[vol. 2] 6. Mencoba Mengerti

Mulai dari awal
                                    

Dengan menipiskan bibirnya, tatapan Angkasa berlabuh pada wajah Sakura yang kedua matanya masih terpejam rapat. Perlahan tapi pasti, kemudian Angkasa meraih salah satu tangan Sakura.

Menggenggam erat jari-jemari gadis itu, sambil dalam gumaman pelan ia juga kembali berucap, "Kalau kamu merasa nggak ada yang mengerti bagaimana perasaan kamu, percayalah, saya sedang berusaha semampu saya untuk mengerti itu."

Brak!

Mendengar seperti ada suara benda jatuh dari luar, Angkasa beranjak untuk sekedar memastikannya.

Akan tetapi saat Angkasa keluar, tidak ada apapun yang ia dapati menggeletak di lantai. Tidak ada siapa-siapa pula yang ia dapati di sana. Sampai tiba-tiba, getaran ponsel dalam saku jeansnya mampu membuat fokusnya teralih.

Papa is calling...

💕

Galen memarkirkan motornya tepat di depan rumah Sakura. Yang tak lama berselang, dilihatnya Angkasa keluar dan menyambangi dirinya.

"Jaga dia, ya. Jangan sampai lo tinggal sendirian. Gue ada urusan yang mesti diselesaikan. Lo bisa, kan?" tutur Angkasa.

Galen mengangguk. Lalu setelahnya ia masuk, untuk menggantikan Angkasa.

Tetapi tidak tahu kenapa, Angkasa justru merasa asing dengan sikap Galen barusan. Angkasa mengenal tabiat Galen sejak mereka masih sama-sama kecil. Oleh karena itu, bukan hal yang lazim bagi Angkasa melihatnya bersikap diam seperti itu.

Ah, entahlah. Angkasa hanya bisa berharap anak itu tidak minum obat penghilang kewarasan.

💕

Plak!

Sebuah tamparan keras dari tangan besar Andre, mendarat kasar di pipi Angkasa. Tidak sampai situ, Andre juga menatap tajam mata Angkasa yang terus menghindar dari sorotnya.

"Mau jadi apa kamu kalau seperti ini terus?! Semua ucapan Papa kamu abaikan. Lalu sekarang bisa-bisanya kamu mempermalukan Papa, dengan memunculkan diri di tayangan berita kriminal?!"

Tidak berniat membantah, Angkasa menurunkan pandangannya.

"Apa karena pelayan kedai roti itu kelakuan kamu jadi urakan begini?!" sentak Andre.

Sehingga detik berikutnya pandangan Angkasa kembali terangkat. "Angkasa melakukan itu karena keinginan Angkasa. Jangan salahkan Sakura."

"Lalu kalau bukan dia, siapa lagi?" Tiba-tiba Andre tertawa. "Seorang anak yang dibesarkan dengan orangtua sakit jiwa, bagaimana mungkin akan tumbuh menjadi baik?"

Deru napas Angkasa seketika benar-benar diburu emosi. "Angkasa minta Papa berhenti menyalahkan Sakura atas kesalahan-kesalahan yang Angkasa perbuat," tekannya, dengan mata yang memerah ditikam oleh amarah yang tertahan.

"Di saat seperti ini, masih bisa kamu membela anak itu?"

"Bukan membela. Angkasa cuma mengatakan yang sebenarnya. Memberitahu Papa, karena Papa itu nggak tahu apa-apa."

"Papa tidak mau tahu, pokoknya mulai sekarang kamu harus jauhi anak itu. Karena Papa tidak mau keluarga kita kena sial nantinya, karena kamu masih berdekatan dengan anak itu."

"Perlu Papa tahu, sampai kapan pun Papa nggak akan bisa ngelarang-larang Angkasa lagi. Angkasa hanya melakukan apapun yang ingin Angkasa lakukan. Juga nggak akan melakukan apapun yang bukan menjadi keinginan Angkasa."

Setelah susah payah berusaha untuk menahan diri, Angkasa membalas tawa Andre sebelumnya. Membuat Andre sendiri yang melihatnya sungguh dibuat tersinggung akan hal tersebut. "Berani kamu bicara seperti itu dengan Papa, Angkasa?!"

Tanpa memedulikan apapun lagi, Angkasa kembali bergegas, menyisakan papanya sendirian di ruang tamu rumah mereka yang megah itu.

"Angkasa!"

Andre terus memanggil-manggilnya. Namun Angkasa berlagak seolah-olah telinganya tidak mendengar apapun.

💕

Tidak ingin mengganggu istirahat Sakura, Galen putuskan untuk menunggu gadis itu di ruang tamu. Duduk, dengan suasana yang entah mengapa saat itu terasa begitu menyesap dalam dirinya, sehingga mampu membuatnya menjadi sibuk mendengarkan suara-suara di kepalanya yang tidak bisa terucapkan oleh mulutnya.

Kali ini tidak hanya tentang Sakura, tetapi juga tentang persahabatannya dengan Angkasa yang sudah terjalin sejak mereka kecil. Galen ambigu dengan perasaan dan logikanya sendiri, yang saat ini agaknya berjalan tak selaras. Galen bingung. Di satu sisi ia hanya ingin persahabatannya dengan Angkasa baik-baik saja. Akan tetapi di sisi lain, ia sendiri juga tidak bisa menghilangkan perasaannya pada Sakura. Meskipun ia tahu ke mana arah perasaan Sakura akan berlabuh.

Kata orang, jatuh cinta itu menyenangkan. Membahagiakan. Tetapi kenapa hal-hal tersebut tidak pernah berpihak padanya? Itu yang Galen pertanyakan sebetulnya, namu tak kunjung ia temukan jawabannya.

Saat memijat keningnya, seraya menundukkan kepalanya, saat itu pula secara tak sengaja Galen mendapati seseorang duduk tepat di sebelahnya.

"Dari dulu kita sering saling bertanya; 'gimana kalau suatu saat kita suka dengan seorang gadis yang sama?' dan ternyata begini jadinya," ucap seseorang itu, yang ketika Galen menoleh, ternyata tidak lain adalah Angkasa yang tiba-tiba juga menoleh ke arahnya. "Suasana kayak gini bener-bener buat gue nggak nyaman."

"Seandainya kita bisa mengatur perasaan kita sendiri ke hati mana dia akan jatuh, mungkin semuanya nggak akan kayak gini." Galen tersenyum miris, bersamaan dengan pandangannya yang mengarah ke depan. "Cinta sama seseorang yang lo suka adalah hal yang paling gue hindari sejak gue mengenal kata pertama dalam kalimat ini. Makanya gue menyesali perasaan gue ini sekarang."

Sesaat Angkasa kembali menoleh ke depan. "Nggak ada yang perlu disesali. Lo nggak salah. Nggak ada yang perlu disalahkan dalam hal ini. Termasuk perasaan kita masing-masing," lanjut Angkasa. "Jatuh cinta itu reaksi alamiah. Tulus, dan nggak bisa direncanakan atau diatur-atur. Dia akan berjalan ke mana pun yang dia mau. Berlaku apapun yang hanya menuruti sesuai kehendaknya."

Sejenak Galen menoleh. Dadanya yang sesak akan sesuatu yang tak mampu terjelaskan, membuat matanya memerah dan sedikit berair. Kemudian ia bertanya pada Angkasa, "Terus kita harus gimana?"

Angkasa diam, tidak memberi jawaban. Lantaran sejujurnya ia sendiri pun tidak tahu apa yang mesti dirinya perbuat saat ini.

Di saat Galen menyesali perasaannya pada Sakura, entah kenapa Angkasa justru sebaliknya. Angkasa sama sekali tidak pernah merasa menyesal akan perasaannya yang jatuh pada gadis itu. Sekalipun ia sadar perasaan itu hanya menyakitkan baginya.

===

To be continue...

Cold EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang