(KK 2) Sorry

3K 733 75
                                    

Ravindra Mahardika

Kenapa kamu datang?

Embun Humaira

Karena kamu undang

Pikiran Embun melayang ke sepuluh hari yang lalu, di saat Ravindra membagikan undangan pernikahannya ke group whatsapp yang menaungi mereka berdua karena kerap kali mengikuti kegiatan bakti sosial bersama.

Beberapa komentar seperti 'gue kira nama Embun yang bakal ada di undangan lo' tercetus begitu saja di dalam sana. Yang hanya bisa Embun ratapi dalam diamnya.

Ravindra Mahardika

Maaf...

Embun menghela napas kasar, air matanya mendesak keluar tanpa dapat dicegah. Maaf? Setelah semua yang mereka lalui Ravindra hanya mengucapkan kata itu?

Embun tertawa miris, dimasukannya ponsel ke dalam tas tanpa berniat untuk mebalas pesan Ravindra. Embun memejamkan mata, mungkin Ravindra sudah membaca surat yang ia selipkan di balik kado pernikahan yang ia berikan sehingga untuk pertamakalinya setelah empat bulan Ravindra menghilang, ia menghubunginya kembali.

Untuk Ravindra Mahardika,

Keinginanmu untuk menebar umpan ke banyak ikan untuk memilih yang terbaik dari yang paling baik tidaklah salah. Yang salah adalah cara yang kamu gunakan untukku. Jika kamu tidak pernah mengenal dan dekat dengan keluargaku, mungkin segalanya akan jauh lebih mudah bagiku setelah kepergianmu yang begitu tiba-tiba dan tanpa kabar. Karena hanya aku yang perlu disembuhkan, tidak dengan keluargaku.

Tahukah kamu di setiap harinya Ibu menanyakan keberadaanmu? Menanyakan apakah kamu makan dengan baik setiap harinya, menanyakan apakah kamu sehat dan baik-baik saja karena sudah tidak pernah main ke rumah.

Sampai detik ini aku belum meberitahu Ibu mengenai kabar pernikahanmu, aku takut ibuku akan dua kali lipat terluka dibandingkan aku karena tahu bahwa anak laki-laki yang sering bertandang ke rumah yang ia harapkan untuk menjadi menantunya menikah dengan orang lain, dan melihat anak perempuannya terluka karena ditinggalkan tanpa kabar.

Kita bukan orang bodoh yang tidak menyadari perasaan satu sama lain bukan? Hanya saja aku terlalu bodoh untuk menyadari jika semua afeksi yang kamu beri tidak hanya untukku.

Sejujurnya aku menantikan sepatah dua patah kata darimu, untuk menjelaskan semua kabar yang begitu tiba-tiba datang dalam hidupku. Dua bulan aku menunggu, ternyata yang kudapatkan hanya sebuah undangan di group yang bertuliskan namamu dan wanita lain.

Bolehkah aku mengatakan jika kamu seorang pengecut? Kamu datang ke dalam hidupku dan keluargaku secara baik-baik, dan pergi dengan cara sebaliknya.

Terima kasih atas pengalaman hidup dan kenangan yang kamu berikan selama ini, semoga bahagia selalu.

***

Embun mengela napas lelah. Jam di tangannya menunjukkan pukul sepuluh malam. Lagi-lagi ia memilih lembur untuk mengalihkan rasa stress yang melanda. Ia mengurangi intensitas keberadaanya di rumah karena tidak sanggup untuk mengungkapkan yang sejujurnya saat orangtuanya bertanya.

"Kamu baru pulang?" tanya ibu begitu Embun membuka kunci rumah.

Embun mengangguk. "Iya Bu, lembur."

"Kamu sering banget lembur, pulang sama siapa?"

Pertanyaan yang sama selalu ibu lontarkan dalam empat bulan terakhir. Tidakkah ini semua membuat Embun semakin hancur?

"Ojek online Bu."

"Ah, ojek." Ibu mengangguk, di dalam sorot matanya Embun bisa merasakan bahwa ibunya ingin bertanya lebih jauh, namun ia mengurungkan pertanyaannya. "Kamu udah makan belum? Ibu masak capcay, mau ibu angetin?"

Embun mengangguk. "Boleh Bu, aku mandi dulu ya?"

Setelah membersihkan diri Embun beranjak ke dapur, menghampiri sang ibu yang sedang menyiapkan nasi untuknya.

"Nggak usah pakai nasi Bu, capcaynya aja aku gado."

Ibu mengangguk dan menuangkan capcay ke dalam piring yang disambut senyuman lebar Embun. "Temenin aku makan ya Bu?" ajak Embun sambil menarik sang ibu ke meja makan.

Embun menyuap capcaynya dan memakannya dengan lahap. "Enak?" tanya ibu yang membuat Embun menganggukkan kepalanya semangat.

"Pelan-pelan aja makannya," tegur ibu saat melihat Embun menyuapkan capcaynya dengan lahap.

"Capcay ini kesukaan Vindra, dia nggak pernah main lagi, udah bosan apa sama masakan Ibu?" tanya ibu dengan tawa garing. Di dalam benaknya begitu banyak pertanyaan mengganjal.

"Ibu masak buat aku atau buat dia?" Embun pura-pura mencebik.

"Buat kamu lah. Cuma ini kan makanan kesukaan Vindra. Dia anak rantau kan, dia juga bilang suka kangen masakan ibunya di rumah makanya sering makan masakan Ibu."

Embun hanya tertawa mengambang. "Dia sibuk mungkin Bu, aku juga udah lama nggak ketemu," kilah Embun tidak sepenuhnya berbohong.

Ibu mengulum senyumnya. "Ah, gitu ya, abisnya biasanya minimal dua minggu sekali nongol, kadang numpang makan, ke masjid bareng Ayah, ngobrolin soal burung lah, batu akik lah. Ayah kamu juga sering nanyain Vindra ke Ibu, kayaknya kangen juga dia."

Embun termenung, bingung untuk menjawab. Inilah yang membuatnya lebih terluka, di saat orang tuanya sudah berharap karena kehadiran Ravindra yang terlampau sering dalam keluarganya. Embun tidak buta untuk menyadari bahwa kedua orangtuanya mengharapkan Ravindra untuk menjadi menantu mereka.

"Aku udah kenyang Bu," ucap Embun saat piringnya masih ada setengahnya.

"Loh? Kok nggak abis?" tanya ibu bingung.

"Sebenernya aku udah jajan batagor depan kantor tadi, cuma tetep mau makan masakan Ibu biar Ibu nggak ngambek," ujar Embun sambil tertawa.

Ibu menepuk pundak Embun pelan. Ia memang sering berkomentar jika Embun tidak menyentuh masakan yang sudah ia masak dengan sepenuh hati takut-takut sang anak belum sempat makan di kantornya.

"Ya udah Bu, aku ke kamar dulu ya?" pamit Embun setelah membereskan bekas makannya.

Embun masuk ke dalam kamar dan menutup pintu, lalu menguncinya rapat-rapat. Tubuhnya merosot ke lantai, menangisi keadaan.

Apakah permintaan maaf yang Ravindra ucapkan cukup untuk menjelaskan ke orangtuanya? Apakah permintaan maaf itu cukup untuk mengobati hati orangtuanya yang akan begitu kecewa setelah mengetahui semua faktanya?

Seharusnya jika Ravindra tidak memiliki niat untuk serius dengannya, laki-laki itu tidak perlu terlampau jauh masuk ke dalam keluarganya. Bahkan Agung dan Argi yang sudah bersahabat bertahun-tahun dengannya pun tidak berani berbuat seperti itu. 

Kacamata KeduaWhere stories live. Discover now