Kecewa

3 1 0
                                    


KECEWA
(Maret 2019)

“Gimana ini, Di?. Bagian akhir sudah kamu revisi?” ucap Anjani dengan sedikit cemas, mengingat besok adalah hari deadline penyetoran karyanya ke pihak percetakan.
“Santai, Ni. Hari ini mungkin akan menjadi hari terakhir revisi sebelum nanti dikirim ke percetakan” ucap Adipati dengan santainya.
“Kamu yakin itu sudah betul, Di?”
“Iya, Aku yakin, diksi yang kamu gunakan sangat elok layaknya rupa di raut wajahmu” Adipati mengucap gombal.
“Ahhh, gombal lagi, gombal lagi” ucap Anjani dengan sedikit nada kesal, namun dalam hatinya sedikit bergejolak.

Mentari siang ini sangat menusuk jiwaku, panasnya seperti terasa hidup di padang pasir. Kutarik pelan motor kesayanganku ini untuk mengitari kota mencari warung soto ter—enak titipan Anjani tadi. Kali ini Anjani tidak ikut, karena ia sedang sibuk-sibuknya membereskan karya emasnya itu. Kulihat jalanan kota yang keras ini, banyak pengamen, banyak gelandangan, banyak pengemis menjadi bukti bahwa negeri ini belum sepenuhnya merdeka.

Soto ter—enak katamu itu sudah tiba di meja kerja kantor, namun Kamu tidak ada, mungkin Kamu pergi ke toilet. Kuambil dua mangkuk dan nasi di dapur kantor, karena tadi Aku hanya membeli kuahnya saja. Sampai hampir lima menit, Anjani tak kunjung datang, Aku khawatir perihal soto itu, Aku takut sudah tidak enak lagi karena pendingin ruangan telah menghantam kehangatan kuah soto itu. Kucoba untuk menelpon Anjani.
“Ni, kamu kemana?” ucap Adipati dengan sedikit kesal dan bingung.
“Eh, maaf, Di. Tadi aku nggak bilang kamu dulu. Aku ini lagi di kafe dekat perempatan kantor bertemu pihak desainer sampulnya” Anjani menjelaskan dengan tergesa-gesa.
“Apa nggak bisa bertemu di kantor saja, Ni?” ucap Adipati dengan sedikit kecewa.
“Nggak tau, orang itu katanya mau bertemu di kafe saja agar agak santai”
“Ya sudah, kalau begitu aku tinggal sotonya di meja saja ya, barang kali nanti mau kamu makan” ucap Adipati pasrah dan berharap soto ini akan dimakan. Seketika Adipati langsung menutup telponnya.
“Ehhh, tapi, Di”

Pertama kali Aku merasa sekecewa ini. Aku mungkin terlalu berharap untuk membuatmu bahagia dengan hal tadi. Aku juga tidak menyangka, Kau lupa sekali dengan permintaanmu untuk dibelikan soto. Memang tadi hari terakhirku bertemu, karena revisi sudah usai. Aku baru ingat, Aku hanyalah editor, Dia penulis yang berbakat. Memang biasanya nama editor juga akan disematkan pada sebuah karya, tapi itu tak kan membuatku berubah. Mungkin akan berubah jika namku disematkan di hatinya. Mengapa sejak Aku kenal Anjani, hatiku seperti menemukan belahannya. “Ah, mungkin itu hanya kebetulan” batinku seakan masa bodoh, tapi hatiku seakan bergejolak.

Kesibukanku memikirkan hal tadi membuatku tidak sempat membuka ponsel. Kulihat notifikasi “20 panggilan tak terjawab dari Anjani”. Mungkin dia merasa bersalah, dan Aku tidak tega untuk membiarkan Anjani, biarkan nanti Anjani menelponku lagi, nanti akan Aku angkat. Ketika aku sedang asyik menonton film bioskop kesukaanku di televisi, kudengar nada ponselku yang seketika membuatku buyar dan goyah,ternyata Anjani, dan terpaksa kutinggal film itu untuk berbicara dengan Anjani.

“Di, maaf perihal tadi, Aku lupa untuk mengabarimu terlebih dahulu, Aku tahu kamu kecewa, Aku sangat bersalah, Di. Aku tadi seketika lupa kalau Aku ada janji sama Kamu untuk makan soto itu bersama. Sumpah, Di, Aku lupa. Maaf tadi aku belum sempat mengucap terima kasih pada kamu. Kamu sudah berjasa banget, Di. Kamu membantu aku merevisi karya perdanaku. Tak bisa dibayangkan, sebuah karya tanpa editor bagaikan pantai yang tiada airnya. Maaf dan terima kasih banyak ya, Di” ucap Anjani dengan cemas dan bersalah
Setelah beberapa menit Anjani berbincang, saatnya Adipati baru bisa menjawab.
“Kamu nggak salah, Ni. Nggak ada yang perlu dipermasalahkan. Sama-sama, Ni, memang sudah menjadi kewajiban seorang editor untuk membantu seorang penulis dalam melahirkan sebuah karya” ucap Adipati dengan sedikit terpaksa untuk rela memaafkan.
“Aku mau besok malam kita bertemu di taman tempat kita bercakap pertama kali, Di” suara Anjani dengan berharap.
“Tapiii, nanti Bapakmu bagaimana? Nanti dimarahin lagi lho”
“Sudahlah, Di. Tenang saja. Yang penting besok berangkat!. Sudah ya kututup telponnya dulu. Maaf tadi kalau mengganggu”
“Iya, Ni” ucap Adipati sedikit kesal karena tayangan film bioskop kesukaannya yang sudah hampir selesai. Tetapi Adipati juga merasa senang saat mendengarkan suara belahan jiwanya yang bertele-tele itu.

Malam kota ini tak sedingin biasanya. Lampu jalanan kota ini juga tak begitu seterang sinar mentari. Apakah ini karena Aku akan bertemu Bapak Anjani sebelum Aku bertemu dengannya. Ku harap keadaan malam ini tak setegang malam itu. Ku harap Bapak Anjani mulai luluh dan bersahabat kali ini. Motor ini semakin mendekat ke rumah Anjani di kawasan elit. Mengingat Bapak Anjani adalah seorang pengusaha kayu terkemuka di kota ini, walaupun aku baru mengenalnya sejak kenal Anjani. Aku yang baru saja mengadu nasib di kota ini setahun lalu membuatku belum begitu mengenal keadaan kota ini sepenuhnya.

Setibanya Aku di muka rumah Anjani, kumatikan motorku. Kulangkahkan kaki untuk menekan bel rumah Anjani. Dibukakan pintu gerbang besar rumahnya, seorang tukang kebun Anjani memintaku masuk ke dalam, mungkin Anjani sudah memberitahukan padanya sebelumnya. Kaki ini semakin dingin ketika sampai di depan pintu. Benar dugaanku, seorang Bapak berdiri dengan gagah menyambutku, sepertinya kali ini, Bapak Anjani sudah semakin luluh karena Aku teman kerja Anjani, atau mungkin Anjani sering menceritakan Aku pada Bapaknya.
“Permisi, Pak, Anjani ada?” kuberanikan diri untuk memulai bertanya.
“Ada, di dalam. Memangnya ada apa mencari Anjani malam-malam?” ucap Bapak dengan sedikit marah. Sudah biasa batinku Bapak Anjani berbicara agak nyolot seperti ini.
Sebelum Aku menjawab, tiba-tiba Anjani sudah terlihat menuruni tangga istananya dan menyapaku “Haiii, Di” ucapan Anjani seakan lebih santai tanpa ada halangan.
“Pak, Aku ijin pergi dulu sebentar ya, ke taman. Aku nggak macem-macem kok. Aku hanya butuh keluar. Bosan, Pak menngendus bau kamar terus”.
“Ya sudah, silahkan pergi, tapi ingat jangan pulang kemalaman. Dan kamu nak Adi, jaga Anjani baik-baik” suara Bapak Anjani seketika luluh tapi agak terpaksa.
“Ya Tuhan, diracun apa Bapak Anjani saat ini. Kenapa seketika luluh” batinku dengan senang hati bisa keluar dengan Anjani dengan tenang.
“Saya ajak Anjani keluar dulu ya, Pak” ucapku sambil aku mencium tangannya. Aku jadi teringat dulu mencium tangan kedua orang tuaku.
“Ya hati-hati” singkat jawabnya.


Udara malam seketika berubah menjadi hangat ketika bangku penumpang motorku diisi oleh seseorang yang telah mengisi belahan hatiku. Bintang di angkasa seakan merestui perjalanan kita berdua. Ku harap segera Dia memeluk erat perutku. Aku tidak seromantis layaknya romeo, Aku hanyalah Aku yang tak begitu pandai cara mengungkapkan rasa. Mungkin akan ada saatnya untuk mengungkapkan kata hati ini yang kian menggebu.

Setibanya di taman, kumatikan motorku. Kita mulai berjalan beriringan ke arah bangku taman saat kita bertemu pertama kali.
“Di, kita duduk di bangku kita dulu ya!” pinta Anjani.
Tanpa harus diminta, Aku juga akan duduk di situ. Bahkan itu sudah masuk daftar tempat langgananku batinku.
“Iya” kujawab singkat.

“Apa yang mau kamu ceritakan, Ni?” tanyaku setibanya duduk di bangku taman ini.
“Di, Aku Cuma mau bilang sama kamu kalau Aku lagi bahagia saat ini, mendengar kabar bahwa karya emasku akan segera lahir seminggu lagi. Aku harap nanti kamu datang sebagai orang ter-spesial kedua ya” ucapnya dengan nada gembira
“Aku juga turut bahagia, Ni. Eh, kok kedua, lantas siapa yang pertama?” tanyaku dengan gembira dicampur dengan bingung.
“Siapa lagi kalau bukan Bapakku yang pertama, Kamulah yang kedua bagiku. Kau tak perlu bingung soal Ibuku, ia sudah aku masukkan yang ke 0,999... , sebelum Bapak malah” ucap Anjani dengan tertawa.
“Hahaha, kamu bisa gini juga, Ni” Akupun juga tertawa.
“Jika Ibu ada, ia akan sangat bahagia betapa dirinya sudah terefleksi pada diriku, sikap Ibu seperti ada pada diriku, kemahiran dalam berkata ini juga dari Ibu. Ku harap di sana Ibu tenang dan bahagia” ucap Anjani seketika cemas.
Akupun sama, Aku juga rindu sesosok makhluk yang telah beradu dengan nyawa untuk melahirkanku ke dunia. Aku juga berharap Ibu bahagia di sana melihat Aku yang sudah dewasa dan bekerja ini, walaupun aku masih dalam kategori setengah sukses bagiku.
“Di, kok bengong? ucap Anjani bingung dan membangkitkan kesadaranku.
“Eh iya, Ni. Maaf tadi Aku juga kepikiran Ibu. Yuk kita cari wedang dekat sini untuk menambah kehangatan!” ajakku untuk mengalihkan pembicaraan sebelum Dia menanyaiku ada masalah apa lagi.
“Ayo berangkat!” ucap Anjani seraya bersemangat.

Kecewa bukan soal hal yang mudah untuk dipecahkan. Aku berusaha untuk melupakan kekecewaan itu demi melihat kau tak memikirkanku lebih dalam. Aku tak ingin kau terjebak dalam kekecewaanku, cuma itu pintaku

AndipatiWhere stories live. Discover now