Teman Pemakai Susuk '2

Start from the beginning
                                    

Setelah lima belas menit perjalanan, kami sampai di sebuah rumah besar nan luas yang terlihat kurang terawat. Sebagian tanamannya telah layu dan sudah tidak elok untuk dipandang.

Ting ... nong ....

Pintu terbuka dengan cepat dan menampilkan sosok wanita paruh baya dengan wajah pucat pasi.

"Cepat masuk! Ikut saya, ya!" ujar perempuan yang ternyata adalah Ibunda dari Belia.

Sesampainya kami di kamar atas, aku langsung terkejut ketika menemukan aura gelap dan muram dari dalam kamar tersebut.

"Tolong! pergi!" teriak seorang wanita yang tak lain dan tak bukan adalah Belia. 

Aku memberanikan diri mendekat. Walaupun auranya benar-benar membuatku tak ingin berlama-lama di sana.

Tok ... Tok ... Tok ....

"Belia, ini Dira." Aku mengetuk pintu dengan perlahan.

"Dira? Dira lo di luar? Dira tolong gua!" Terdengar isakkan tangis dari dalam dan suaranya sudah mulai serak

"Tolonguka pintunya, Belia," pintaku.

"Dia menghalangi! Aku takut, Dira!" Teriakan demi teriakan masih terdengar jelas. Aku benar-benar tak tega dibuatnya.

Perlahan aku mengelus bagian pintu dan langsung memegang ujung pintu diselingi dengan membaca ayat kursi, surah Al-ikhlas, An-nas, Al-Falaq semuanya sebanyak tiga kali, dan juga dua ayat terakhir surah Al-Baqarah.

"Bismillah." Ku hentakkan tanganku ke arah pintu itu. Perlahan-lahan auranya mulai berubah.

"Belia sudah, 'kan? Buka saja tidak apa-apa."

Ceklek ....

"Dira!" Belia langsung memeluk badanku dan tumbang seketika.

Semua orang panik dan langsung membantuku untuk menggotong Belia menuju ruang tamu. Makhluk yang dimaksud Belia tinggi besar itu masih setia berada di tempatnya dan tersenyum menyeringai. Kurang ajar!

"Assalamualaikum," salam Pak ustadz tiba-tiba saja menjadi penenang bagi kami. Setidaknya ada seseorang yang mampu membantu di masa sulit seperti ini.

"Waalaikumussalam."

"Dira, Ikhyar, tolong kamu bantu Belia, ya! Saya akan mengurus makhluk itu terlebih dahulu," perintahnya sembari melepaskan sorban yang ada di pundaknya

"Baik." Elsa terlihat berinisiatif mengambilkan air putih.

Aku mempersilakan Kak Ikhyar untuk membacakan surah-surah ke dalam air putih itu. Setelah selesai, ia menyodorkan air putih itu kepadaku. Dengan sigap langsung kuoleskan ke mulut dan kening Belia. Namun, mengapa tak ada reaksi apa-apa darinya?

Setelah setengah jam aku dan Kak Ikhyar berusaha, akhirnya Pak ustadz datang sambil mengelap keringat di keningnya.

"Cepat bawa Belia ke rumah sakit. Keadaan Belia harus segera ditangani," ujar Pak ustadz sambil membantu menggotong Belia.

Perjalanan ke rumah sakit tak memakan waktu lama. Saat pertama kali kami datang, kami disambut oleh suster yang berpakaian perawat zaman dahulu. Bentuknya tak seburuk yang sering kulihat. Namun, tetap saja auranya membuatku tak ingin berlama-lama di dekatnya. Dan jelas saja yang melihat hanyalah aku dan juga Muhzeo.

Belia dilarikan ke ruang UGD. Kami semua menunggu di luar ruangan. Setelah dua jam, ia dipindahkan ke ruang ICCU. Ruang yang lebih seram lagi dibandingkan ruang ICU. Aku melongok dari jendela. Saat itu juga, hal yang pertama kali kulihat adalah berbagai macam bentuk penampakan abstrak, seperti tangan yang berdarah, orang yang mencekik tenggorokannya sendiri, pasien yang terkapar tak berdaya di rumah sakit, ada juga yang duduk dengan muka datar, dan lain sebagainya. Ah, sudahlah. Aku agak mual sendiri menjelaskannya.

Bisikan Mereka ✔Where stories live. Discover now