12. 🍃Puisi tak bernama🍃

33.7K 1.6K 59
                                    

Mushola pesantren putra Syifaul Qolbi terdengar cukup riuh dikarenakan para kang santri dan para pengurus baru saja selesai mengikuti pengajian kitab Al Hikam bersama Abah Yai. Yang mana dari kitab tersebut merupakan mutiara-mutiara cemerlang untuk menyadarkan spiritual,mengandung banyak hikmah-hikmah ajaran Ibnu Athaillah . Hikmah ajaran tersebut supaya hidup menjadi lebih bermakna,
tentram dan indah.

Salah satu hikmah yang bisa dipetik adalah tentang keputusasaan seorang hamba terhadap cobaan.

"Sebenarnya kesusahan dari bencana yang menimpamu akan menjadi ringan, apabila kalian sudah mengetahui bahwa Allah sedang mengujimu. Sedang Dia-lah yang sedang mencoba melalui qadar-Nya. Dia juga yang telah menganugrahkan kamu unutuk mengadakan pilihan yang baik."

Usai menata dampar-dampar kecil. Mereka lekas kembali ke kamar masing-masing. Sebagian memilih untuk mencuci baju, khawatir jika pagi hari mendapat antrean panjang.

Laki-laki pemilik nama Taufiqurrahman Fadly itu berjalan tenang, melewati batu loncatan dari depan mushola hingga kamar pengurus. Sesekali melepas kopyah guna menyugar surai hitam legamnya. Ia letakkan kitab dan sajadah bergambar masjid Turki ke tempat semula.

"Assalamualaikum," ucap seseorang
dari ambang pintu kamar pengurus. Penghuni kamar lekas menoleh dan menjawab serempak. Cukup terkejut dengan kedatangan sepupu dari Kyai Zamzami, pengasuh pondok Syifaul Qolbi putri. Lantas kemudian berhamburan untuk saling menjabat tangan.

"Masyaallah, Ahlan wa Sahlan, Gus Habibi." Kang Bahrul, pengurus divisi pendidikan tampak heboh dengan kedatangan dzuriyah pesantren tersebut.

"Sugeng rawuh, Gus." Meski dulunya teman semasa Tsanawiyah, Ustadz Fadly tetap menjabat tangan itu dengan takdzim.

"Nggak usah boso kayak gitu, Kang. Biasa mawon." Gus Habibi lekas dipersilakan duduk sebentar. Mereka melepas rindu dan saling bertukar cerita serta pengalaman. Dari pintu masuk, terlihat Gus Luky yang menghampiri Gus Habibi, berniat untuk menjabat tangan.

"Ampun ngoten, lah, Gus Luky." Laki-laki berkurta hitam itu juga saling menunduk saat menjabat tangan Gus Luky. Siapa yang tidak mengenal putra Kyai dari Probolinggo tersebut? Meski sebagian santri kurang suka dengan sikapnya yang emosian. Lebih garang dari pengurus keamanan.

"Oh ya, bagaimana kalau ngopi di warungnya Mbah Husen? Monggo yang mau."

"Asal ditraktir kulo purun, Gus." Kang Haki menimpali dengan candaan.

"Nah, itu niat saya kemari. Buat nraktir kalian semua." Gus Habibi tertawa renyah menyaksikan kegokilan teman-temannya.

"Ayo, langsung saja, Gus," sahut Kang Barul bersiap-siap. Pun dengan Gus Luky yang baru saja mendapat tepukan halus di punggungnya dari Gus Habibi.

"Monggo, Gus. Ikut sekalian."

"Iya, Gus. Monggo," kata Gus Luky tak keberatan. Ia tanpa sengaja bersitatap dengan Ustaz Fadly yang baru saja meraih jas koko warna hitamnya. Cukup menyebalkan jika teringat saat Aira--gadis pujaannya dikabarkan disidang oleh Ustaz Fadly dan atasan. Semua itu karena surat darinya yang tidak dibaca langsung oleh Aira.

Ia hanya melengos pelan ketika Ustaz Fadly melempar senyum samar.

"Kang, dicari santri bagian mading." Kang Haris yang baru saja datang menyampaikan informasi.

"Suruh masuk aja, Kang."

Kedua santri tersebut memasuki kamar pengurus, seperti biasa memberikan hasil karya santri yang sudah lolos seleksi.

"Kang Fadly, jangan lupa nyusul,lo, nggeh?" seloroh Gus Habibi sebelum akhirnya keluar bersama pengurus lain. Laki-laki asal Blitar itu kini duduk di depan dua santri crew mading.

Ustadz, Aku jatuh Cinta [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang