Sativa terpaksa menghentikan sejenak ucapannya saat es teh pesanannya diletakkan di atas meja. Ia mengucapkan terima kasih, kemudian menyeruput es tehnya sebentar. Setelah itu, ia kembali memusatkan pandangannya ke arah Netta yang masih terdiam dengan mata yang melebar sempurna. "Kenapa lo ngelihat gue sampai kayak gitu?"

"Tiga semester lebih kenal lo, baru kali ini lo ngomong panjang banget sama gue!" Netta berseru histeris sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya ampun, Tiv, gue hampir mikir kalau lo itu nggak bisa ngomong! Sumpah, ya. Lo itu out of the box banget. Mana ada yang nyangka seorang Sativa Airish Cantigi yang selalu datang ke kampus pakai kemeja flanel, sketch book, dan novel-novel sastra tebel bisa ngomong se-badass kayak kemarin?"

Sativa membuang napas pendek. "Gue suka berdiskusi, tapi sama orang-orang tertentu aja. Kan gue udah bilang, diskusi di kelas itu nggak pernah asik karena pada cari muka, cari nilai, cari eksistensi. Ya, meskipun nggak semuanya, tapi rata-rata kan begitu. Topik presentasinya apa, yang ditanya apa. Belum lagi suka ada yang nanya bukan karena nggak tahu, tapi buat menjatuhkan lawan bicaranya. Very ironic."

Netta mengangguk. Ia mengamini apa yang diutarakan oleh Sativa. Di kelas, Netta juga termasuk mahasiswa yang jarang sekali terlibat dalam diskusi-diskusi yang menurutnya berat. Alih-alih mendengarkan diskusi yang sering didominasi Adiran dan Ninda, Netta lebih senang membuka Youtube, kemudian menghitung berapa banyak likes dan comments yang memenuhi video terbarunya-sambil mencari dikson skin care dan make up yang bisa dibeli dari sisa uang kiriman orangtuanya.

"Tapi, lo emang ada dendam sama Adiran atau gimana sih, Tiv?"

Sativa terdiam sejenak, kemudian menggeleng kecil. "Gue nggak dendam, cuma nggak suka aja. Gue nggak suka cara Adiran mengemukakan pendapatnya yang seolah-olah, semua kata yang keluar dari mulut dia itu kitab suci. Benar semua. Gue juga nggak suka cara dia merendahkan orang lain. Menurut gue benar-benar kontradiksi sama image dia yang beredar selama ini. Dalam kacamata gue, Adiran sama aja kayak mahasiswa ambis pada umumnya. Budak nilai dan budak popularitas."

"Tapi, Tiv, Adiran ganteng lho ...."

"Terus?"

Netta bergumam sebentar, kemudian tertawa kecil. "Emangnya ... lo nggak tertarik gitu sama Adiran? Semua cewek di kampus ini pada mendewakan Adiran lho, Tiv!"

"Semua cewek di kampus ini minus gue dan cewek-cewek lain yang lebih menilai personality dibanding tampang."

"Tapi Adiran tuh personality-nya juga baik banget kali, Tiv. Pas lagi Pekan Pengabdian Mahasiswa, dia bolak-balik dari kampus ke Cililin, naik motor, sambil ngangkut dus gede-gede yang isinya buku! Perjuangan banget sih, asli!"

Bukannya bangga atau merasa kagum, Sativa justru tertawa kecil. "Kayaknya yang kerja keras gitu bukan Adiran doang, deh. Semua anak himpunan juga melakukan hal yang sama, kan? Cuma bagiannya aja yang beda-beda. Lagipula, gue nggak aneh sih kalau Adiran mau secapek itu pas P2M. Itu kan, pas mau deket-deket pencalonan ketua himpunan. Dia itu lagi meningkatkan elektabilitas-"

"Elek-apa?"

"Elektabilitas," ulang Sativa saat menyadari wajah Netta tertekuk sempurna.

"Apaan tuh?"

"Buka KBBI, dong. Anak Sastra Indonesia bukan, sih?"

Netta memutar bola matanya, mengambil gawai, kemudian mengetikkan kata elektabilitas di aplikasi KBBI pada gawainya.

"Oh, ya. Kata benda, keterpilihan. Dalam istilah politik, artinya kemampuan atau kecakapan untuk dipilih menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan," jelas Netta sambil menatap gawainya. "Berlebihan banget sih, Tiv. Adiran nggak akan menduduki jabatan di pemerintahan juga kali. Ini cuma organisasi tingkat kampus aja."

DialektivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang