5. Sececah Syarah

555 61 6
                                    

───¤¤¤───
قراءة سعيدة
Selamat membaca
───¤¤¤───

Dahulu, daratan ini hijau berkilau laksana zamrud. Akibat rusaknya tabiat manusia, turunlah hujan dan air bah menggenang sehingga tak ada tempat kering kecuali 'lautan air tawar' selama semusim.

Kemudian mengalirlah dua sungai; Purattu dan Tigr, dan manusia yang selamat dari air bah mendiami lembah-lembahnya. Ladang, sungai, hewan gembala dan ikan melimpah ruah berkat alirannya. Lantas berdirilah berbagai-bagai tamadun; Akkadia, Eridu, Ur, Lagash, dan kampung-kampung kecil seperti Kirru. Namun, hijaunya daratan lenyap.

Bergantilah pasir yang berkat kuasa ilahi, tetap bisa menghidupi manusia.

Hardas-Eil berkata bahwa itulah yang disisakan bagi manusia, sebagai ancaman bagi mereka yang melampaui batas. "Kisah-kisah itu tampak mustahil," sabdanya, "akan tetapi, kemustahilan dapat terserak bila hati teguh iman."

Akan kubagikan sececah syarah Hardas-Eil.

Ia tampak seusia ayahku dan rambutnya ikal tebal sepundak. Ketika bicara, suaranya seolah keluar dari perutnya──getar gema ke telinga, amat menarik. Ia berceritera sedikit tentang penghidupannya di Eridu; ia seorang jasus* bagi raja, telah memiliki empat anak laki-laki yang jauh dari sini dan suka bergulat. Ia tak mahir menggunakan busur, katanya, dan suka sekali terjaga di malam hari.

Dalam maherat ini, Hardas-Eil membimbing dengan segala kecakapannya. Kedua lengannya kokoh laksana gada. Ialah manusia dengan kekuatan yang mungkin tak tertandingi oleh ayahku.

Kami masih di padang pasir, tak tentu di mana, namun Hardas-Eil melangkah seolah ada jalur nyata terbentang di hadapannya. Tiap hentak kakinya mantap tanpa takut salah jalan, menghapus gentar dari hati meski tak betul-betul lenyap.

Di sebongkah batu besar, kami bersandar dan berteduh dari terik. Seharusnya aku tidur, demikian arahan dari Hardas-Eil, tetapi tiap-tiap desir angin ke telinga membuahkan cemas. Seperti sesuatu hendak meletup dari dalam dada.

Ia bertanya padaku. "Sudahkah engkau menghitung berapa malam maherat kita ini?"

"Sepuluh, atau sebelas, tuanku." jawabku. "Mungkinkah mereka telah khilaf, tak lekas mencari-cari kita lagi?"

"Laskar pembunuh?-tidak," gumamnya, "aku tidak kuasa menjawabnya."

Kalau-kalau mereka muncul, masih ada bilah belada di punggung, dan yakin betul Hardas-Eil mampu melawan. Lengannya laksana palu gada, dan awaknya laksana pilar bumi. Tetapi memilih untuk angkat kaki dari Babilon, barangkali ia cemas akan hal lain. Sirat matanya yang bertumpu ke mana pun memandang, tak sukar diterka.

Ia takut akan dibunuh.

Aku pun berandai-andai, "Sekiranya laskar itu masih memburu, mungkinkah itu perintah dari imam tinggi?"

"Bukan," tukas Hardas-Eil cepat, "titah itu datang dari Raja." Kemudian berceloteh panjang, tak ketinggalan pula sungutnya. "Raja adalah perwujudan An di muka bumi. Engkau bertakzim padanya, sepadan dengan engkau bertakzim pada An di langit. Andaikata Raja mentitah, maka itulah titah dari Langit. Maka jika engkau tak mengindahkannya, Langit retak."

Ia menahan napas, lalu mengembuskannya berat-berat, seolah dadanya penuh debu pasir dan menghadang lisannya untuk terus bicara. Maka bersambunglah kata-katanya.

"Dan ia──engkau telah tahu pasti──ada gunung harta di belakangnya. Tiap-tiap cuilannya amat menggoyah jiwa yang sahaja, meski tetap tersila pada manusianya."

Dan terbitlah tanyaku sebab nyata-nyata Hardas-Eil berada di sini, bersama seorang pelarian, sasaran bagi pedang-pedang pembunuh. "Lalu mengapa gerangan, tuanku berada di sini? Jika aku diburu dan tuanlah yang mencekalku, tidakkah akan dihantarkan padamu sebanyak harta yang tuan inginkan?"

Pun, ia akan selamat jiwanya. Membawaku lari sama dengan lari kepada kematian.

Embus napasnya lagi-lagi keluar amat berat. "Karena aku pun terkena wabah itu sejak lama. Walau telah pandai-pandai aku menguburnya, akhirnya tampak jua."

Dan aku berseru, "Ah! Engkaukah ... tidak, tidak. Mungkinkah ... tuanku pernah memboyong seorang anak ke dalam bilik tuan di malam hari, lalu mengantarnya ke sebuah tepian di pagi harinya?"

"Benar!" Seolah hambatan semu di kerongkongannya sirna, matanya menyala oleh minat. Ia pun bertanya, "Engkaukah anak itu?"

"Betul, tuanku."

"Betapa jenakanya takdir! Aku telah menjulang putra Ama-E sejak lama!"

Maka demikianlah kami bercakap-cakap setelah hari-hari panjang di padang pasir dihantui ketakutan. Ketika sang surya telah condong dan bayangan telah panjang, kami kembali berjalan hingga sepanjang malam. Lantas bersujud hingga fajar terbit.

•••

Sampailah kami pada suatu puncak bukit pasir. Di kejauhan, tampak kayu-kayu tinggi bersusun rapat, yang mana merupakan dinding batas suatu kampung. Tak ada gedung tinggi, pun mahligai nan megah seperti milik raja Babilonia. Beberapa benara berdiri di sana, namun tak banyak.

Hardas-Eil memperingatkanku. "Inilah Akhdir, Nin-Seka. Jangan lepas pandangan barang sejenak pun kala kita di sana. Jangan lengah. Jangan lalai."

Sebelum ini, telah dua hari tak henti langkah kami. Diterangkan oleh Hardas-Eil bahwasanya Kampung Akhdir mungkin berisi mata-mata seperti dirnya. Ia membalut badan hingga mukanya baik-baik, hingga sepasang betis dan sepasang mata sahaja yang tampak.

Biasanya kami mengarung padang pasir seolah derap kuda para pembunuh tepat di punggung. Lengan Hardas Eil yang tak berayun ketika berjalan bertambah kaku. Ketika tapak kakinya menghentak tanah, ia tak lantas buru-buru mengambil langkah seribu sepetti yang ia lakukan tempo hari. Ia lebih banyak siaga.

Dan inilah Kampung Akhdir, yang mana suara angin lebih berisik ketimbang suara manusia.

Ada apa gerangan?

Banyak perkampungan tanpa seorang pun askar, tetapi Akhdir amat lain; berpasang-pasang mata menatap kami, sedang Hardas-Eil tak menghiraukannya. Aku menatap lurus ke depan, sekali-sekali ke bawah untuk menghindar dari beberapa sorot yang terlalu tajam. Hingga kami berjumpa seorang penghadang di sebuah persimpangan.

"Senjatamu," ketus si penghadang. Di belakang tegap punggung sang jasus, aku gemetar. Hardas-Eil mungkin tak bersenjata, sebab tubuhnya sudah cukup merubuhkan sepuluh orang dalam sekali tanding, tetapi di pinggangku tersimpan belada yang tak pernah keluar dari sarungnya. Kalau-kalau si penghadang memiliki mata yang tajam dan mendapati ketakutanku, tamatlah.

Tetapi membingungkan ketika Hardas-Eil melepas jubahnya, lalu menggulung dan menyerahkannya kepada si penghadang. Tak terima, si penghadang hendak menarik gagang pedangnya, yang kemudian disambar oleh sang jasus; "Ini pun dapat kugunakan untuk mencekik lehermu. Apakah engkau hendak mengambilnya?"

Maka diamlah si penghadang, bersama dengan menyingkirnya ia dari hadapan kami. Mukanya tetap beringas tetapi ototnya mengendur. Hardas-Eil lalu begitu saja.

Begitu sudah agak jauh, aku bertanya padanya, mengapa ia tak menilik bawaanku, dijawabnya; "Karena engkau hanya memenggal kepala kambing, bukan kepala manusia."

Padahal belum pernah aku menceriterakan kisahku kepadanya, tapi seolah ia mengetahui segala yang tidak kuketahui.

───¤¤¤───
يتبع
Bersambung
───¤¤¤───

*Jasus artinya mata-mata (serapan dari Bahasa Arab)

Hikayat Sebutir Pasirजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें