dibuatnya. Selagi merapihkan makanan, aku dihampiri oleh salah satu saudaraku yaitu kakak dari mamah. Oh tidak, jeritku dalam hati.

"Kamela, tambah cantik aja," sapanya langsung dan aku tidak bisa lari lagi. Akhirnya apa yang bisa aku lakukan selain memeluk Tanteku, Ratih. "Hai tante."

"Kamu masih jadi Manajer Akunting di perusahaan Kosmetik Nature?."

Dengan pura-pura sibuk merapihkan makanan agar tante tidak terlalu lama disini, aku menjawab. "Masih tante. Memang tante mau aku kerja dimana lagi?."

"Ya barangkali aja kamu udah pindah kerja di perusahaan lain karena ada tawaran menarik lain?."

"Oh gitu. Oke, nanti kalau aku pindah kerja aku bilang deh sama tante." Aku dengan malas-malas membalas perkataan Tante Ratih. Entah kenapa aku sekarang menjadi wanita yang sangat sensitive terhadap apapun perkataan yang dikatakan oleh orang sekitarku, terutama orang yang mengetahui seperti apa hidupku kemarin.

"Ya udah mau kerja dimanapun kamu, kamu harus inget jangan kejar karier terus."

"Iya. Saya akan usahakan tante." Tante Ratih yang mulai terbiasa dengan jawabanku yang selalu ketus dan singkat akhirnya pergi. Aku menghembuskan nafas lega. "Kamela," mamah ternyata ada dibelakangku dan mendengar percakapan antara Tante Ratih dan aku. "Jangan kaya gitu sayang. Gimanapun dia tante kamu."

"Maaf mah." Aku tidak ingin memperpanjang masalah, aku sangat menghargai mamah. Selain itu aku juga yakin kalau mamah pasti sebetulnya mengerti mengapa aku seperti tadi.

"Ya udah kamu makan dulu," titah mamah sambil meletakkan gurame asam manis di meja prasmanan.

"Iya mah." Aku menyendokkan makanan dipiring putihku dan duduk sendiri di meja kosong. Aku memang sengaja memilih tempat kosong agar tidak ada yang menggangguku ketika makan. Sayangnya, baru tiga suap ada sepupuku yang datang. "Kamela sendirian aja sih."

"Hai Sinta." Aku tidak menjawab kalimat Sinta dan lebih memilih menyapanya karena tidak mau memperpanjang obrolan.

Sinta duduk dengan piring yang dibawanya. "Gimana kerjaan kamu sekarang Mel?. Pasti seneng ya jadi Manajer, aku sih masih aja stuck jadi karyawan."

    "Gitu-gitu aja sih. Tenang aja nanti juga lama-lama kamu jadi Manajer kok. Asal jangan males aja," jawabku cuek. Aku merasa saudara-saudaraku berkata seperti itu bukan pujiaan sebenarnya melainkan untuk menaikkan harga diriku agar tidak terlihat merana, tapi sungguh justru dengan seperti itu aku merasa menyedihkan dan jujur aku tidak suka. Aku lebih suka mereka semua diam dan tidak mengusik hidupku. Biarlah aku dianggap picik.

    "Ya mudah-mudahan walaupun aku sendiri gak yakin bisa jadi manajer. Ehm ... Kamela mau gak aku kenalin ke temennya Bagja?. Dia Manajer juga, memang agak tua sih tapi aku yakin kamu..."

    Ini yang aku benci. Aku berdiri dan berkata dengan tegas, "aku masih punya banyak pacar. Tenang aja, kamu gak perlu repot-repot kenalin aku sama temen suami kamu." Aku sudah tidak berselera makan lagi. Piringku yang masih ada nasi dan lauk pauk pun aku tinggalkan bersama Sinta yang memandangku dengan helaan nafas panjang.

    Sekuat mungkin aku tahan rasa marahku dengan masuk ke dalam rumah dan naik ke lantai atas untuk masuk kedalam kamar. Aku meminta maaf didalam hati kepada mamah karena sudah meninggalkan acara itu begitu saja, tapi jika lama disanapun aku bisa berkata lebih pedas lagi pada orang yang mendekat dan itu akan lebih melukai perasaan mamah. Jadi, tidak salah bukan jika aku lebih memilih membaringkan tubuh dan menutup mata. Menikmati embusan AC yang menerpa tubuh dan juga menghirup wangi kamar yang tidak pernah berubah. Mamah memang selalu minta Bi Sumi untuk rutin mengganti pengharum kamarku seminggu sekali dan karena wangi yang menyejukkan itulah aku terbuai. Aku tertidur dikamar sekitar satu jam. Setelah tidur cukup pulas, aku terbangun di jam lima sore. Ada telepon dan sms seperti biasa dari Ares dan juga dari Agam ketika aku mengecek notifikasi handphone.

    From     : Agam

    Sore Kamel. Jadi kan kita malam ini?.

    Sengaja aku tidak langsung membalas pesannya, aku masuk ke kamar mandi dulu untuk membasuh wajah dan lainnya. Baru setelah itu aku membalas pesan Agam.

    To : Agam

    Sore juga Gam. Jadi.

    Tak lama balasan Agam pun masuk dan memberitahukan kalau dia akan menjemputku jam sembilan malam. Aku pun menyetujuinya dan keluar dari kamar untuk pamit pulang kepada kedua orang tuaku. Mamah dan papah awalnya tidak mengijinkan dan meminta aku menginap, tapi aku mengatakan ada janji besok dengan teman kantor dan akhirnya aku diijinkan pulang waktu aku berjanji untuk menginap di rumah minggu depan.

**

ReasonDonde viven las historias. Descúbrelo ahora