#9

3.6K 419 69
                                    

Fira dan keluarga menginap di rumah paman dan bibi. Karena esok akan ada acara khitanan. Fira nampak sibuk dengan ponselnya, sementara Faris sibuk dengan Al-Qur'an kecilnya. Mereka saling berdiam diri hingga bocah berusia 9 tahun menghampiri mereka dan merebut ponsel sekaligus Al-Qur'an milik Faris. Fira dan Faris menatap nanar pada bocah itu.

"Kenapa sayang?" Tanya Fira.
"Besok aku di sunat," ucapnya. Faris menghela nafas. Ia tarik lengan bocah itu dan didudukan di pangkuannya.
"Zidane, takut?" Tanya Faris. Bocah bernama Zidane menggeleng.
"Terus?" Tanya Faris bingung.
"Aku cuma khawatir," ucapnya lirih. Faris dan Fira saling pandang.
"Khawatir kenapa?" Tanya mereka serempak.
"Burung, Zidane, abis." Fira dan Faris serempak menahan tawa.

"Kok, bisa kamu mikir burung kamu bakal habis?" Tanya Faris penasaran.
"Soalnya, belum di sunat aja, burung ku kecil."
"Mana, coba lihat?" Tanya Faris. Fira langsung menonjok lengan Faris. Hingga Faris mengaduh.
"Sakit, mbak!"
"Lagian ngapain sih kamu."
"Penasaran doang mbak, katanya punya Zidane kecil, hehehehe." Fira geleng-geleng kepala. Fira bangun dari duduknya dan meraih ponsel dari tangan Zidane.

"Mbak?" Panggil Faris. Fira menoleh malas.
"Apa?" Tanya Fira.
"Kalau nikah nanti, pastikan burung suami mbak sudah di sunat," ucap Faris dengan kekehan.
"Astaghfirullah... Faris!!" Teriak Fira kesal. Faris buru-buru kabur. Tinggal Zidane yang bingung.

🍃🍃🍃🍃

Fatir nampak kecewa, karena malam ini pun Fira dan keluarga belum pulang dari tempat saudaranya. Fatir hanya bisa menghela nafas. Ia berjalan gontai ke arah rumahnya. Fatir pikir, Fira hanya sebentar di sana. Ternyata hingga dua hari. Fatir kembali memantapkan hati. Biarlah esok saja ia kembali ke rumah Fira. Untunglah ia tak membawa orang tuanya, kalau Abah dan umi di bawa dan Fira tidak ada di rumah. Pastilah Abah dan umi kecewa.

"Bang," panggil seseorang. Fatir menoleh dengan malas. Namun detik berikutnya tersenyum. "Jun, tumben?" Tanyanya sumringah. Jun ikut tersenyum dan memarkirkan motornya di depan rumah Fatir.
"Masukkin aja motornya," ujar Fatir.
"Di sini aja, bang." Jun menghampiri Fatir dan memeluk pundaknya. Fatir langsung melepas lengan Jun dengan pelan.
"Kenapa bang?" Tanya Jun heran. Fatir tak menjawab, melainkan memperlihatkan Jun pada tetangga yang mulai memperhatikan mereka.

Jun yang melihat itu, malah semakin iseng. Ia merangkul pinggang Fatir dan membisikkan sesuatu di telinga Fatir. Orang lain pasti mengira Jun sedang di mengecup pipi Fatir. Dengan cepat Fatir mendorong tubuh Jun. Dan masuk ke dalam rumah.
"Bang, tungguin gue!!" Teriak Jun.
"Bodo amat, pulang sana! Saya nggak kenal kamu!"
BRAKK!!! Pintu ditutup.

🍃🍃🍃🍃

Jun nampak rebahan di kamar Fatir. Sementara Fatir di dapur sedang membuat teh hangat untuk dirinya dan kopi hitam untuk Jun.
Kadang Fatir berfikir, Jun itu seperti kakek-kakek tua di masa penantiannya. Hahahaha

Fatir membuka pintu kamarnya dan melihat Jun nampak asik bermain game di ponselnya. Fatir menaruh gelas berisi kopi dan teh di meja kerjanya. Lalu menarik kursi dan duduk di sana.
"Jadi, ada apa? Tumben kamu malam-malam begini main ke rumah Abang?" Tanya Fatir.
Jun melirik Fatir lalu duduk di ranjang.
"Bang, gue mau curhat." Jun nampak serius.
"Curhat apa?"
"Gue suka cewek, bang." Fatir tersenyum.
"Alhamdulillah...." Ucapnya. Jun melotot dan menimpuk Fatir dengan bantal guling. Fatir terkekeh.

"Gue serius, bang."
"Iya, saya juga serius mengucap Alhamdulillah." Jun menghela nafas. Ia merebahkan diri lagi di ranjang. Fatir hanya memperhatikan tingkah adik angkatannya yang sudah seperti adiknya sendiri.

"Bang."
"Hmmmmmmmm?"
"Nisa sabyan, Lo bang?" Fatir terkekeh. Ia lantas meraih gelas tehnya dan menyeruput nya sedikit.
"Siapa memang yang kamu suka?"
"Temen sekelas bang, dia paling beda dari yang lain. Bukan karena dia paling cantik. Tapi karena dia paling baik, kadang gue malu bang, kalau deket sama dia. Serasa agama gue itu nggak ada apa-apanya. Itu kenapa gue serius belajar agama sama Lo, bang." Fatir tersenyum.

"Beruntung dong, perempuan itu di pilih sama kamu." Jun tersenyum.
"Masa sih beruntung?" Fatir bangun dari duduknya dan pindah di samping Fatir.
"Kamu adalah pria baik Jun, Abang tau siapa kamu, kamu adalah pria ambisius, dan bertanggung jawab. Cuma, Abang mau kasih saran sama kamu, sedikit demi sedikit mulai jarak jarak dengan perempuan yang bukan mahram. Jangan sentuh tangannya seenaknya lagi, jaga perasaan perempuan seperti kamu menjaga perasaan ibumu."

"Bang, gue banyak belajar kok dari Lo, materi yang lo kasih ke kita semua selama ini, selalu gue coba terapkan. Gue mau berubah bang, lebih mendalami agama." Fatir menepuk pundak Jun.
"Alhamdulillah." Jun tersenyum. "Jadi, siapa perempuan beruntung itu?" Tanya Fatir.
"Namanya El...."

"Fatir!!" Teriak Abah. Fatir dan Jun tersentak dan buru-buru turun ke bawah. Fatir melihat ruang tamu kosong. Ia lantas berlari masuk ke dalam kamar orang tuanya. Saat hendak masuk, ia menenangkan diri dulu. Mengetuk pintu tiga kali dan mengucap salam. Jun sampai geregetan liat Fatir sempat-sempatnya ingat adab cara masuk ke dalam ruangan.

"Waalaikumsallam, masuk, Fatir," seru Abah. Fatir dan Jun langsung masuk. Namun saat Jun hendak lebih dalam masuk, Fatir menghentikannya.
"Kenapa bang?" Tanya Jun heran.
"Sebentar, umi, belum pakai hijab." Jun pun paham dan keluar lagi dari kamar.

Tak lama Jun kembali di panggil masuk. Umi sudah pakai hijab panjangnya. Ia tergeletak lemah di ranjang. Nafasnya mulai memburu. Keringat dingin mulai terlihat di wajahnya.
"Umi, kenapa Abah?" Tanya Fatir.
"Drop, kita bawa ke rumah sakit sekarang. Kamu siapkan mobil." Fatir mengangguk dengan cepat dan mengambil kunci mobil dari dalam laci abahnya.

Mereka dengan cepat melesat ke rumah sakit. Penyakit jantung umi kambuh lagi. Fatir tak tenang dalam kondisi macam ini. Jun mengusap pundak Fatir mencoba menenangkan. Fatir mengucap terima kasih.

Umi dalam penanganan dokter. Semuanya menunggu di luar. Abah tak henti berdzikir. Tasbih di tangannya terus berputar dengan cepat. Fatir tahu, Abah sangat khawatir tentang kesehatan umi.
"Umi baik-baik saja, Abah." Abah menatap Fatir sekilas. Abah mengangguk. Setitik air matanya nampak muncul di pelupuk mata. Abah kembali berzikir.

🍃🍃🍃🍃

Fira nampak lelah setelah pulang dari rumah bibinya. Ia langsung masuk kamar dan merebahkan diri. Baru saja akan memejamkan mata. Suara ketukan lagi-lagi mengusiknya. Dengan malas Fira membuka pintu.
"Umi? Ada apa? Tumben?" Tanya Fira.
"Umi sama Abi, mau ke rumah sakit," ujarnya.
"Siapa yang sakit umi?" Tanya Fira khawatir.
"Umi Maryam, ustadzah umi di tempat pengajian. Kamu jaga rumah sama Faris ya."
"Aku ikut umi." Umi bengong. Tumben amat anaknya mau ikut.

"Yakin kamu mau ikut?" Fira mengangguk mantap. Selama ini Fira terlalu cuek dengan tetangganya. Bahkan ia tak hapal siapa saja tetangganya. Padahal bertetangga ada Sunnahnya. Nabi besar Muhammad Saw, saja mengajarkan cara bertetangga yang baik. Fira tak mau lagi menjadi pribadi yang sombong.

Mereka akhirnya berempat ke rumah sakit. Karena Faris tak mau ditinggal sendirian di rumah. Alasannya Faris juga mau jenguk orang sakit. Padahal alasan utama adalah 'takut'.

Tepat saat Fira sampai di rumah sakit. Jun melajukan motornya meninggalkan rumah sakit. Mereka berpapasan. Tapi tak melihat satu sama lain. Fira dan keluarga langsung turun dari mobil dan masuk ke dalam. Mencari ruang IGD. Karena umi Maryam masih di sana.

Begitu tiba, ibu-ibu yang ikut pengajian umi Maryam sudah berkumpul. Di sana hanya ada Abah Rohady. Abi, yang dulu pernah menolong Abah Rohady saat terpeleset langsung menyadarinya lebih dulu. Mereka sama terkejutnya.

Fira dan Faris hanya mencium punggung tangan Abah dan duduk setelahnya.
"Bagaimana keadaan umi Maryam, Abah?" Tanya umi.
"Masih belum ada kejelasan, dari tadi Abah masih menunggu."
"Abah sendiri?" Tanya abi.
"Ah, tidak. Ada anak juga Alhamdulillah."
"Di mana anaknya, Abah?" Tanya abi lagi.
"Tadi, ke kantin. Mau beli teh buat Abah katanya." Mereka semua mengangguk.

Faris dan Fira masih asik saja duduk di kursi. Sementara para ibu-ibu dan orang tua lainnya saling mengobrol dan ada yang membaca Alqur'an untuk mendoakan kesembuhan umi.

Hingga Fatir datang dengan secangkir teh hangat. Langkahnya terhenti saat melihat gadis berhijab panjang tengah duduk di antara kursi. Ia tak asing dengan gadis itu. Apalagi saudara laki-lakinya.
"Faris, Fira" Faris dan Fira langsung menoleh. Mereka bertiga terkejut.

Fatir dan Fira(Tamat)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin