Chapter 2: Chance (Kesempatan)

Start from the beginning
                                    

"Baik-baik saja," ucap WangJi.

"Sudah bicara dengan Wei WuXian?"

Kakaknya perlu berhenti membaca emosinya, bahkan dari belahan dunia lain sekalipun. Dia mengerutkan kening, menyingkir dari pandangan JingYi dan SiZhui.

"Belum."

"Tidak berniat melakukannya?"

"Itu... sulit."

WangJi bahkan sempat mengantar SiZhui ke sekolah, berharap bisa melihat Wei Ying sebelum pergi. Namun sayang sekali, lelaki itu tidak tampak di pandangannya dan SiZhui mulai manatapnya aneh karena tidak mau membiarkan pemuda itu masuk ke sekolah sampai Wei Ying muncul.

"Hmm... Aku tidak begitu berpengalaman dengan metode berkencan yang modern," XiChen bergumam. "Tapi dia dulu selalu bersemangat untuk bicara denganmu."

Dulu. Itu dulu. WangJi ingin memberitahu kakaknya, tapi dia tahu XiChen hanya mencoba menyemangati dan membantunya. Dia tidak akan bisa bergerak maju jika terus-terusan tidak melakukan apa pun.

Meski begitu, jika XiChen tidak tahu menahu tentang cara berkencan zaman modern, maka tidak ada harapan sama sekali bagi WangJi.

Dia tidak pernah mempedulikan apa pun tentang berkencan, tidak karena satu-satunya orang yang dia inginkan tidak bisa lagi dia raih bertahun-tahun ini. Selama beberapa abat pertama, hasrat dan keinginan nyaris membuatnya gila tapi tidak pernah sekali pun terlintas di benak WangJi untuk memuaskan diri dengan orang lain. Kalau Wei Ying tidak terlibat, maka tidak sama sekali.

Dan soal XiChen... WangJi tidak tahu. Kakaknya terlalu sering menghilang sehingga dia tidak bisa mengetahui apa yang sedang dia lakukan. Pernah sekali dia mengira hubungan XiChen dengan saudara-saudara tersumpahnya lebih dari apa yang terlihat di permukaan, tapi tidak sepantasnya dia ikut campur. Topik mengenai Nie MingJue dan Jin GuangYao adalah luka yang terlalu dalam sehingga WangJi tidak pernah berani mengungkitnya lagi.

"Akan kupikirkan," ujar WangJi pada akhirnya, bahkan apabila memikirkan itu adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan selama minggu ini.

"Kapan tiba di sini?" tanya WangJi.

"Aku akan sampai di sana sekitar tengah hari besok. Boleh aku bergabung makan malam denganmu?"

"Tidak akan kelelahan?"

"Aku pasti masih bisa bertahan hidup untuk makan malam denganmu dan SiZhui."

"Baiklah. Apa sekarang kau di bandara?" WangJi masih bisa mendengar suara orang-orang di latar belakang.

"Oh, aku tidak akan naik pesawat," XiChen berujar lambat. "Aku akan terbang sendiri ke sana."

WangJi mengerutkan kening.

"Kau tahu betapa aku membenci transportasi umum."

WangJi pun mendapat flashback tentang bagaimana XiChen mengekspresikan opini langkanya pada penerbangan yang dia tempuh menuju London. Ternyata XiChen menghabiskan sepanjang duabelas jam duduk di sebelah bayi yang terus-terusan menangis bahkan sampai membuat kesabarannya menipis. Insiden itu sudah cukup membuat kakaknya ragu untuk menaiki transportasi umum, tidak peduli berapa kali WangJi mengingatkannya bahwa dia bisa saja memesan tiket first class.

WangJi pun mengira pasti bayi itu sangat sangat berisik. Padahal kakaknya selalu menjadi lambang dari kesabaran.

"Berhati-hatilah supaya tidak dilihat," ujar WangJi, meski tahu itu tidaklah diperlukan. XiChen lebih dari mampu.

"Tentu saja. Aku akan meneleponmu saat tiba nanti," XiChen meyakinkan. "Apa SiZhui di sana?"

WangJi mendongak dan melihat remaja itu sedang tertawa pada sesuatu yang dikatakan JingYi. "Ya. Apa kau ingin bicara dengannya?"

monotone (terjemahan)Where stories live. Discover now