"Kau tidak apa-apa Cia?" pertanyaan dari Amanda membuatku melihat kearah kakak sepupuku itu.

Aku menganggukkan kepalaku pelan sambil mencoba untuk tersenyum, tiba-tiba saja Amanda menyodorkanku sebuah buku ukuran sedang yang sudah di sambung oleh tali berwarna biru. Jadi buku itu bisa dibuat menjadi kalung dan sudah tersedia pulpen di samping buku itu, aku menatap heran kearah buku yang ia sodorkan kepadaku.

"Ini untukmu," seru Amanda dan tidak melakukan apa-apa selain menatap buku di tangan Amanda yang di serahkan kepadaku.

"Amanda!" suara tegas paman Jons membuatku tersadar dari lamunanku.

"Kau ini jangan buat Cia sedih," seru paman Jons yang ingin mengambil buku yang akan di berikan oleh Amanda kepadaku.

Dengan cepat aku mengambil buku itu terlebih dahulu "Cia, kembalikan buku itu sayang. Kau tidak perlu menggunakan benda seperti itu," bujuk paman Jons dan aku menggelengkan kepalaku dengan keras.

Aku membuka buku itu lalu menuliskan sesuatu "Jangan marah... aku suka dengan apa yang di berikan oleh kakak kepadaku," setelah selesai menulis langsung saja kuserahkan kepada paman Jons.

Pria itu membacanya lalu ia menatapku dengan raut wajah hangat sambil membelai rambutku "Baiklah jika kau suka kau bisa menyimpannya, nak..." seru paman Jons dengan lembut, ibuku yang melihat kejadian tadi kembali berkaca-kaca bahkan sekarang ayahku mengalihkan pandangan kedepan sambil berpura-pura fokus menyetir, padahal aku tau jika ayahku sedang menahan air matanya.

"Cia jika kau tidak ingin memakai itu juga tidak apa-apa, maaf jika aku membuatmu tidak nyaman..." suara Amanda terdengar dan kali ini gadis itu menundukkan kepalanya.

Aku menepuk pundakknya seolah-olah dari tepukkanku tadi mewakili kalimat yang tidak bisa aku katakan bahwa aku tidak apa-apa "Jangan merasa seperti itu kakak, malah aku sangat membutuhkan ini." tulisku lalu kukasih lihat kepadanya.

Suasana kembali menjadi gaduh, paman Jons dan ayah menyanyikan lagu-lagu lama yang sering mereka dulu dengarkan. Aku tersenyum saat ibuku memukul pundak ayahku dengan pelan karena ibuku menganggap jika suara ayahku sungguh sangat buruk, Amanda ikut mengomeli ayahnya yang masih saja terus bernyanyi tanpa memperdulikan protes dari anaknya itu.

Setelah memakan waktu satu jam setengah akhirnya kita sampai di salah satu perumahan atau pemukiman desa dan di sanalah nenekku tinggal. Dan sampailah kita di depan sebuah rumah berlantai dua yang terbuat dari kayu, kita semua turun dari mobil lalu masuk kedalam rumah nenek. Amanda berteriak seperti orang kehilangan kewarasannya, nenekku bahkan masih saja di dapur sambil mengikuti acara masak di dalam tv.

"Nenek kenapa tidak cepat keluar, padahal ada Cia dan paman juga bibi. Nenek itu memang kalau sudah masak suka lupa waktu," seru Amanda dengan raut wajah kesal dan kita semua hanya tersenyum geli melihat tingkah kakak sepupuku itu.

Aku melihat kearah sekeliling rumah Nenek, sudah beberapa tahun tidak kesini tetapi tidak ada yang berubah dari rumah Nenek. Aku masih bisa melihat ayunan yang dulu di buatkan oleh Kakekku, dulu aku sering bermain di sana bersama para sepupuku bahkan Amanda pernah jatuh di atas ayunan dan membuat keningnya berdarah. Kejadian itu sangat lama, bahkan aku sudah lama sekali tidak melihat Amanda, terakhir kali aku bertemu dengan Amanda saat usiaku 12 tahun. Tetapi aku senang karena sekarang aku bisa bergabung lagi bersama dengan keluargaku.









POV Varen...



Aku duduk di kamarku sambil memainkan rambut panjang bergelombang seorang gadis yang memiliki aroma persis seperti bunga mawar yang begitu menenangkan hatiku, entah mengapa aku sangat menyukai gadis bertubuh rendah di bawahku ini. Berulang kali aku mencium keningnya dan kita berdua tampak sangat bahagia, perasaan yang begitu bergejolak di dalam diriku membuatku dengan nekat untuk melanjutkan aksiku lebih lanjut.

Karma For A Werewolf PrinceWhere stories live. Discover now