Chapter One: Hello, Troublemaker.

Mulai dari awal
                                    

"Mrs. Halley bercerita tentang apartemenmu yang sangat rapi dan nyaman padaku. Aku senang kau mau membantuku. Kuharap apartemenku bisa sama nyamannya dengan apartemenmu." Dave mulai membuka topik pembicaraan lagi. Ia masih berdiri di depan pintu apartemennya, menekan tombol-tombol pada alat keamanan, sedang menyetel kode keamanan baru mungkin?

"Mrs. Halley hanya melebih-lebihkan," timpal Charlotte. Seperti menyadari sesuatu, raut wajahnya berubah, "Kenapa kau memanggil ibumu dengan seb-"

"Aku sedang membiasakan diriku. Tidak mungkin aku memanggilnya 'Ibu' di kantor nanti, kan?"

"Di kantor? Maksudmu?" Charlotte terkesiap. Ia menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengacak-acak isi salah satu kardus Dave. "Jangan katakan kalau kau akan.."

"Sepertinya Mrs. Halley belum mengatakan apapun padamu." Alis kiri Dave terangkat. Perkataannya barusan sedikit memberi kejut listrik di jantung Charlotte. Entahlah, ia tidak terlalu suka dengan berita barusan. Meskipun sudah sepenuhnya hak Mrs. Halley memasukkan anaknya ke dalam deretan pegawai yang bekerja di perusahannya. Juga sudah hak Dave bekerja di sana karena tidak dipungkiri kalau suatu saat nanti, pria ini akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan perusahaan Mrs. Halley. Hanya saja, Charlotte tidak yakin bisa menjalin hubungan rekan kerja yang baik dengan Dave. Berada satu jam saja dengan Dave sudah membuat tekanan darahnya naik, meskipun ini tidak sepenuhnya salah pria itu telah merusak hari liburnya. Yah, semoga saja mereka tidak berada di divisi yang sama, paling tidak itulah harapan Charlotte, dan jangan sampai Dave menggeser posisinya di perusahaan meskipun kemungkinan itu kecil. Ia yakin Mrs. Halley tidak akan berbuat hal sepicik itu.

Dave menangkap ekspresi Charlotte yang tegang. Sambil mengangkat kardus barang-barang pribadinya menuju kamar, ia menyenggol kaki Charlotte dengan kakinya, "Tenang saja, aku tidak tertarik mengambil posisimu kini. Tukang catat jadwal rapat dan perencanaan desain bukan pekerjaan yang cocok untukku." Dave mengedipkan sebelah matanya pada Charlotte. "Ah, tolong bawakan kardus kecil di dekat meja TV itu." Dave memonyongkan bibirnya sebagai pengganti tangan untuk menunjuk kardus yang dimaksud.

Charlotte mengangkat kardus kecil yang dimaksud, kemudian membawanya menuju kamar Dave. Ternyata meskipun kecil, kardus itu lumayan berat. Apa saja yang kira-kira ia simpan dalam kardus ini?

"Yak, letakkan saja di situ."

Charlotte meletakkan kardus itu dengan maksud pelan-pelan. Sayangnya, tangannya tidak cukup kuat menahan beban kardus itu saat membungkuk. Kardus itu jatuh terbanting di atas lantai dan mengenai kelingking kaki kanan Charlotte. Sontak saja Charlotte mengaduh kencang dan berlutut memegangi kelingkingnya. Alih-alih menolong, Dave justru tertawa keras, menaikkan kadar kekesalan Charlotte yang semula mulai menurun. Charlotte mulai menduga-duga sendiri. Tingkah Dave yang demikian membuatnya berpikir kalau pria itu memang senang membuatnya susah. Pria itu pasti sengaja menyuruhnya membawa kardus berat itu.

"Kau..." Charlotte menggeram marah. "Sengaja, ya?!" bentaknya. Wajahnya benar-benar merah sekarang, ia merasa diperolok dan ia benci terlihat memalukan. "Lebih baik aku pulang, kurasa kau tidak benar-benar membutuhkan pertolonganku." Charlotte berdiri dan segera menuju ruang tengah untuk mengambil tasnya. Dave menarik tangan Charlotte, berusaha menghentikannya.

"Charly, I'm sorry, please don't go, okay?" pinta Dave memohon. Sejenak Charlotte sedikit luluh dengan tatapan memohon Dave. "Aku akan mengadukanmu pada Mrs. Halley kalau kau pulang begitu saja tanpa membantuku, dan membiarkanku membereskan barang-barangku ini sendiri," lanjut Dave. Ia nyaris membuat kedua bola mata Charlotte melompat dari rongga matanya.

"Ah adukan saja, Mama Boy! Kalau merasa tidak mampu membereskan barang-barangmu sendiri, kenapa ingin tinggal terpisah dari orang tuamu dan pelayan-pelayan itu?!" Charlotte menarik tangannya. Menghempaskan tangan pria itu, lalu berlari keluar dari apartemen mewah itu setelah membanting pintunya keras-keras. Ini adalah pertama kalinya ia melakukan hal yang biasa terlihat di adegan film. Ternyata membanting pintu saat marah bisa begitu melegakan. Sekarang dia benar-benar ingin sampai di rumah secepatnya. Ia bahkan tidak bisa sabar menunggu lift datang dan memilih menuruni tangga dari lantai 10 ke lantai 1 gedung ini.

Mr. TroubleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang