14. Kejutan Pahit

Magsimula sa umpisa
                                    

Allesya kini tepat berada di sebelah dua orang tersebut. Sesaat dirinya melihat untuk memastikan jika mereka adalah orang yang dikenalnya. “Rangga? Bella?” panggil Allesya tak percaya.

Rangga terkejut karena panggilan Allesya. Ia melepas pelukannya kepada Bella begitu saja, membuat Bella kebingungan atas tingkahnya. “Aku bisa jelasin, Allesya.” Ucap Rangga gelagapan.

“Semuanya udah jelas. Gak perlu ada lagi yang harus dijelasin.” Jawab Allesya dengan senyuman yang terlihat sangat terpaksa.

“Kamu salah paham, semuanya gak kayak apa yang kamu lihat,” bantah Rangga.

“Gak, kok. Kenyataanya, semesta tak mengijinkan Rangga dan Allesya untuk bersama. Karena semesta tau, aku dan kamu tak akan pernah menjadi kita.” Jawab Allesya dengan lirih. Setelah mengucapkan itu, ia segera menjauh dan masuk kedalam mobil Agil. Ia memejamkan matanya dan menarik nafas dengan dalam yang ia hembuskan lewat mulutnya. Hanya dengan cara itu ia mengendalikan emosi.

Agil masih memandangi punggung Allesya yang telah tak tampak lantaran Allesya telah memasuki mobil. Agil menatap Rangga dengan sorot mata datar dan berkata, “Jangan pernah mencoba untuk dekatin dia kalo tujuan lo hanya buat dia hancur.”

Setelah mengucapkan itu, Agil segera menyusul Allesya ke dalam mobil. Ia masuk kedalam mobil dan melihat Allesya yang terpejam dan menarik nafasnya. Agil terdiam. Ia bingung harus melakukan apa. Hingga Allesya membuka matanya dan menatap Agil, “Kenapa gak jalan?”

Agil menoleh dan menjawab, “Lo gak apa-apa kalo sekarang ke rumah gue?”

“Gak apa-apa,” ucap Allesya dengan gelengan kepala dan senyumnya.

“Kalo gak bisa senyum saat sedih, jangan paksa senyum. Lo buruk banget soal pura-pura bahagia.” Ucap Agil yang tengah menghidupkan mesin mobilnya. Allesya yang mendengar pernyataan Agil lantas mengendurkan bibirnya.

Sebenarnya, apakah Allesya hidup hanya untuk disakiti? Rasanya masih terngiang ucapan Rangga waktu sore di depan toko buku. Sehina itukah dirinya? Hingga ingin bahagia saja tak bisa.

Teringat cara Rangga membuat Allesya merasakan cinta yang belia, tapi sesuatu terjadi di dalam diri Allesya, bahwa cinta itu tak nyata. Semuanya tampak kelabu meski di teriknya sinar mentari.

Agil menghentikan mobilnya di taman dengan penerangan yang temaram. Ia keluar dari mobil, tak lupa memakai jaket untuk menutupi seragamnya dan membukakan pintu untuk Allesya. Agil tahu jika sedari tadi Allesya hanya melamun, hingga Agil membukakan pintu untuknya saja ia tak tahu.

“Allesya?” Panggil Agil sembari menepuk pundak Allesya. Tepukan pundak itu berhasil membuat kesadaran Allesya kembali.

“Ah, udah sampai, ya?” tanya Allesya gelagapan.

“Gak jadi ke rumah.”

“Kenapa?”

“Sini keluar aja.”

Allesya menuruti perintah Agil. Ia mengikuti langkah Agil yang tengah menuju ke kursi taman. Ia duduk di dekat Agil yang menatap langit.  Sehingga membuatnya mengikuti kegiatan Agil.

Di keheningan malam, membuat Allesya ingin menumpahkan seluruh amarahnya. Di gelapnya malam, membuat Allesya ingin menyerah kepada semesta yang tak mengijinkan ia untuk bahagia walau sekejap saja.

Agil menatap Allesya yang sedang menatap langit. Lagi dan lagi Allesya melamun. Agil segera merengkuh tubuh mungil Allesya dari samping. Ia tahu, Allesya sangat membutuhkan dukungan. “Mending lo nangis aja daripada lo ngelamun.” Bisiknya.

“Agil?” panggil Allesya sembari mendongakkan kepalanya untuk melihat wajah Agil.

“Hm?” Agil menunduk untuk melihat wajah sendu Allesya.

“Lo peduli sama gue?”

“Kenapa tanya itu?”

“Kenapa lo meluk gue saat gue sedih?”

“Karena gue gak akan membuat lo semakin sakit dengan keadaan yang ada.”

“Kenapa begitu? Bukankah gue dan lo baru saja kenal?”

“Emang dengan lamanya waktu mengenal bisa menentukan seberapa kadar peduli seseorang?”

“Bukankah lo selalu kemusuhan kalo lihat gue di sekolah?”

“Emang.”

“Tapi kenapa sekarang lo seolah-olah peduli sama gue?”

“Karena cuma dengan cara seperti ini yang bisa gue lakuin. Gue gak tahu juga. Logika gue selalu meminta gue buat jauhin lo. Sedangkan hati gue selalu meminta gue buat lindungi lo. Pikiran dan hati gue selalu kontras saat bersama lo. Gue juga jadi orang yang banyak omong sejak kenal lo.”

Allesya tertegun mendengar pertanyaan itu. Ia memilih menyenderkan kepalanya di dada Agil. Ia tidak perduli dengan pamrih apa yang diminta oleh Agil. Karena yang ia butuhkan saat ini adalah tempat bersandar.

Agil membelai rambut belakang Allesya, bermaksud untuk menenangkan Allesya. Nyatanya perlakuan Agil yang seperti itu malah membuat Allesya terisak. Agil segera berdiri dan menangkup wajah Allesya dengan keadaan membungkuk, “Menangislah sepuas lo untuk malam ini, maka besok dan seterusnya gue akan larang lo buat nangis.”

Allesya ikut berdiri dengan air mata yang sudah membasahi wajah manisnya. “Gue gak tahu besok dan seterusnya gue akan nangis atau gak, yang gue ingin ini tangisan yang terakhir dan gak akan terulang lagi.”

Agil tersenyum singkat mendengar ucapan Allesya dan segera menarik tubuh Allesya agar memeluk dirinya. Kali ini, Allesya membalas pelukan Agil ditengah isakannya.

Agil mengelus punggung dan kepala Allesya dengan lembut membuat Allesya semakin mengeratkan pelukannya. Agil tak perduli jika baju yang dikenakannya akan basah, yang terpenting ia bisa menjadi tempat berbagi bagi Allesya meskipun ia belum mengetahui semuanya.

“Kenapa, sih, gue bahagia sulit banget! Gue benci semua ini!” Amuk Allesya dengan memukul dada bidang Agil.

Why is my fate so sad, God? Aku ingin bahagia!!!” Teriak Allesya dengan histeris. Ia memukul dada Agil dengan sangat keras membuat Agil meringis menahan sakit.

“Allesya, jangan seperti ini,” ucap Agil dengan sabar. Namun, Allesya tak menghiraukan Agil, malah semakin saja menjadi.

“Allesya, jangan seperti ini!” Agil melepaskan pelukannya dan mengguncang pundak Allesya agar bisa mengontrol emosinya. Sorot mata Allesya menyendu, setidaknya ia lebih tenang. Kemudian Agil kembali memeluk Allesya.

“Jangan menangis seperti ini jika gak ada gue.” Bisik Agil.

I want you to be my friend.” Ucap Allesya parau.

“Gue akan jadi teman lo tanpa lo minta.”

Don't lie to me like him.

Will never.”

Mereka saling terdiam setelah bercakap singkat. Mereka lebih memilih untuk diam berperang dengan dirinya sendiri. Daripada harus menumpahkan seluruh amarah yang belum pasti ada penawarnya.

Seseorang melewati mereka dan melihat dengan seksama. “Agil? Allesya?”

***

Hallo, update tepat waktu ya😂.

Jangan lupa vomment yaa, terimakasih❤

ALLESYA [END]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon