Part 4 - Dendam Dani

3 0 0
                                    

Bima secepat kilat turun ke lantai dasar dan mengambil koper Dewi di bagasi mobilnya. Saat menaiki tangga, Bima berpapasan dengan pria bertopi yang berjalan menunduk menuruni tangga. Langkah kakinya aneh.

"Dew," Bima membuka pintu kamar Dewi dan menaruh koper di samping lemari.

"Aku tadi ketemu laki-laki di tangga. Apa mungkin itu cucu nenek yang dimaksud tadi ya," kata Bima.

"Mungkin. Kenapa?"

"Ada yang aneh saja."

"Perasaanmu aja kali. Dasar polisi, dikit-dikit curigaan. Gimana mau punya pacar," cibir Dewi. Dia mengeluarkan pakaiannya dan menyusunnya di lemari.

"Serius. Apa dia Dani?"

Hening.

"Hey, jangan menakutiku. Enggak mungkin Dani masih ada di Bontang. Berani sekali dia masih di sini sedangkan penyidik mencari dia ke mana-mana," protes Dewi. Sebenarnya Dewi takut, namun ia menepis perasaan itu.

"Mungkin perasaanku saja. Setelah ini mau ke mana?"

"Hmmm. Enggak tahu. Aku lapar," keluh Dewi. Dia baru selesai menyusun pakaiannya dan menutup pintu lemari.

"Kalau begitu aku akan mengajakmu ke suatu tempat," usul Bima. Mereka lalu pergi.

***

Selamat Datang di Bontang Kuala.  Bontang Kuala merupakan sebuah kawasan di atas laut yang menjadi tempat kongko andalan sebagian besar para muda mudi. Jembatan ulin menjadi akses menuju objek wisata Bontang Kuala. Jadi wisatawan hanya bisa masuk dengan kendaraan roda dua atau becak wisata yang sudah disediakan.

Bima memarkir mobilnya. Mereka disambut kios-kios yang menjajakan oleh-oleh khas Bontang Kuala. Aroma ikan asin dan terasi tercium di mana-mana.

Bima memutuskan menyewa becak wisata. Baru kali ini dia menyewa kendaraan beroda tiga itu. Biasanya, Bima menggunakan motor jika masuk ke Bontang Kuala. Andai Dewi tidak keburu lapar, Bima berencana mengajaknya jalan kaki.

Bima dan Dewi mengayuh pedal becak wisata beriringan. Sepanjang perjalanan mereka membisu. Hanya suara ribut jembatan ulin saling beradu saat mereka melewatinya. Mereka tampak canggung.

Dewi terkesima melihat pemandangan di sekitarnya. Rumah-rumah kayu berjajar rapi. Ikan kering dan rumput laut dijemur, terjajar rapi di pelataran. Aroma amis ikan kering menusuk hidung siapapun yang melewatinya.

"Masih jauh ya?" tanya Dewi, memecah kebisuan mereka.

"Sebentar lagi. Kita tinggal belok ke kanan," tunjuk Bima.

"Aku suka tempat ini. Unik. Apa mereka di sini tidur nyenyak? Motor yang lewat di jembatan pasti menimbulkan suara keras."

"Mereka sudah terbiasa."

"Oh."

"Itu dia," kata Bima menunjuk rumah panggung.

Di kanan kirinya banyak kedai yang menyediakan makanan dan minuman ringan. Meja-meja dan kursi tersusun rapi berwarna warni.

Menjelang sore, pengunjung semakin banyak yang datang menikmati senja.

"Kita ke belakang panggung saja. Apa yang ingin kamu makan?" tanya Bima.

"Apa saja. Aku sangat lapar," ucap Dewi sambil memegangi perutnya.

"Baiklah. Tunggulah di belakang panggung. Aku memesan makanan dulu," tutur Bima dan pergi ke salah satu kedai.

Dewi berjalan melewati rumah panggung. Orang-orang sering menyebutnya panggung. Biasanya di rumah panggung itu kerap diadakan pesta adat tahunan atau live music.

Kau TujuankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang