Senang

0 1 0
                                    


SENANG
(Maret 2019)

Delapan tahun lalu.
Kini aku telah menginjak usia legal, tujuh belas tahun umurku. Cepat atau lambat aku akan segera menemukan diriku sebenarnya. Ku mulai berpikir “Apakah tahun ini Ibu mampu menguliahkanku?”. Seandainya tak bisa, tak masalah. Aku tahu Ibu bukanlah tempat segudang harta bersandar, Ekonomi keluargaku masih begitu saja, walau sedikit berubah. Aku sengaja tidak berbicara pada Ibu perihal aku ingin kuliah, aku tidak ingin melihat Ibu cemas memikirkan kuliahku.

Ternyata Ibu berpikir sejauh itu, Syukurnya Ibu telah menabung dan mungkin itu kurang untuk biaya kuliah, namun bagiku itu sudah sangat bahagia. Berkat lomba menulis dan melukis pada waktu SMA sampai membawaku ke tingkat nasional, aku mendapat beasiswa yang cukup membantuku kuliah. Senang rasanya aku bisa kuliah.

Kulangkahkan kaki ini dengan berat meninggalkan Ibu, rumah, dan kampung halaman untuk pergi ke Jakarta. Universitas Indonesia adalah tempatku menempuh bangku perkuliahan sarjana. Kumasuki salah satu kelas di  fakultas sastra Indonesia untuk hari pertama kuliah. Langit-langit ruangan seakan menyambut kedatanganku dengan suka cita dan kehangatan.

Di kamar kos, Aku sempat berpikir, apa Aku tidak bisa mencari pekerjaan yang lebih mapan, walaupun penghasilan menjadi editor sudah cukup untuk bertahan hidup di kota, walaupun itu juga biasa saja dan begitu-begitu saja. Teringat kisah kelam perjuanganku, hatiku menjadi tergerak dan ingin melakukana lebih. Aku selalu termotivasi untuk melakukan lebih. Jika nanti Aku mengikat janji suci dengan Anjani, Aku jadi malu jika penghasilannya lebih besar dariku.

Di teras kos, kupandangi mentari yang mulai mencapai batas horison barat, langit ungu yang seakan siap menyambut hitam gelapnya malam. Kubuka laptop ditemani secangkir kopi dengan niat menambah inspirasi di otak untuk memulai belajar mendesain sesuatu. Belajar secara otodidak dari laman di youtube membuatku terbuka akan pemikiran baru. Sepertinya membuat typography akan lebih baik, bisa merangkak menjadi dua bidang sekaligus, fotografi yang pertama, dan berkata yang kedua. Aku bisa menorehkan jiwa seni dan kata emasku ke dalamnya, walaupun kadang bisa mengambil kata dari internet yang wajib mencantumkan nama penciptanya.

Kutambah satu pekerjaan lagi, walaupun agak melenceng dari jurusan kuliah dulu. Kuajukan surat lamaran ke salah satu perusahaan produk terkemuka di kota ini dan Aku diuji keterampilan mengenai dunia desain, untung saja Aku cukup mahir dalam urusan seperti itu. Dengan cepat Aku diterima menjadi seorang desainer produk. Mungkin itu karena Aku lulusan universitas terbaik di negeri ini, atau mungkin juga karena pihak perusahaan tahu ada jiwa seni dalam diriku. Sekarang aku menjadi makhluk yang sangat sibuk, harus bisa membagi waktu untuk beberapa pekerjaan sekaligus. Kupikir kini sudah cukup bagiku untuk menjadi seseorang yang mapan, Aku mulai menabung untuk berniat membeli rumah sebelum melamar Anjani, walaupun itu hanya niat, padahal Aku belum mengungkapkan perasaanku padanya, tetapi mengapa hati ini merasa sudah kuat.

“Halo, Ni” Adipati memulai pembicaraan di panggilan via ponsel, berniat ingin memberitahu soal pekerjaannya.
“Iya, ada apa, Di?. Mau cerita ya pasti?”.
“Iya nih haha, kok tahu, jangan-jangan...”.
“Jangan-jangan apa?” ucap Anjani sedikit bingung.
“Sudah lah, nggak usah dipikir. Serius nih aku mau cerita. Dengar ya!” pinta Adipati dengan serius.
“Iya, Di”
“Aku senang banget sekarang, Aku sekarang keterima jadi desainer produk di perusahaan terkemuka di kota ini. Jadi sekarang Aku punya dua pekerjaan deh, satu jadi editor, satu jadi desainer produk, ya walupun ini agak melenceng juga sih. Aku juga lagi menekuni bidang typography juga nih, buat ngisi waktu luang. Kamu senang juga nggak?” ucap Adipati dengan sedikit gembira.
“Emmm, iya, Di. Aku juga ikut senang dengarnya. Selamat ya”. Ucap Anjani sedikit senang. Walaupun Anjani juga agak sedih mendengarnya, karena sekarang Adipati akan lebih sibuk.
“Eh, ngomong-ngomong traktirannya kapan nih?” sahut Anjani dengan agak semangat.
“Besok gimana?, sekalian nanti Aku antar kamu ke pihak percetakan”
“Emangnya besok Kamu nggak ke perusahaan produkmu itu?”
“Ah, sudahlah. Itu bisa diatur. Aku kan punya pekerjaan yang santai-santai semua” ucap Adipati dengan santainya.
“Ya udah, oke deh besok ya”
“Oke Anjani”
Kututup panggilan suara ini. Kumulai merebahkan tubuhku di ranjang tua kos ini. Kumulai untuk menyambut bunga tidur yang indah. Ku harap Anjani juga mengetahui kalau aku berjuang seperti itu demi membuatnya bahagia di hari esok.

“Ayo buruan naik ke motorku!” ucap Adipati
“Iya, ini baru mau naik”
“File-nya udah kamu bawa kan? Gak ketinggalan kan?”
“Udah, Di. Santai aja”
“Ini mau makan dulu atau ke percetakan dulu?”
“Ke percetakan dulu aja deh, nanti kalau makan biar santai dan nggak kepikiran beban lagi” ucap Anjani santai, dengan niat ingin juga santai seperti Adipati.
“Oke siap, pegangan yang kencang. Hahaha” pinta Adipati dengan niat menggoda Anjani.
“Hahaha, apaan sih?”.
Biasanya, kalau perempuan tidak suka digoda pasti akan marah. “Sepertinya Anjani juga mulai menaruh hati padaku. Semoga saja seperti itu” batinku dengan banyak harapan.

Sekitar setengah jam kutunggu berdua dengan motor kesayanganku, berharap Anjani segera keluar. Panas dan terik mentari seakan menusuk partikel terkecil dalam tubuhku. Sembari menunggu Anjani keluar, Aku mencari inspirasi typography di instagram. Sore nanti, aku berniat untuk membeli sebuah kamera untuk menekuni hobi fotografiku.
“Sudah yuk, Di!. Sudah selesai” Anjani seketika mengagetkanku yang sedang sibuk memikirkan suatu hal.
“Ya udah yuk, berangkat. Tapi kemana?”.
“Ke warung soto ter―enak itu aja gimana? buat ganti yang kemarin”.
“Ya udah oke”.

Memang benar kata Anjani, ini adalah soto ter―enak yang pernah aku makan. Atau mungkin ini menjadi enak karena pujaan hatiku mendampingiku makan.

Setelah kuantar pulang Anjani, dengan diiringi mentari yang juga akan pergi terbenam aku langsung menarik motorku menuju toko kamera terbaik di kota ini. Setibanya, langsung kupilih yang terbaik dan sesuai dengan kantongku. Aku sangat senang bisa membeli apa yang aku senangi. Dalam perjalanan pulang ke kos, aku menemukan banyak sekali objek yang dapat ditangkap dan layak untuk dibuat typography. Kuparkirkan motorku di pinggir jalan, kumulai dengan menangkap gambar seorang anak yang mengamen dan seorang wanita tua yang sedang mengemis, mengapa aku selalu iba dengan negeriku sendiri, orang awam lebih sibuk memikirkan dirinya sampai lupa dengan orang lain.

Jam dinding kamar kos menunjukkan pukul setengah tujuh malam, aku baru sampai di kos. Perut ini mulai berdendang, aku lupa tadi tidak sekalian membeli makan. Setelah mandi malam, kususuri gang menuju jalan raya untuk membeli sebungkus nasi kucing. Kulahap dengan cepat menandakan betapa laparnya aku. Usai makan, langsung kuambil ponsel dan menghubungi Anjani.
“Ni, besok siang kita foto bareng yuk, tadi aku baru aja beli kamera” harapan Adipati sangat besar.
“Kebetulan juga nih, Di. Aku juga bosan jarang jalan-jalan, jarang foto juga. Untung pekerjaan sudah beres”. Suara Anjani dengan nada girang dan bersemangat.
“Oke, seperti biasa nanti aku jemput kamu di kantor aja ya”. Aku sengaja mengajaknya bertemu di kantor agar tidak bertemu dengan Bapaknya untuk menghindari pertanyaan bertele-tele dari Bapaknya.
“Oke, Di. Selamat malam” ucap Anjani seperti menaruh harapan.
“Selamat malam juga, Anjani” akupun tahu bahwa Anjani sudah mulai membuka hati untukku.

Setelah sampai di lokasi foto, aku langsung memotret Anjani dengan latar pemandangan kota dari ketinggian. Ini bukan di puncak gunung, tapi di atap gedung pusat perbelanjaan di kota ini, sengaja aku cari yang tertinggi dengan modal ijin pihak mal dan nekat. Anjani gantian yang memotretku. Tapi kita berdua bingung, siapa yang akan memotret kita berdua bersama?. Kutinggal Anjani dan kameraku di atap. Aku turun dan kuberanikan untuk meminta seorang petugas kebersihan untuk memotretku, awalnya negosiasi sedikit kaku, tapi akhirnya mau. Kumainkan gaya dan pose terbaik dengan Anjani, walaupun awalnya agak malu-malu, tapi akhirnya kita malah seperti foto pre-wedding.

Panasnya mentari memaksa kita untuk turun. Teringat ini masih di mal, aku berniat mengajak Anjani bermain game yang sangat aku kuasai, “memancing boneka”. Aku lihai dalam memainkan itu, jika aku bermain terus, mungkin boneka di dalam box itu bisa habis aku bawa pulang. Satu persatu boneka kuambil sampai sembilan jumlahnya. Kuberikan semua pada Anjani.
“Itu sengaja aku ambil sembilan saja, untuk menggenapi yang ke sepuluh, kaulah boneka itu Anjani. Kau adalah boneka terlucu dan terbaik yang pernah Tuhan ciptakan” ucapku gombal kepada Anjani.
“Ah, Adipati. Kamu gombal terus” ucap Anjani sambil tertawa.
“Aku serius, Anjani” seketika aku berani berkata itu.
“Iya, Di. Terima kasih ya” ucap Anjani seakan-akan mulai luluh padaku.
“Sudah yuk pulang!, nanti kalau kemalaman malah dimarahin Bapak kamu lagi”
“Ayo, Di. Sekali lagi terima kasih ya sudah buat aku senang hari ini”
“Iya, sama-sama. Aku juga senang bisa keluar sama kamu” dalam hati Adipati sangat senang bahkan sangat-sangat senang.

Perjuangan yang baik pasti akan membawa senang. Tetapi jangan juga terlalu senang jika kita sudah senang, karena senang tidak akan bersama kita selamanya. Ingat hidup ini akan selalu berputar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 14, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AndipatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang