Erza berjalan menaiki anak tangga itu sambil sesekali menoleh ke arah Amon yang membuka kotak pertolongan pertama, memikirkan kenapa pria itu tidak memarahinya hari ini ketika dia membuat kesalahan.

Sesampainya didalam kamar, Erza melepaskan tasnya dan pakaiannya yang kotor sebelum meletakkannya didalam keranjang pakaian kotor. Mengambil 2 pistolnya, gadis itu meletakkannya rapi diatas meja lengkap dengan backpack dan rompi anti peluru miliknya.

Masuk kedalam kamar mandi, gadis itu hanya membasuh muka dan tubuhnya menggunakan handuk. Tidak lupa mengguyur luka cakaran ditangan kirinya dengan air agar bersih dari tanah sebelum diobati. Sebagai penderita CIPA, tentu dia tidak akan merasakan apapun dari luka ditangannya.

Selesai membersihkan dirinya, Erza kembali menggunakan kemeja putih oversize lain yang ada didalam almari pakaian tanpa mengenakan bawahan. Duduk dipinggiran kasur sambil menatapi luka cakaran yang sebenarnya lumayan parah.

"Jika aku bukan penderita CIPA, mungkin aku sudah menangis menggerang kesakitan. Ini sangat dalam, sepertinya aku bisa melihat tulangku sendiri jika mengoyaknya sedikit lagi" gumannya sambil menyentuh lukanya pelan.

Suara ketukan pintu itu mengalihkan pusat perhatiannya, Amon terlihat berdiri diambang pintu yang memang tidak Erza tutup sambil membawa senampan penuh obat.

"Masuklah Amon" ucapnya mempersilahkan pria itu untuk masuk kedalam kamarnya.

Amon pun berjalan menghampiri Erza setelah gadis itu mempersilahkannya masuk, tidak lupa menarik sebuah kursi yang nantinya akan dirinya pakai untuk duduk. Pria itu duduk tepat dihadapan Erza, meminta tangan gadis itu sebelum mengobatinya.

"Apa itu hot chocolate Amon?" tanya Erza saat melihat pria itu juga membawa segelas minuman untuknya.

Amon memberikan segelas minuman itu langsung kepada Erza. "Saya harap anda tidak akan mengulanginya lagi, saya tidak ingin sesuatu yang buruk kembali menimpa anda"

Mengernyit kebingungan sambil meminum minumannya, Erza menoleh memberikan pria itu sebuah senyum kecil. "Amon, aku tidak akan mati dengan luka seperti ini" candanya sambil tertawa.

Banyak hal sudah Erza lewati selama ini dan dia merasa jika dirinya baik baik saja. Terlebih saat dia tau lukanya akan selalu sembuh begitu cepat dan tidak terasa sakit.

Pria itu hanya terdiam melihat Erza tertawa dan tetap melanjutkan kegiatannya, cukup memaklumi apa yang Erza katakan karena gadis itu tidak mengetahui apa yang sedang dilihat oleh matanya. Gadis itu masih terlalu kecil untuk mengetahui semuanya, dia tidak tau jika akan ada lautan darah yang menantinya saat hari itu tiba. Dan saat itu terjadi, dia sudah tidak berada disisi gadis itu lagi untuk membantu.

"Anda tidak akan pernah mengetahui bagaimana rasanya mati, karena hal itu tidak akan pernah terjadi" imbuh Amon mengatakan hal yang membuat Erza semakin kebingungan akan topik pembicaraan mereka.

"Aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan disini Amon, berbicaralah dengan benar. Aku merasa kau sedikit aneh sedari aku pulang tadi, kau tidak seperti biasanya" komentar Erza mengenai prilaku aneh yang pria itu tunjukkan kepadanya, Amon adalah pribadi yang pendiam, tegas, dan sedikit sarkas juga bawel jika terjadi sesuatu kepadanya.

"Anda tidak perlu mengetahuinya sekarang" sahut Amon tidak menjelaskan apapun yang sedang dibicarakannya.

"Baiklah kalau begitu, aku ingin tidur sekarang. Selamat malam Amon" Erza menarik selimutnya keatas dengan sebelah tangan, menyudahi percakapan tidak jelas mereka lagi pula Amon tidak terlihat ingin menjelaskannya juga.

Pria itu tampak hanya melirik Erza yang mulai memejamkan mata sebelum merapikan perlengkapan dan obat obatan yang selesai dia gunakan untuk membalut luka gadis itu. Amon menoleh ke arah balkon yang masih terbuka, lalu menatap Erza yang sudah terlelap.

Sniper Mate: Demon BloodWhere stories live. Discover now