Part 5

267 26 0
                                    

Sesampainya di apartemen pukul tujuh, aku segera mandi dan bersiap-siap. Menyiapkan dress santai diatas lutut berwarna hitam, sepatu hak tinggi hitam dan juga pouch hitam. Rambutku di gerai dengan tidak rapih. Saat sedang memakai lipstick, bel berbunyi. Itu pasti Agam dan benar saja ketika membuka pintu Agam dengan setelan yang berbeda dari yang biasanya aku temui di bank berdiri di depanku. Kaos tanpa kerah, celana jeans ketat dan jaket. "Masuk." Aku mempersilahkannya.

"Oke, terima kasih." Agam langsung masuk dan melihat ke sekitar.

"Duduk dulu, saya hampir siap. Mau minum?."

"Gak perlu repot-repot, saya tadi udah ngopi dulu."

"Oke kalau gitu, tunggu sebentar." Aku masuk kedalam kamar dan mengecek kembali penampilan. Setelah rasa semuanya selesai, aku keluar dan menemukan Agam dengan tubuh tegapnya sedang memandang keluar dari balkon. "Apa yang kamu liat?. Kita sudah bisa berangkat kan?." Tanyaku menyadarkan Agam dan diapun segera melangkahkan kaki ke dalam lalu berdiri disampingku. "Apartemen kamu rapih banget dan... senang yang minimalis sepertinya." Agam mengedarkan pandangan.

"Yap." Jawabku sambil memakai jaket hitam karena bajuku terbilang seksi. 

"Aku bisa sedikit baca karakter kamu. Ayo." Agam hanya tersenyum dan berjalan menuju pintu keluar meninggalkanku.

Malam ini, nyatanya kami sepakat menggunakan mobil Agam. Awalnya di mobil kami saling diam, tapi itu tidak lama setelah ponselku terus berdering dan aku sepertinya tau siapa itu tanpa melihatnya. Kalau tidak Ares, pasti Barri. Ah membosankan. "Gak dijawab?," tanya Agam dengan sedikit segan.

"Gak. Ini kan hari libur. Gak deh diganggu pas libur gini." Aku langsung menolak panggilan itu dan mengubah menjadi mode silent.

"Saya juga tiap hari libur, non aktifin panggilan. Makanya tadi siang juga cuman chat kamu, saya takut ganggu hari libur kamu. Orang yang kerja di kota semacam Jakarta ini, hari libur adalah hari besar. Setuju?."

Menarik. Laki-laki ini gak akan rese.

"Setuju banget. Paling gak suka banget deh hari libur diganggu sama suara telepon. Aduh sorry bukan pejabat aja yang punya hak kalau libur gak bisa diganggu." Aku tertawa lepas dan Agam pun ikut tertawa. "Ketawa kamu enak didenger juga ya?."

"Masa sih?. Kata orang justru ketawa aku itu ganggu banget. Abisnya kalau udah ketawa susah berhentinya."

Agam mengerutkan keningnya, "dipikir-pikir, ya sih ganggu. Tapi sedikit ko tenang aja ."

Kami larut dalam percakapan yang ringan, namun membuat aku nyaman dan sedikit lupa dengan masalahku sehari-hari. Menyenangkan. Ketika mobil Mercedes Benz Agam sampai di depan club, aku turun dengan pintu yang dibukakan oleh Agam. Kami berjalan beriringan dan memasuki club dengan enteng. Agam ternyata sudah memesan tempat. "Gam, meja loe di ujung," ucap salah seorang bartender.

"Oke, makasih."

"Kenalin dong gue sama cewek cantik sebelah loe."

Agam menoleh pada aku yang tersenyum pada bartender itu. "Kamel kenalin ini temen saya. Dia temen kuliah dan sekarang dia yang punya tempat ini."

"Radit." Radit mengulurkan tangannya dan langsung disambut olehku. Mereka bergenggaman secara singkat. "Kamela."

"Oke, gue ke meja dulu. Minumnya biasa ya. Kamu apa Kamel?."

"Samain aja Gam." Agam mengangguk dan akhirnya berjalan meninggalkan Radit menuju ke meja yang sudah di reservasi. "Itu temen kamu keren, diusianya udah punya tempat kaya gini. Konsepnya juga lumayan beda."

"Iya, dia itu memang keren dan ya ... dia itu punya jiwa pengusaha. Jiwa yang susah didapat buat orang kantoran kaya kita." Aku mengangguk-ngangguk menyetujui Agam.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 14, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ReasonWhere stories live. Discover now