Nena mengajak mereka ke taman sekolah, menghabiskan jam istirahat sekaligus makan siang disana. Di bawah pohon beringin besar, mereka duduk bersila di hamparan rumput gajah yang terawat. Sekolah mereka termasuk sekolah tua. Bangunannya megah, arsitekturnya bergaya semi kolonial. Jadi mungkin-mungkin saja jika pohon beringin itu berusia puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun. Karena konon katanya, sekolah itu memang adalah bangunan yang didirikan Belanda tempo dulu, meski sudah beberapa kali mendapat renovasi.
"Iya, serius. Katanya dulu sekolah kita itu semacam markas para tentara Belanda gitu deh. Yang sekarang di pakai ruang-ruang kelas adalah baraknya. Setelah Belanda terusir dari negeri ini maka bangunan tersebut beralih fungsi jadi sekolah." Jelas Sadi, dalam waktu kurang dari satu jam saja mereka sudah terlihat akrab, khususnya Agatha dan Sadi yang baru berkenalan.
"Baru tahu aku sejarahnya," timpal Nena.
"Oh ya, kalau kamu kelas X-2, aku bisa kenalin kamu ke teman aku. Dia dari gugus yang sama denganku, namanya Agit."
"Agit itu cewek atau cowok?" tanya Nena penasaran. Matanya berbinar karena akan mendapat teman baru-kenalan Sadi.
"Cowok?!" sontak mata Nena layu, dia agak ragu jika Agit akan mudah berteman dengannya. Karena tidak semua cowok se-humble Sadi.
***
Suasana di depan papan pengumuman dekat ruang guru kini mulai lengang, hanya masih ada satu dua saja siswa yang berada disana. Agit menatap serius ke arah kertas F4 pertama, ada nama Sadi disana. Sementara namanya berada di kertas berikutnya, kelas X-2. Dia tersenyum bangga. Di sekolah mereka ada istilah kelas unggulan, dan dalam lima tahun terakhir yang sering dinobatkan menjadi kelas unggulan adalah kelas X-2. Kelas unggulan adalah kelas dimana hampir semua penghuninya adalah mereka yang pintar dan jenius. Rata-rata IQ mereka tinggi, tergolong cerdas. Mereka juga adalah anak-anak yang berprestasi dari sekolah asalnya.
"Eh katanya tahun sekarang yang jadi kelas unggulan itu kelas X-1 loh!" ucap seorang cewek sipit putih yang juga sedang mengamati lembaran-lembaran kertas F4 itu.
"Oh ya?" tanya temannya.
Agit mencuri dengar percakapan mereka, air mukanya berubah.
"Iya, tuh lihat aja. Aku kenal beberapa orang yang sekarang menghuni kelas itu. Si Agatha dia satu sekolah sama aku, jaman SMP dia sering banget juara kelas bahkan juara umum. Oh iya, nilai ujiannya juga hampir sempurna dan menjadi nilai ujian paling besar di kota kita. Dia juga pernah menang beberapa lomba. Ada juga tuh si Sadi, anak SMP 5, dia lumayan pinter sih, katanya sering masuk lima atau tiga besar doang gitu, gue tahu dari mamanya karena kita tetanggaan. Belum lagi yang lainnya, Veronica, Daniel, mereka juara kelas semua, asal sekolahku." Cewek sipit itu nyeroscos membahas hampir semua seisi kelas X-1 yang ia kenal. Sementara temannya hanya ternganga menyimak tentang cerita orang-orang berotak encer itu yang dikumpulkan dalam satu kelas.
Agit tak percaya, dia tak masuk ke dalam kelas unggulan. Padahal dia juga termasuk anak pintar dan berprestasi di sekolahnya. Jelas tersirat raut kecewa di wajahnya.
"Kalau aku sih untung nggak sekelas sama mereka, jadi aku nggak banyak saingan. Siapa tahu sekarang aku bisa jadi juara kelas, ya paling nggak masuk lima besar lah. Di sekolah aku dulu susah." Si wanita sipit kembali bercuap, mereka tertawa, dia sangat senang berbicara.
Benar juga!
Agit mengangguk sendiri, dia mencoba mengatasi rasa kecewanya. Kalimat terakhir si cewek sipit itu ada benarnya. Setidaknya ada sedikit pengobat kecewa baginya yang memompa semangat dan memotivasi Agit untuk lebih giat belajar dan menunjukkan bahwa dia sanggup lebih unggul dari anak-anak kelas X-1 yang katanya unggulan itu. Dalam hatinya terukir tekad itu. Dia akan mematahkan julukan kelas unggul yang tahun ini beralih ke kelas X-1.
Agit melangkah, meninggalkan papan pengumuman dan obrolan bertema kelas unggulan antara dua cewek ceriwis yang ia curi dengar. "Okey, gue harus jadi juara umum. Nilai gue harus lebih tinggi dari mereka!" matanya berbinar, mencerminkan kobaran semangat dan ambisi yang menggebu.
***
"Horeee..." ratusan siswa bersorak sembari melempar topi warna-warni (berbentuk toga yang terbuat dari karton) ke langit. Masa Orientasi Sekolah resmi ditutup. Mulai Senin besok mereka tak lagi mengenakan seragam semasa putih-biru berikut embel-embel khas masa orientasi. Agatha meloncat-loncat, berpegangan tangan dengan Nena. Semua hanyut dalam euforia.
"Na, ayo!" Sadi datang dan menarik lengan Nena. Membawanya pergi dari Agatha, mereka pamit pada Agatha untuk menemui seseorang.
Nena menghilang bersama Sadi. Setelah membelah kerumunan manusia yang masih beruforia mereka raib ditelan keramaian. Belasan menit kemudian hening mulai menyapa saat satu persatu dari mereka berjalan meninggalkan lapangan menuju gerbang, lantas berpencar menapaki jalannya masing-masing untuk pulang. Sekolah mulai lengang.
Agatha pun mulai melangkahkan kakinya menuju pos satpam, tempat dimana sepedanya di parkir. Ada seorang cowok yang asyik mengobrol dengan Pak Ujang, duduk di atas sepedanya. Kaki Agatha terpaku sejenak melihat pemandangan itu. Dia mengeratkan pegangan pada tali ranselnya. Lalu kembali mendekat.
"Uhm... permisi, boleh saya ambil sepedanya?!" katanya sangat sopan. Pandangannya sedari tadi sudah tersenyum ke arah Pak Ujang.
Pak Ujang mengangguk, "sok Neng, mangga-mangga..." (silakan Neng, boleh-boleh...) katanya memepersilakan sambil menarik tangan Agit. Mereka beradu tatap (Agit dan Agatha), kembali Agatha tersenyum. Agit hanya membalas dengan tatapan mengamati.
"Pak Ujang, terimakasih ya. Saya pamit," Agatha menyalami Pak Ujang dan mengucapkan salam.
Agatha hilang dibalik gerbang, Agit masih terpaku memandanginya yang tak lagi nampak.
"Si Neng mah ya cantik ya baik kayak Bapaknya, heuheuy... sepaket pisan Si Neng teh." Puji Pak Ujang, entah berkata pada siapa, dirinya atau Agit.
"Pak, Bapak kenal dia?" Agit menoleh setelah mendengar perkataan Pak Ujang.
"Kenal, dia teh anaknya Pak Arris tetangga saya dulu. Tah Jang (panggilan untuk anak laki-laki bagi orang Sunda, berasal dari kata Ujang) kalau nyari pacar mah kayak si Neng itu, cantik, baik, pinter juga..."
"Keluarganya juga dari keluarga baik-baik, ramah, sama tetangga juga akrab. Saya bisa kerja disini juga karena Pak Arris, dikenalkan sama kerabatnya yang dulu menjadi Kepala Sekolah di sini."
Agit mengangguk-angguk mendengar cerita Pak Ujang tentang si Neng (panggilan anak perempuan bagi orang Sunda). Sejenak dia mengingat-ingat wajah Agatha.
Kecelakaan sepeda tadi telah membuat Agit akrab dengan Pak Ujang, sejak tadi mereka sudah ngalor ngidul bercerita ini itu.
ASTAGA!!!
Dia ingat sekarang, air muka Agit berubah, dia terhenyak. "Pak namanya siapa?"
"Ujang, nama saya Ujang. Lihat atuh kamu teh di nametag saya!" tunjuk Pak Ujang ke arah dada bagian kanan dengan pentungannya.
"Eh, bukan Bapak. Si Neng tadi?"
"Ooh... hahaa. Itu namanya Agatha."
Air muka Agit tambah keruh, ternyata cewek yang tadi mengalahkannya di 1 on 1 demo basket adalah juga Agatha, rivalnya diam-diam yang ingin dia kalahkan karena cerita orang-orang dia adalah anak pintar yang berhasil masuk kelas unggulan.
Seberapa pintar sih dia?
YOU ARE READING
Agit dan Agatha
Teen FictionTentang rivalitas antara seorang remaja perempuan dan laki-laki di suatu sekolah menengah atas. Masih khas kekanakan abg peralihan SMP yang beranjak pubertas di SMA. Lalu bagaimana kisah persaingan mereka? Baca aja ya hehee. Semoga suka. Apalagi unt...
Bagian 2
Start from the beginning