5.

50 5 0
                                    

LUKI menggosok toilet setengah hati. Ototnya yang kering meregang seirama begitu noda di bawah westafel hilang.
"Uhh..," hampir mengeluh tapi Luki masih menahannya. Sekali, dua kali Luki membersihkan ingusnya. Ketika dia teringat kejadian yang dia alami, juga kenyataan masih ada 365 hari lebih untuk ia jalani, air mata akan menggenang menghalangi pandangannya.

Hari itu, sepulang sekolah sesuai dengan hukuman yang diterimanya, Luki membersihkan toilet. Dia baru saja mulai, tapi pakaiannya sudah kotor lebih dulu.
Rambutnya lepek karena basah, bercampur dengan kotoran bekas air pel. Belum sembuh memar yang satu, pipinya yang lain sekarang memiliki tanda yang sama.

"Ughh...,"

.

**Best Part of You**
.
.
*Lippogant present*
.
.

"Tina udah cerita sama kita-kita. Seneng lo engga di skors, tapi tetep aja gue sedih lo harus ngejalanin hukuman." Kata Asty seraya membetulkan jaketnya. Sebentar lagi pacarnya datang menjemput, gadis itu memastikan make-upnya rapi dengan bercermin sekali lagi.
"Thanks, itu udah cukup kok." Balas Luki sambil tersenyum.
"Lucy... Minta ke Bu Asri dong... Sebulan itu kelamaan...," Kata Siska sentengah mengeluh, padahal bukan dia yang kena hukum.
"Tapi ini udah dikasih keringanan...," Gumam Luki. Kalau bisa, dia sudah melakukannya sejak awal.
Kelas sudah sepi, hanya tertinggal mereka bertiga di kelas, dan sebuah tas disisi meja Luki yang pemiliknya entah kemana.
"Aaliya masih disini? Oh.. dia latihan karate, ya?" Kata Siska. Entah kenapa, kalimat itu mengangkat topik yang seharusnya mereka bicarakan sejak lama.
"Aaliya dia... Gue ngga terlalu suka anak itu." Kata Tina tiba-tiba. "Jujur, dari awal. Dia tuh kalau liat kita kaya...'ngapain sih mereka' gitu. Ya, gak?"

Oh...
Luki sadar, mereka pasti berbicara tentang dirinya.
Bukan, bukan kalian. Akulah yang satu-satunya Aaliya tidak sukai.

Ingin rasanya Luki berkata begitu.

Tapi dia tidak bisa. Luki takut teman-temannya menganggap hal itu benar. Mereka mungkin akan menjauhinya juga.

"Ya.. entah kenapa kalau sama kita dia kaya anti gitu...," Sambung Siska.
"B-bukannya... Dia baik..?"
"Ya memang, sih. Dia bukannya jahat sama kita. Tapi baiknya dia juga bukan ke kita."

Luki tidak sangka kalau ketiga kawannya menyadari sikap Aaliya yang sedikit lebih sinis pada mereka.

"Cuman gue ngerasa... Sikap dia udah berubah sedikit... Iya gak?" Siska berujar lagi.
"Itulah, dia jadi lebih.. easy going gitu,"
"Gue bukannya jelekin dia atau apa, tapi Lucy, selama ini lo engga diapa-apain sama dia, kan?"
"N-ngga, kok... Mana mungkin...,"
Ponsel Asty berdering beberapa kali.
"Doi gue dateng nih, harus berangkat sekarang. Bye Lucy, jangan sampe sakit, ya?" Gadis itu memeluk Luki sekilas, lalu menempelkan pipinya satu sama lain.
"Gue juga harus pergi sekarang, toko gue ga ada yang jaga." Ujar Tina melakukan hal yang sama.
Siska ikut pulang bersama keduanya karena memang sudah waktunya bus yang ditunggunya sampai.
"Kalau ada apa-apa, jangan lupa kasih tahu kita-kita, ya?"
"Betul, jangan lo diem-diem aja, paham?"
"Bye Lucy,"
"Iya.. bye..  hati-hati di jalan,"
Anak laki laki itu menghela napas. Kalau benar ada perubahan pada sikap Aaliya, berarti Luki benar. Gadis itu hanya tidak suka padanya. Karena Luki tidak merasakan perbedaannya.

Lalu dia teringat masa dimana gadis itu membelanya beberapa waktu lalu.

"Luki itu sedikit feminim, jadi jarang buat dia mikir-mikirin hal kotor....,"

Itu hanya karena Aaliya baik. Dia hanya kasihan pada Luki, tidak lebih.
Atau mungkin, semua itu hanya akting.
.
.

Setengah jam setelah sekolah bubar, Luki pergi ke toilet siswa di lantai satu bersama sikat dan ember. Tak lupa cairan pembersih toilet berbahan gel dan karbol ikut bersamanya.
Luki tidak berpikir akan ada orang lain yang masih duduk di sekolah, karena kelas sudah sepi saat itu.

Best Part Of YouWhere stories live. Discover now