"Lo tadi bilang apaan di dalem?" Tanya kak Vano. Keheningan memang terjadi di mobil. Dan kak Vano memecah keheningan itu dengan pertanyaan yang ntah harus kujawab bagaimana.
"Mmm..anu kak..."
"Apaan?"
"Mmmm.. tapi lo janji kan enggak bakal marah?" Tanyaku hati-hati.
Kak Vano tersenyum simpul. Membuat wajah nya berkali-kali lebih manis. "Tergantung omongan lo lah. Siapa tau, lo jelek-jelekin gue lagi"
"Tuhkan! Enggak kok, gue enggak jelek-jelekin lo"
"Ya terus?"
"Sorry kalo gue lancang. Tapi tadi gue bilang sama bokap lo, kalo gue mohon sama dia buat berhenti ikut campur urusan pribadi lo. Gue nggak ada maksud buat ikut campur atau apapun itu. Gue cuma mau lo balik kayak dulu" ucapku lirih.
"Lo tau Sal, kenapa gue nolak semua perintah bokap gue?"
"Karena kakak mau jadi dokter kan?" Tanya ku hati-hati.
Kak Vano mendengus. "Pasti lo buka buku catetan impian gue. Dih curang, awas lo bintitan ngintip-ngintip" ucap kak Vano kesal. Bibir nya maju sedikit sehingga ekspresi nya tampak lucu.
"Nggak sengaja tau!" Bela ku. Karena memang faktanya, aku sama sekali tidak sengaja membuka catatan itu.
"Pokok nya gue harus jadi dokter. Apapun itu gue harus jadi. Apapun halangan dan rintangan nya pasti bakal gue lewatin"
"Lo kenapa ngebet banget kepingin jadi dokter kak?"
Kak Vano tersenyum lirih. Pandangan nya masih fokus ke depan. Menatap jalan raya yang ada di hadapan nya.
"Dulu waktu kecil, gue hampir di tabrak sama mobil. Dan ada seorang nenek yang nyelamatin gue. Tapi apadaya, disaat nenek itu nyelamatin gue, justru nenek itu yang tertabrak. Gue panik. Gue bawa nenek itu ke rumah sakit. Karena nenek itu berasal dari kalangan kurang mampu, dan cuma gue doang yang bawa, orang rumah sakit ngira kalo kita cuma ngemis obat. Dan mereka enggan buat nolong. Dan-" kak Vano menggantungkan kalimat nya. Bahkan mata yang semula biasa saja kini sudah tergenang air mata. Sekali kedipan saja, maka cairan bening itu akan mengalir membasahi permukaan wajah nya.
"Dan nenek itu meninggal. Ada seorang bapak-bapak, temen bokap gue yang liat gue. Dan dia nolong kita. Tapi apadaya, nenek itu udah enggak ada. Dan dari situ gue bertekad, gue harus jadi dokter gimana pun cara nya. Gue mau membantu orang. Dan gue mau jadi seseorang yang bermanfaat bagi orang lain" ucap kak Vano bergetar.
Ia menepikan mobil nya. Dan tanpa di duga, cairan yang sejak tadi terbendung, kini sudah jatuh. Setetes demi tetes, dan akhirnya membentuk sungai di wajah nya.
"Ini semua salah gue Sal. Kalo aja nenek itu nggak nyelamatin gue, mungkin dia masih hidup sampai sekarang" ucap nya parau. Bahu nya bergetar karena isakan.
Aku menarik tubuh tegap itu ke dalam pelukan ku. Dan kak vano membalas pelukan ku erat.
"Jangan pernah nyalahin diri sendiri atas kejadian yang dialami orang lain. Kita semua nggak bisa menentang takdir kak, apa pun yang terjadi, itu bukan salah lo" ucapku menenangkan.
"Tapi-"
"Kalo lo selalu beranggapan bahwa lo adalah penyebab nenek itu pergi, lo salah kak. Setiap orang punya takdir nya masing-masing. Dan lo nggak akan bisa untuk menentang takdir"
Kak Vano masih terisak di sana. Sesekali ku elus perlahan.
Terkadang takdir memang membawa sebuah rencana indah. Tapi bukan tidak mungkin pula, takdir membawa kesedihan, bahkan keputus asaan.
**********
"Lo, kok om ada disini?" Tanyaku heran ketika melihat om Rudi ada di ruang tamu. Perasaan baru beberapa menit yang lalu ketemu, eh udah di rumah aja.
"Om kesini mau ketemu papa kamu. Udah lama nggak ketemu, sekaligus ada yang mau om bilang sama kamu" ucap nya ramah.
"Iya om"
"Ya udah Rud, gue ke dalem dulu ya mau isi perut. Lo mau makan juga kagak?" Tanya papa.
"Enggak gue udah makan tadi, sono lo makan gih"
"Ya udah. Sal papa ke dalem dulu ya, kamu sama om Rudi disini dulu"
"Iya pa"
Sepeninggal papa, kini hanya tersisa aku dan om Rudi.
"Sal, om mau minta tolong sama kamu boleh?" Tanya om Rudi lirih. Sorot mata nya tampak sayu. Kerutan di wajah nya tergambar jelas.
"Boleh kok om. Mau minta tolong apa?"
"Bantu Vano untuk pulang ke rumah"
Aku terdiam. Itu merupakan salah satu hal yang sulit untuk dilakukan.
"Kok diem? Nggak bisa ya?" Tanya nya lesu.
"Bu..bukan gitu om. Cuma aku bingung gimana cara nya. Terlebih lagi ,terakhir tadi ketemu, situasi nya.."
"Iya om tau. Dan om baru menyadari sekarang. Betapa gagal nya om jadi seorang ayah yang baik untuk anak om. Om terlalu egois, bahkan nggak pernah tau dan perduli terhadap anak-anak om"
"Om, Salsa pasti bantu om. Tapi perlahan-lahan. Dan Salsa juga yakin, jauh dilubuk hati kak Vano, dia pasti kangen sama Om. Dia butuh om. Sosok ayah yang bisa bimbing dia dengan baik"
"Apa menurut kamu, om keterlaluan?"
"Aku nggak bisa jabarin itu. Itu cuma om dan kak Vano yang bisa menilai. Yang pasti, kalian itu sebenarnya saling sayang dan perduli. Cuma cara pengungkapan kalian yang salah"
"Om tau. Dan om harap, om belum terlambat untuk memperbaiki kesalahan om" ucap om Rudi dengan lesu.
"Nggak ada kata terlambat om"
*************
Alunan lagu something just like this dari the chainsmoker menggema ke seluruh penjuru kamarku. Tapi sama sekali tidak bisa membunuh kegundahan ku. Ntah bagaimana caranya, agar aku bisa menyatukan kak Vano dengan papa nya lagi.
Drttt
Segera ku sambar ponsel ku yang berdering. Ku lihat layar nya dan nampak nama Gibran disana. Aku mengernyit. Tumben, udah lama nih anak nggak nelfon.
"Hallo"
"Hai, how are you?" Tanya suara di seberang sana.
"I'm fine. Why?"
"Nggak papa, gue kangen aja sama lo" ucap nya santai.
"Modus! Malem-malem bisa aja gombal nya"
Gibran terkekeh di ujung sana. "Gue denger katanya sekolah minggu deoan bakal ada camping gitu. Lo ikut?"
"Iyatah? Kok gue nggak tau ya?"
"Makanya jangan kudet. Padahal anak-anak udah heboh banget sama tuh wacana. Lo ikut nggak?"
"Nggak tau deh. Gue ikut Kiki palingan. Rada males juga gue. Lo pergi?"
"Gue sih tergantung"
"Tergantung?"
"Iya tergantung lo. Kalo lo pergi, gue berangkat. Tapi kalo lo enggak, ya gue juga enggak"
"Kenapa?"
"Tugas gue itu jagain lo, kalo yang mau dijagain nya nggak ada, buat apa kan? Kabarin ya ke gue lo berangkat apa enggak nya"
Pipiku terasa panas. Kampret, bisa aja nih anak nyepik nya.
"Pasti lo lagi salting"
"Dih apaan sih"
"Sal, buat gue lo itu segala nya. Ntah kenapa gue rasa ada sesuatu yang unik dari lo. Sesuatu yang cuma lo yang punya"
"Gombal! Udah ah gue mau ke kamar mandi. Bye"
Segera ku putuskan sambungan telfon nya. Kalo kelamaan bisa-bisa gombalan Gibran makin menjadi.
Dear cowok, udah dulu deh buat baper kalo ujung-ujung nya ninggalin, basi!
YOU ARE READING
Hello Memory
Teen FictionIni adalah kisahku, Salsalia Amara Putri. Kisah cinta ku yang dimulai sejak aku duduk di bangku kelas 6 SD. Dan kini, aku sudah duduk di bangku SMA favorit di kotaku. Disini, aku bercerita tentang kisahku yang kumulai dari orang pertama hingga yang...
