6. Setangkai Kurma

401 53 21
                                    

Author's playlist:
Tanasim 3 by Trio Joubran

───¤¤¤───
قراءة سعيدة
Selamat membaca
───¤¤¤───

Seperti sudah kadung masuk dalam perangkap, aku menilik tiap-tiap serpih di kampung yang berdiri amat jauh dari Babilonia agar tak terkena jerat. Sementara aku berdiri dengan hati gelisah luar biasa, Hardas-Eil malah duduk bersandar di sebuah pohon kurma yang melengkung batangnya. Matanya terpejam dan wajah menghadap langit, sebagaimana seorang tukang panggul yang telah memanggul keranjang batu sepanjang hari.

"Tidakkah engkau letih?" tanyanya, yang tak akan kujawab.

Sudah barang tentu aku ingin melepas semua payah dan lelah, tetapi banyak gangguan dalam pikiran. Andaikata dapat mengeluh, sudah kukeluhkan padanya, tetapi ia pasti telah mengetahuinya.

Ia melanjutkan. "Jika engkau mencemaskan nyawamu, kembalilah pulang, lantas bersimpuhlah di hadapan raja dan memohon belas kasihan padanya. Puji-pujilah ia setinggi langit dan semerdu angin, niscaya ia akan jatuh hati padamu."

Itu cemoohan, sebab ia tetap tak membuka matanya. Ia masih pada rehatnya.

"Tidakkah sebaiknya tuanku menghindar dari Akhdir? Firasatku tak baik, dan aku amat terusik," sanggahku, berharap ia berdiri dan keluar dari sini.

Lalu sepasang bola matanya tampak, masih ke arah langit. Sejenak aku merasa menang, tetapi ia tak segera menegakkan badan. Ia malah minta dipetikkan serangkai kurma yang masih kuning pada pohon tempat ia bersandar.

"Tuanku," ucapku ketika Hardas-Eil menyantap kurma-kurma muda itu, "masih jauhkah dermaga itu, yang tuanku sebut pada tempo hari?"

"Mungkin tiga atau empat hari lagi. Nin-Seka, masih adakah kurmanya?"

Ugh! Yang benar saja!

Satu tangkai lagi kupetik, dan ikrarkanlah bahwa ini jadi yang terakhir aku memetik kurma di Akhdir. Sungguh aku ingin keluar dari sini.

Sang jasus masih mengunyah kurma kuning yang pertama, kemudian ia mentitah lagi. "Duduklah, dan lepaskan cemasmu."

Pun kata-kata itu terdengar kosong, tetapi akhirnya aku ikut berteduh.

Laksana peraduan yang terbuat dari awan, tanah Akhdir terasa lembut dan anginnya sejuk. Kala itu, sinar sang surya tak terasa menyengat, dan kampung ini begitu sunyi. Pohon kurma itu menyajikan rehat yang tak mungkin tertolak.

Lalu, aku pun tertidur.

•••

Aku sadar ini mimpi siang bolong.

Sekali lagi, aku berada di balairung Ziqquratum An, tapi di sisi jauh, tampaklah perawakan yang tak asing. Di ujung sana, sebuah tahta kayu berhias cabang zaitun diduduki oleh ayahku, yang kain bajunya menjuntai hingga ke lantai.

Ayahanda telah menjadi raja.

Bahwasanya ini adalah mimpi, dan ini sudah pertanda aku harus bangun.

"Nin-Seka, dengan segala kebiadaban dan kebebalannya!" seru ayahku, yang disambut kemunculan orang-orang bersenjata lembing dari balik pilar. Dan ia menunjuk mukaku dengan jarinya.

Menakutkan. Seolah ia benar-benar raja yang dapat sahih mencabut nyawa manusia.

Ingin aku segera bangun, tetapi tidak bisa.

Hikayat Sebutir PasirWhere stories live. Discover now