"Baiklah. Maaf Bar, aku gak bisa." Ucapku sekali tarikan nafas seperti orang sedang melakukan ijab kabul. Genggaman Barri langsung melonggar dari tanganku sewaktu aku selesai menjawabnya. Dari pertama sepertinya Barri yakin kalau aku bakal menerimanya, jadi disaat aku menolak lamarannya Barri sangat terkejut. "Kenapa sayang?. Apa yang salah?. Kita udah sama-sama dewasa, kita juga udah sangat dekat bahkan respon yang kamu kasih itu kentara banget. Itu udah cukup bukan buat jadi bukti kalau kita bisa maju ke jenjang yang lebih serius."

Wajahku tetap tenang dan tersenyum lembut, sementara Barri tidak. "Bar, tapi bukan menjadi jaminan dengan itu kalau aku mau maju ke jenjang yang lebih serius sama kamu. Aku pikir, kamu salah kira kalau aku bakal nerima lamaran romantis kamu kemarin."

"Kamu cinta sama aku kan?."

"Bar, kita sampai disini aja." Aku mengatakannya dengan tenang, seraya mengambil tangan Barri dan menggenggamnya sekilas. Barri tambah terkejut dengan apa yang aku katakan. "Itu jawaban yang gak menjawab pertanyaan aku Kamela. Kenapa kita jadi putus?."

"Kamu yang bilang bukan kalau kamu melamar aku karena kamu udah gak pengen membuang waktu lagi dengan berpacaran?. Nah kalau itu yang kamu pengen dari hubungan ini, kamu salah jalin hubungan sama aku. Kalau aku tau dari awal komitmen yang kamu pengen, aku enggak akan nerima kamu waktu itu." Barri makin tidak percaya dengan apa yang aku katakan, dia langsung berdiri dari posisinya dan berlutut di hadapanku dengan menggenggam tanganku.  Oh my god, ada apa dengan Barri?. Celananya itu nanti kotor, belum lagi jadi banyak yang liat.

"Kamela kalau kamu memang ingin minta waktu, aku bakal kasih tapi buat lepasin kamu aku gak bisa. Kamu tau?. Selama empat bulan ini aku gak jalan sama siapa-siapa lagi selain kamu. Hidup aku cuman berporos di kamu doang."

Kamela menepuk punggung tangan Barri, "Barri maaf, tapi kita gak bisa terusin hubungan ini lagi. Kamu buang waktu kalau nunggu aku siap nikah. Kamu gak tau apa-apa tentang aku. Sekarang aku harus pulang. Aku capek banget dan sebaiknya kamu sekarang berdiri. Malu diliatin, udah gitu nanti celana kamu kotor." Maaf aku harus jujur. Aku tidak suka keadaan seperti ini, aku tau ini menyakiti orang lain yaitu Barri, tapi prinsipku kalau aku tidak menyakiti maka aku yang bakal tersakiti. Itulah hukum percintaan menurut ku.

Aku menepuk bahu Barri yang hanya diam dan akhirnya tak lama Barri berdiri. "Oke. Aku kasih kamu waktu bukan perpisahan."

Aku diam saja. Tidak membantah juga tidak mengiyakan. Tidak asing lagi buatku. Aku sudah beberapa kali menolak laki-laki ketika dia menawarkan hubungan yang lebih serius atau ketika dia sudah membosankan. Bosan untukku adalah ketika laki-laki yang mendekatiku menunjukan cintanya yang berlebihan. Satu hari pernah aku memutuskan hubungan dengan seseorang karena dia membawaku ke rumahnya dan dikenalkan kepada kedua orang tuanya. Pernah juga aku memutuskan seseorang karena dia sangat possesif. Memberikan makan siang setiap hari dan mengantar jemput aku setiap hari, bahkan sampai menungguiku setiap aku lembur. Dia tidak pernah membiarkan aku mempunyai waktu untuk diriku sendiri. Tenang, aku bukan wanita aneh yang menjauh ketika seorang lawan jenis sangat mencintaiku. Hanya pengalaman yang membuat aku untuk berjaga-jaga dan menjauh ketika komitmen mendekat.

Ketika sampai rumah pun, harapan untuk bersantai-santai dan menyenangkan diriku sendiri itu pupus ketika ada telepon terus menerus dari Ares. Aku lupa kalau aku juga tidak bisa membiarkan laki-laki satu ini, Ares memang tidak terlalu menyebalkan tapi terkadang jika sudah dua sampe beberapa hari aku tidak mengangkat atau tidak merespon segala chatnya maka dia akan menelepon terus-terusan seperti sekarang ini sampai aku merasa kesal. Aku tidak punya pilihan lagi, akhirnya aku mengangkat telepon Ares. "Halo Ares," aku menyapa Ares dengan tenang sambil berendam di bathub.

"Halo Kamel. Kamu lagi apa?," tanya Ares dengan lemah lembut. Ares adalah sosok laki-laki yang tidak banyak bicara seperti Barri, tapi dia sangat perhatian dan menghargaiku dengan baik. Itu salah satu alasan aku belum memutuskan Ares ketika menerima Barri. Keila bilang, "udah jangan diputusin, dia baik banget. Lagian dia juga gak bakal resek sampai kapanpun. Gue jamin." Si nenek lampir itu memang marketing terbaik. Ya walaupun setelah dipikir-pikir memang tidak ada ruginya aku mempertahankan dia. Dia jauh di Australia, aku hanya perlu sesekali bertemu dengannya dan satu keuntungan lainnya aku tidak akan bosan tentunya jika sedang ada disana. Jadi ya bisa dibilang pacar buat traveling. Jahat gak sih?. Ah gak sih kayaknya.

"Hm ... aku lagi berendem. "

"Wow. Me time. Oh iya kamu jarang terima telepon aku beberapa hari ini." Pernyataan itu membuatku diam. Aku bingung harus menjawab apa karena sejujurnya aku tidak menjawab panggilan Ares karena aku pusing oleh Barri yang terus menerus menghubungiku untuk meminta jawaban. Jadi, aku tidak mau menambah pusing di kepalaku dengan panggilan Ares.

"Maaf Res, aku lagi banyak pekerjaan banget akhir-akhir ini. Aku harus ngurus pajak kantor sama karyawan." Setelah penjelasan singkat itu, aku dan Ares mengobrol hal-hal ringan sampai waktu aku singgung kalau aku sudah kedinginan, dia baru menyudahi obrolan kami. "Ya udah kalau gitu kamu cepetan bilas dan tidur. Good night babe."

"Ya, good nigt hon. Ehm.... jangan lupa makan oke." Ares terdengar bahagia ketika menjawab dan mengingatkanku balik. Ares sudah tau, aku memang wanita yang terkadang cuek, namun terkadang perhatian. Mungkin dari sikap itulah yang membuat laki-laki banyak yang tertarik padaku. Mungkin sih.

**

ReasonWhere stories live. Discover now