3. Seberkas Cahaya

1.2K 120 36
                                    

Author's playlist:
Lost in the Desert

───¤¤¤───
قراءة سعيدة
Selamat membaca
───¤¤¤───

Sebuah pedati dengan bahara berupa keranjang-keranjang ara dan kurma, bentangan kulit hewan dan gulungan kertas berhenti, di mana aku menariknya demi mengganti jubah kain. Seperti yang sudah aku duga, ia bukanlah tuan saudagar pemilik barang dagangan ini, melainkan seorang tangan kanan dari tuannya di lembah Sungai Nil, nun jauh di sana. Seorang saudagar kaya biasanya tak akan ikut bermaherat dan memilih mengupah pekerjanya.

Tidak pernah terbesit barang sebentar pun andaikata aku membelakangi Babilonia, hingga sejauh ini. Sudah dua malam sejak aku keluar dari gerbang, belum sekalipun aku tertidur. Ketika pasukan pengakap itu tiba, mereka hanya melihat-lihat tanpa mengusut, bahkan tanpa bercakap, lalu pergi. Tidak berarti mereka tidak akan kembali.

Dan demikian hari pertama dilalui.

"Kita akan singgah sebentar di Desa Kirru kemudian ke Sippar."

Teriknya hari, seolang langit disinari dua mentari, tetes peluh merayapi kulit punggung seperti seekor lipan dan tenggorokan kering bagai padang pasir itu sendiri. Dan Kirru, sebuah tamadun yang lebih kecil dari Babilonia, tetapi ramai bukan main. Manusia menyemut di mana-mana; pasar, kolam-kolam, bahkan ada gulat di jalanan. Serapah buruk nan busuk keluar memanaskan adu badan yang kian kalut. Orang mukhlis tidak akan ditemukan di Kirru, kecuali ia pasti menyendiri.

Tudung kepala turun hingga hidung, demi menyelimpat wajah, dan mencari tukang kuda agar selekas mungkin aku keluar dari sini. Pening sudah kepala, imbas matahari dan riuh manusia tak beradab yang menyongsong korban di kancah gulat.

Akibat tak awas, tak sadar aku telah menabrak bahu seseorang. Ugh! Terasa seperti beradu dengan tembok. Salahku, karena seharusnya tetap siaga di setiap embusan napas, tetapi tahu-tahu dicekal hastaku olehnya; yang tadi bertubrukan denganku. Tangan sudah menjawat gagang pisau rampasan di Babilonia tapi ia keburu menangkisnya. Sungguh tangkas dia.

"Ikut aku!"

Orang itu cepat sekali berbalik. Aku terseretnya hingga ke lorong di bawah bayang-bayang dinding. Bahu lebar bergerak seiring langkah seribu, timbul tenggelam di antara manusia. Kemudian ia berhenti dan tampaklah mukanya.

Aku tidak yakin, tetapi awaknya tak asing; sepasang ain berkilau laksana gemintang, wajah terang di bawah sinaran dan suara dan syahdu—adikarya dari Sang Khaliq, sepatah kenangan di masa kanak-kanak waktu itu.

Dia, yang dahulu bersujud pada ketiadaan.

Dalam sececah waktu, telah lewat denyut mahajana yang tak kenal adab itu. Lelaki berbadan tegap itu merasuk ke jalan yang hening. Begitu lajak dan langkas, hingga berkali-kali hilang bayang-bayangnya sebelum akhirnya ia berhenti.

"Kabar baru dari Babilonia; Nir-Seka yang lancang telah mencungkil mata Enlil dan mencuri harta milik imam."

Turun kata-katanya, seiring dengan gerak tangan yang menyuguhkan surai emas berlinang pendar laksana sang baskara sendiri. Benar, dia yang dahulu memulangkan aku, seorang anak yang kala itu terpasah di jalanan Babilonia. Alangkah jenakanya suratan takdir.

Aku menyanggah, "Demi Dia yang menjawat nyawaku, aku tidak mengerti maksudmu."

"Celakalah engkau, Seka! Seorang pelebaya diperintah untuk menebas lehermu. Mata beliungnya telah diasah, perintah telah dilayangkan dan kau masih berkeliaran di sini? Celakalah!"

"Dapatkah engkau menerangkannya?" tanyaku separuh membentak.

Akan tetapi ia menarik tanganku, mengenggamnya seakan ia murka. Diseretnya aku menuju gerbang Kirru di sisi lain yang baru saja terdengar pekik perintah untuk ditutup.

Hikayat Sebutir PasirWhere stories live. Discover now