Part 1 Encounter

79 2 0
                                    

INSPIRED BY TRUE STORY
💮 💮 💮

Part 1 ENCOUNTER

"Naf, mau sampai kapan kamu lari dari perjodohan?" tanya Nafisah jengah.

Ibu mana yang tak gelisah melihat anak gadisnya berusia matang terlalu abai dengan hal asmara sementara umur orangtuanya menukik senja . Demikian dengan Nafisah Khadijah, seorang ibu yang dilanda kegetiran pada sang gadis bungsu, Nadhifa Qanita Ali.

Pertanyaan yang sama, jawaban yang sama pula. Nadhifa, si gadis batu. Perangainya berbeda signifikan dengan sang ibu. Sering bertolak belakang dengan keluarga. Hanya seseorang yang bisa menaklukan si stubborn, ialah sang kakek.

Dert ... Det ... Derrrt ...

Ratusan panggilan masuk sepanjang malam mengganggu asyiknya mimpi, dengan malas Nafa mengangkatnya.
"Nak, kamu dimana? Kamu mau nyiksa Umi yak, Umi khawatir! Huhuu..." tangis sang ibu pecah, bagaimana tidak? Saat dijemput di pondok milik pamannya, tak ada. Tadi siang pamit izin pulang.

'Ah ... Umi, aku seperti anak durhaka, beud ... ' batinnya.

"Maaf Mi, aku di rumahnya Alin. Kemarin Uwa Said jemput Alin, Naf ikut deh. " jawabnya lemah. Lagi-lagi penyakitnya kumat, kabur. Ia tak betah di rumah, jodoh dan jodoh jadi bahasan tak bisa dipungkiri. Penat.

"Jadi kamu di Jakarta? Kok gak bilang dulu, Naf?

" Emh ... Iya Mi, takut gak diizinin Abi. Insyaallah Senin udah pulang kok."

Tut ...Tut ...

"Halo Mi, Umi!"

Panggilan tiba-tiba terputus. Ada rasa bersalah yang singgah di hatinya. Terlebih kini, reputasinya di pondok terkoyak. Izin pulang ke rumah, eh ... Malah mampir ke Jakarta. Huft!

Pagi cerah. Bang Fatih, mengajak Alin dan Nafa ke sebuah Festival seni.

Nafa asyik sendiri menyelusuri galeri-galeri. Tanpa disadari, ia terpisah dengan kakak-adik itu. Galeri seni rupa dari clay rupanya menyita daya tariknya. Puluhan tembikar estetik nan elok membuat Nafa senang berlama-lama ria. Perlahan, ia menyentuh beberapa karya epik itu.

Bruk!

Pecah seketika. Sontak semua pasang netra menatap gadis berhijab hitam. Cemas, tentu saja! Wajahnya pucat pasi, dipikirnya pasti harganya mahal. Nafa mengalami Hiperhydro genetik, keringat membanjiri telapak tangannya pertanda anxiety circumstances. Gelisah.

"Nona, anda harus bertanggung Jawab! Apakah kau tahu, Nona? Tembikar guci ini akan dilelang Pangeran Jordania seharga 3 juta US dollar?" Suara bariton seorang pria jangkung, kini menatapnya tajam. Nafa bergidik, menelan ludahpun terasa sukar saking kaget mendengar harga guci itu.

"Saya tidak sengaja, tadi ada yang mendorong saya!" kilah si gadis.

"Anda tidak perlu beralibi," ucap pria itu datar. Sumpah, menyebalkan!

'Arghhh ... gimana ini? Mana bang Fatih sama Alin entah kemana,' gerutu Nafa kalang kabut.
Ia mencari benda pipihnya dalam tas untuk memberi tau Fatih dan Alin, namun nihil, benda itu hilang.

Tatapan mata elang pria itu terus saja membuat Nafa semakin tersudut, menimbulkan ketegangan terspesifikasi.

Seorang lelaki berwajah bening, berambut klimis, datang menghampiri. Tampan! Nafa tampak tertarik dalam pesonanya. Apalagi, setelan jas berwarna emerald yang membalut tubuh tegapnya. Duh! Angkat tangan.

'Ya Salam, woy! Nadhifa, bisa-bisanya berpikir kek gitu. Duh!'

"Kak, dia udah mecahin guci limit series," ujar pria jangkung pada lelaki yang menghampiri sembari menunjuk Nafa. Dia juga menggerakan jemarinya seperti berkomunikasi via isyarat.

"Maaf, saya tak sengaja! Tadi ada yang mendorong saya," protes Nafa seraya menatap dua pria dihadapannya.

Hening, tanpa berbicara si lelaki tampan menunjuk ke arah CCTV.

Kedua pria itu memeriksa CCTV. Nafa sesekali mencuri pandang pria berambut klimis itu.
Deg!
Netra mereka saling beradu. Ada debar disertai hawa hangat pada gadis itu yang sudah lama hatinya mati. Setelah memeriksa CCTV, si pria tampan itu menggerakkan tangannya sebagai isyarat pada pria congkak, mungkin adiknya. Ia tersenyum serta menganggukan kepala kepada Nafa dan bergegas pergi.

'Ah ... siapa pria Itu? Berani-beraninya dia membuat gemuruh jantung yang telah lama vakum! Ck. Oh ya, kenapa dia tak sedikitpun berbicara? Padahal inginku mendengar alunan suaranya. Astagfirulloh!
Ya Rabb, ada apa denganku?
Naf, Nafa, Nadhifa sadarlah!' Nafa bermonolog sembari menepuk berkali-kali pipinya.

Dua jam sudah Nafa berada di galeri tembikar. Untung saja sang pemilik tembikar berbaik hati. Lega.  Alin dan Fatih tiba-tiba datang.
" Naf, kemana aja? Abang muter-muter nyariin. Ditelepon diangkat tapi kaga nyaut. Huh!" tanya Fatih menggebu-gebu dengan raut wajah panik. Nafa menjelaskan bahwa ponselnya hilang, serta tersandung polemik guci pecah.

_________________

Sebuah ponsel ber-case club bola Eropa tergeletak di atas meja makan. Terus bergetar, pria itupun meraihnya. Terkejut, 'Foto gadis tadi,' gumamnya dalam hati. Ia menggeser simbol hijau pada layar saat ada panggilan masuk.

"Halo! Naf, kamu dimana?" Suara seorang lelaki dengan panik di seberang sana.

" Nafa?!" Hening, tak ada sautan.

"Nafa, are you oke?" Masih saja, senyap.

"Ayolah Nafa, jangan buat khawatir!" Suara Fatih meninggi sementara pria itu ingin menjawab via suara namun tak bisa.

Zigrid Isfizari Mahardika, pemuda beranjak kepala tiga. Sekilas tak ada yang berbeda. Wajah tampan rupawan, tubuh tegap ideal, tajir melejit, si pecinta tanah liat. Charming! Sempurna bukan?
Hanya saja dia sirna dalam suara, redup dalam berkata lewat nada.

Nafa menyusuri restoran yang pernah dikunjunginya. Berharap gawainya tertinggal disana. Ternyata tak ada. Huft!
Saat dirinya ke toilet, seorang laki-laki yang sedari tadi singgah di hatinya tiba-tiba memberikan ponsel Nafa yang hilang. Deg!
Nafa mematung, degup jantungnya kian cepat. Ah, si Nafa belum juga tersadar. Butuh 15 detik mengembalikan jiwanya yang melayang sejenak. Heran!

"Hey! Hey! Tunggu aku!" teriaknya sembari berlari bak hyena, cepat. Nafa menatap sendu punggung lelaki itu. Perlahan menjauh, lenyap diantara lorong. 'Jalannya terlalu cepat, atau aku berlari amat lambat' batinnya.
Kecewa. 'Sungguh! Berteriak sampai serak, namun dia tak acuh. Apa dia tak mendengarnya, hah? Huh!' gerutu hatinya.

'Awas kau! Akan kubuat jatuh cinta!'









My Man is MuteWhere stories live. Discover now