Bagian 3

3 0 0
                                    

                "Hey, tunggu! Agatha..." teriak Agit. Dia mengayuh sepeda dengan cepat, menghampiri Agatha yang melaju perlahan dengan sepedanya. Gadis berkepang delapan itu menoleh, sembari masih memutar pedal sepeda perlahan. Dia nampak terlalu lelah.

"Tunggu!" kata Agit sekali lagi. Sepedanya kini mendekat, "hey, kamu masih ingat aku?"

Mata Agatha mengamati wajah orang yang tiba-tiba menghampirinya dan berlagak sok kenal. Mereka mengayuh beriringan.

"Aku lawan kamu pas tadi basket, masa lupa sih? Belum jadi nenek-nenek kan?" perkataan selanjutnya terdengar menyebalkan, Agatha masih belum merespon dengan kata-kata, hanya matanya saja yang berbicara, terperanjat mendengar ucapan Agit. "Masih belum ingat juga? Yang tadi di pos satpam..." dia kembali berkata dengan sesekali menyeimbangkan badannya yang berada di atas sepeda. "Yah... payah nih."

Dalam hitungan detik, seketika Agatha menghentikan laju sepedanya. Matanya memicing memandang Agit si cowok asing yang 'sok kenal sok dekat'. Agit ikut berhenti.

"Iya, aku inget. Terus ada apa?"

"Aku mau ngajakin kamu balap sepeda."

Mulut Agatha terbuka, mengutarakan tanda tanya tanpa suara dan kata yang terucap. "Buat apa?" tanya dia heran.

"Berani nggak?"

Agatha menarik bibirnya, membentuk ekspresi aneh. Dia menggeleng dan kembali mengayuh sepedanya, melewati Agit dengan penuh pengabaian. "Cowok aneh!" bisiknya.

"Agatha... aku nggak bakalan kalah lagi dari kamu!" teriaknya pada Agatha yang mulai menjauh dari tempat Agit berdiri bersama sepedanya. Sementara cewek yang ia ajak bicara terus melaju, meninggalkan, mengabaikan.

***

"Heran, kenapa sih tuh orang, nggak jelas banget." Agatha ngedumel sesampainya di halaman rumah, sepeda ia simpan di depan pintu garasi. Langkahnya dihentakkan menuju ke dalam rumah. Setelah melepas sepatu dan menyimpannya ke rak dia bergegas menuju dapur dan membuka kulkas, mengambil sebotol minuman dingin rasa jeruk. Tasnya sudah ia lempar sejak tadi ke atas sofa ruang tengah.

"Kenapa kok mukanya ditekuk gitu?" tanya Bunda yang tiba-tiba menyembul dari bawah meja makan.

"Astaga! Bunda... ih ngagetin aja." Wajah Agatha benar terlihat kaget, dia sampai merapatkan diri dengan kulkas.

"Haha... kaget ya?"

Di ruangan yang berukuran 7 x 5 meter persegi tempat memasak sekaligus ruang makan itu ada tawa yang pecah dari seorang ibu bernama Desti, bunda-nya Agatha. Dia merasa lucu karena tanpa sengaja telah membuat anaknya terperanjat kaget.

"Ih nggak ada kerjaan banget, sengaja ya.. ngumpet di situ mau ngagetin aku?"

"Enak saja! Bunda nyari cincin Bunda yang jatuh tadi." Jawabnya sambil memasangkan cincin di jari manisnya yang berhasil ia temukan. "Kamu kenapa?"

"Capek Bunda... terus ada anak cowok gitu, aneh." Agatha mulai bercerita, mengambil posisi duduk berhadapan dengan Bunda yang sekarang membuka tudung saji dan menyiapkan sepiring nasi untuk anaknya. Agatha menceritakan Agit yang wajahnya ia kenal tapi tidak dengan namanya berikut sikap anehnya saat tadi pulang. Si Bunda menyimak dengan sesekali semar mesem. Bunda memang pendengar yang baik, usianya terpaut 28 tahun dengan Agatha. Tapi Bunda bisa mengimbangi anaknya layaknya kakak-beradik atau sahabat.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 29, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Agit dan AgathaWhere stories live. Discover now