#4 Iya atau iya?

Mulai dari awal
                                    

Semua ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan dengan sangat berhati-hari. Si tua kejam itu tidak boleh mengetahuinya atau ia akan menggagalkan rencana yang sudah kami susun selama puluhan tahun.

Setelah sampai di ruang tamu, aku pun menurunkan gadis manusia itu ke kursi yang sama saat ia duduk menunggu para tetua berdiskusi.

"Terima kasih untuk tidak membunuhku," ucapnya dengan nada lirih yang penuh ketulusan, namun ia juga terdengar menyindirku secara halus.

"Harusnya kau katakan maaf karena sudah memakan kristal ku," ucapku sambil melirik padanya.

"Maaf," lirih gadis manusia itu sambil menunduk.

Aku mendesah frustrasi.

Apa di tempat bernama panti itu, dia selalu diajarkan menunduk? Tidak sopan sekali! Apa dia tidak tahu bahwa seseorang harus menatap mata lawan bicaranya saat sedang berbicara?

"Hey, lebih sopanlah padaku!" 

"Maafkan aku..." Gadis manusia itu kini lebih dalam menunduk seakan-akan ia tahu bahwa aku akan menghukum mati dia setelah ini. Hal itu semakin membuat aku jengkel hingga aku memijat dahiku sesaat karenanya.

"Maksudku tatap lawan bicaramu ketika kau sedang berbicara dengannya!"

Tepat setelah aku selesai mengucapkan kalimat itu, gadis itu langsung bergerak mendongakkan kepalanya secara tiba-tiba. Ia memelototkan matanya padaku, membuatku kembali mendesah frustrasi.

Aku memang menyuruhnya untuk menatap lawan bicaranya, namun bukan tatapan seperti ini yang aku maksud!

"Hentikan tatapanmu!" seruku sambil mengalihkan pandanganku darinya.

"Maaf..." katanya sambil mengubah tatapannya. Dia menatapku bak seekor anjing yang tengah menanti makanan dari majikannya. "Siapa nama Anda?" tanya gadis manusia itu.

Aku menarik napas panjang, kemudian mengeluarkannya secara perlahan. Hal itu aku lakukan untuk meredakan emosiku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasibku setelah menikah dengannya nanti. Aku harus segera mencari cara untuk menyingkirkannya. Aku tidak ingin menghabiskan waktu untuk marah setiap saat.

"Ah, apa Anda mendengarku?"
Suara gadis itu membubarkan lamunanku. Aku pun langsung memandangnya, kemudian memosisikan badanku untuk duduk di sampingnya.

"Kenapa kau menanyakan itu? Kau mulai tertarik padaku, ya? Apa karena itu juga kau mulai bicara formal?"

Setelah aku bertanya, gadis ini langsung menyipitkan matanya.

“Bukankah aneh jika aku tidak tahu nama suamiku nanti?”

Aku menghela napas saat mendengar perkataannya. Awalnya, aku berpikir ia menyipitkan matanya karena tidak suka dengan perkataanku, namun sepertinya tidak begitu. Akhirnya, dia mengakui diriku sebagai calon suaminya.
Gadis pintar.

Aku berpikir sesaat. Memang benar, akan sangat aneh jika aku menikahi gadis yang bahkan tidak mengetahui nama dan asal usulku.

"Benar, kan?" Dia bersuara lagi.

"Namaku Charlie. Aku vampir. Aku putra mahkota yang akan segera dinobatkan menjadi raja menggantikan seorang pak tua yang menjijikkan. Untuk menjadi raja, aku harus menelan kristal marun itu, kristal yang kau anggap makanan... Entah, apa namanya itu, lal--"

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, dia tiba-tiba menyela ucapanku. "Maaf".

"Lalu, jika aku tetap ingin menjadi raja, aku harus menikahimu untuk menghisab darahmu, karena darah di tubuhmu sudah bersatu dengan kristalku. Jadi, cukup menurut dan bertanggung jawab atas perbuatanmu," lanjutku.

"Jadi, setelah kau menghisab darahku, aku boleh pulang. Kita berpisah dan seakan tak pernah mengenal? Benar?"

Mataku melotot. Apa pernikahan di matanya seakan hanya sebuah permainan janji?

"Tidak, Bodoh! Kau akan selamanya disini!"

"Lalu bagaimana dengan keluargaku?"

Aku tertegun. Keluarga yang ia maksud pasti bocah-bocah yang tinggal bersamanya di panti itu, kan? Ah, ia bahkan tidak punya hubungan darah dengan mereka, jadi untuk apa memikirkan mereka.

"Kau bahkan tidak punya keluarga," ucapku sambil bangkit dari duduk.

"Anak-anak di panti adalah keluargaku," katanya lirih.

"Jika kau memang sangat menyayangi anak-anak di tempat bernama panti itu, harusnya kau pikirkan mereka sebelum menelan kristal berhargaku!" Aku meninggikan nada bicaraku sambil menunjuk kepalanya yang entah sejak kapan sudah menunduk ‘lagi’.

"Aku tidak punya banyak waktu untukmu. Aku akan pergi, tapi ingat, jangan pernah berpikir untuk kabur. Dunia ini berbeda dengan dunia manusia. Manusia lemah sepertimu hanya akan mati dengan cepat jika pergi tanpa tujuan," lanjutku.

Kemudian aku berjalan menuju pintu depan rumah ini. Aku sudah cukup menahan amarah hari ini. Aku tidak ingin meladeni gadis bodoh itu.

"Tunggu dulu, aku..."

Tak peduli apa yang ingin dia katakan, aku langsung mempercepat langkahku untuk keluar dari sana. Aku tidak punya waktu untuk mendengar perkataannya. Aku harus bertemu seseorang yang penting setelah ini.

*****

Kiara POV

Vampir. Makhluk yang biasanya menjadi tokoh antagonis dalam buku-buku yang aku baca, kini muncul tepat di depanku.

Jika vampir itu nyata, bukankah ada kemungkinan bahwa masih ada banyak makhluk mitologi lain yang keberadaannya tidak aku ketahui?

Sejujurnya, saat ini aku ketakutan setengah mati. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padaku setelah ini. Apa lagi, aku akan menikah dengan vampir itu 6 hari lagi. Bukan vampir biasa, tapi ia juga calon raja! Namun aku terus berusaha menutupi rasa takut itu.

Aku tidak ingin terlihat lemah di matanya. Badanku masih terasa sakit dan perutku juga terus meminta diisi, namun aku tidak bisa melakukan apa pun. Aku hanya akan diam disini hingga vampir itu kembali.


Tanpa sadar, air mataku menetes. Aku lagi-lagi mengingat keluargaku di Panti. Ucapan vampir bernama Charlie itu juga terngiang-ngiang di kepalaku 'Kau bahkan tidak punya keluarga'. Jika dia tahu hidupku se-menyedihkan itu, kenapa dia masih ingin membawaku kemari?

Tapi aku tidak bisa memungkiri fakta bahwa aku memang bersalah dan memang pantas untuk dihukum. Aku mencuri benda berharganya. Setelah mendengar penjelasannya bahwa benda yang tanpa sengaja ku telan itu adalah benda yang amat berharga, aku langsung merasa bersalah dan aku akan bertanggung jawab untuk itu. Meski sebagai gantinya, aku harus menikah dengannya dan menghabiskan sisa hidupku disini.

Lagi pula, jika dipikirkan lagi, ucapan Charlie memang benar. Anak-anak di panti memang bukan keluarga kandungku. Setelah beberapa tahun, mereka pasti akan diadopsi satu-persatu dan meninggalkanku sendirian di panti. Meski menyakiti hatiku, tapi ucapannya benar.

Saat aku tengah menangis, tiba-tiba aku merasa ada tangan yang sedang menyeka air mataku. Tangannya terasa kasar dan besar. Untuk mengetahui siapa pemilik tangan itu, aku pun mendongak kepadanya. Mata kami saling bertemu.

.
.
.

Ayo vote!

I'm a MIXED BLOOD [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang