CHAPTER EMPAT

2 1 0
                                    

Happy reading!
Don't forget to vote and comment!

***

Aku menghela nafas panjang setelah mengunci pintu rumah, berharap Hari ini bisa lebih baik dari hari kemarin. Tapi, apakah ada kenyataan yang sesuai ekspetasi? Tidak.

Setiap aku melalui sebuah rumah yang biasa disebut 'tetangga', justru penolakan yang aku peroleh. Dapat  dengan jelas bagaimana seorang ibu rumah tangga yang sedang menyapu langsung masuk kedalam rumah saat diriku lewat didepan rumahnya. Pengasingan yang terasa jelas. Aku hanya bisa menghela nafas melihat itu. Mau marah pun aku tak tahu pada siapa.

Ku langkahkan kakiku dengan mantap memasuki area kampus. Beberapa pasang mata yang mengiringi langkahku seakan menghunus punggungku. Cibiran dan gunjingan tak dapat dihindari lagi, seakan mereka yang sedang membicarakan itu merasa lebih baik dan tinggi dari diriku.

"Bersabarlah, sweet girl"
"Bersabarlah, Ada aku disini untukmu."

Ucapan laki-laki bermata biru itu terus terputar seperti melodi dalam kepalaku. Melodi yang mampu menenangkan hatiku, meredakan emosi dalam kepalaku yang setiap saat dapat meledak, dan yang menguatkan diriku dalam keputus-asaan yang merundung.

Dengan langkah cepat dan kepala menunduk, aku memasuki kelas. Menyapa Sherry yang sudah lebih dulu tiba, lalu mendudukkan diri dibangku yang hampir 1 tahun ku singgahi.

Baru saja aku menarik nafas yang kedua, salah satu anggota kelompokku menyodorkan tangan.

"Mana tugasnya!" Aku bahkan tak menemukan nada tanya dalam ucapan gadis didepanku itu.

Menghela nafas pelan,  ku ambil flashdisk yang berisi soft file tugas kelompok. Menyerahkan kepada gadis yang menungguku sambil bersidekap dada. Tanpa kata, gadis itu pergi dengan langkah anggun yang dibuat-buat.

Mari ku perkenalkan sedikit tentangnya. Gadis itu, Olivia Wilther. Gadis cantik covernya. Memiliki banyak teman yang panjat sosial karena Olivia masuk golongan atas. Ayahnya adalah donatur terbesar di kampus ini. Berwajah cantik, walau ada beberapa bagian wajahnya--atau bahkan tubuhnya-- yang dibentuk dari uang a.k.a operasi plastik. Dan ada satu hal yang membuat dia digilai pria disini. Pakaiannya. Dia selalu memakai pakaian selayaknya model. Model majalah dewasa tentunya. Mengumbar tubuh moleknya--yang tidak semua asli-- kepada semua orang. Sungguh menjijikan.

Sekitar sepuluh menit kemudian, seorang dosen dengan perawakan tinggi memasuki kelas. Cukup membuat suasana hening.

"Pagi. Silakan mempresentasikan tugas kelompok dari saya minggu lalu!" Ucapnya tanpa berniat menunggu murid didiknya membalas sapaan darinya. Tipikal dosen killer.

Dosen itu terlihat kesal, mungkin karena kondisi kelas yang ricuh.

"Kelompok yang maju pertama akan diberi nilai plus." Katanya.

Kelas menjadi hening. Semua tertarik akan tawaran dosen yang terkenal, pelit nilai itu. Jika tadi mereka berdebat menyuruh kelompok lain untuk maju terlebih dahulu, maka sekarang mereka berebut untuk menjadi yang pertama. Membuat dosen itu semakin geram.

"Tinggalkan kelas jika kalian ingin berdebat!" Hening seketika. "Silakan yang mau mendapatkan nilai plus, maju kedepan."

Suara ketukkan sepatu dengan kerlap-kerlip seperti lampu pasar malam itu memenuhi ruangan hening ini, membuat semua pasang mata mengarah kepadanya. Dia begitu menikmati menjadi pusat perhatian. Siapa lagi jika bukan Olivia.

Aku ikut maju kedepan, menyusul ketiga teman sekelompokku yang sudah terlebih dahulu ada di depan.

Olivia melemparkan flashdisk milikku ke meja tanpa kata, tapi aku cukup tahu untuk mengetahui maksud gadis sombong itu.

Somniu (Dream)Where stories live. Discover now