(KK 13) Responsibility

1K 195 28
                                    

Embun menertawakan dirinya sendiri dengan miris, diantar pulang oleh calon suami adalah lelucon yang tak pernah ia kira akan dirinya keluarkan. Mengaku-aku seperti itu bukanlah gaya Embun, namun hanya itu lah satu-satunya jalan yang terpikirkan untuk memblokade dirinya dari Ravindra dan juga sang istri. Bahwa semuanya telah selesai dan mereka harus bahagia dengan pasangan masing-masing.

Pasangan masing-masing, huh?

Entah apa karena efek luka yang ditimbulkan Ravindra, atau memang dirinya yang belum siap, tetapi semakin hari Embun semakin takut akan pernikahan. Terlebih banyak sekali berita miring tentang artis maupun influencer Ibukota yang pernikahannya gagal, entah karena faktor Ekonomi, kesenjangan sosial, maupun orang ketiga. Contoh nyatanya adalah yang baru saja dialaminya tadi.

Bagaimana bisa Ravindra masih menyimpan foto Embun saat ia sudah menikah? Dan bagaimana bisa istri Ravindra bisa hamil di saat ia masih menyimpan itu semua? Apa tidak ada perasaan bersalah sama sekali di hatinya terhadap sang istri?

Embun tercenung, bagaimana kalau ia mendapatkan laki-laki yang sama seperti Ravindra untuk menjadi suami? Yang ternyata masih mencintai orang lain tanpa ia tahu. Pasti menyakitkan sekali menjadi Nia, pikir Embun.

"Aduh!"

Embun tersentak saat tubuhnya bertubrukan dengan orang di depannya, ponsel miliknya sampai terjatuh.

"Mbak, kalau jalan lihat-lihat dong pakai mata!" seru orang yang ia tubruk.

"Maaf Pak, saya nggak lihat." Embun terkejut bukan main. Ia terlalu tenggelam dalam lamunan.

"Makanya jangan kebanyakan bengong," gerutu pria buncit berkemeja abu sembari merapikan pakaiannya lalu mengambil kantung belanjanya yang sempat terjatuh karena insiden tersebut.

"Sekali lagi saya minta maaf," ujar Embun tulus sembari sedikit membungkuk.

"Gimana sih, bikin keki orang aja, kalau mau bengong di rumah Mbak, jangan di tempat umum."

Embun baru saja ingin membungkuk kembali untuk minta maaf, namun lengannya ditahan oleh seseorang sehingga tubuhnya kembali tegak.

"Perempuan ini sudah meminta maaf atas ketidaksengajaan yang ia lakukan, apa Bapak akan terus merundungnya sampai mall ini tutup? Lagipula Bapak tidak dirugikan sama sekali, malah handphone perempuan ini yang rusak karena terjatuh."

Akhtar, pria itu yang kini berada di sampingnya dan membelanya di depan orang yang tak sengaja ia tabrak tadi.

"Anda siapa?" tanya pria itu.

"Saya hanya orang yang lewat dan melihat semua keangkuhan yang bapak pertontonkan sejak tadi."

Pria itu terlihat kesal dan ingin melampiaskan amarahnya, namun saat melihat sekeliling dan sadar bahwa kami kini menjadi pusat perhatian, ia mengurungkan niatnya dan meninggalkan Embun dan juga Akhtar dengan gerutuan.

"Mas Akhtar? Kok ada di sini?" tanya Embun. Ia tidak menyangka bertemu dengan Akhtar di tempat ini.

Akhtar tidak menjawab, melainkan menarik Embun untuk menjauhi keramaian yang timbul dari insiden sebelumnya. Ia mengajak Embun untuk minum di kedai kafe dengan logo putri duyungnya yang melegenda.

"Lain kali jangan mengemis untuk meminta maaf, terlebih jika kesalahan yang kamu lakukan tidaklah sebesar itu. Permintaan maaf kamu hanya akan memberi makan ego bapak itu untuk tumbuh lebih besar lagi," ujar Akhtar sambil memberikan greantea latte pesanan Embun.

"Orang bilang meminta maaf itu untuk menyelesaikan masalah, jadi itu lah hal terbaik yang bisa saya lakukan."

"Untuk sebagian iya, tapi untuk jenis orang arogan dan angkuh seperti tadi, nggak berlaku Bun. Orang kayak gitu semakin kamu merendah, semakin besar kepala juga dia."

Embun mengulum senyum, mencoba memahami jalan pikiran Akhtar. Ucapan Akhtar memang ada benarnya. Memang ada jenis orang yang semakin dijunjung, semakin tidak menghargai orang lain.

"Abis belanja apa Mas?" tanya Embun sambil melirik tas belanjaan yang ditaruh di samping kursi mereka duduk, kebetulan mereka memilih tempat duduk untuk tiga orang.

"Tadi nganter Affan beli sepatu futsal, katanya sepatu dia udah jelek. Udah kelar milih sepatu dia ketemu sama temennya, akhirnya saya disuruh pulang sendiri, dititipin belanjaannya pula." Akhtar berdecak kemudian menggeleng. "Semenjak di sini saya jadi budak dia."

Embun tertawa mendengar kisah Akhtar dan Affan. Mengingat kelakuan Affan sejak kecil, Embun sama sekali tidak heran dengan kelakuan ajaib manusia satu itu.

"Kamu masih suka ngelamun aja Bun, ada masalah?" Akhtar memancing Embun untuk bercerita.

Embun berpikir cukup lama sampai akhirnya ia mengeluarkan pertanyaan. "Mas belum bisa lupa sama Mbak Cindy kan? Masih cinta?"

Pertanyaan mendadak tentang mendiang kekasihnya membuat bibir Akhtar mendadak kelu. Ia sama sekali tidak menyangka pertanyaan inilah yang akan keluar dari bibir Embun.

"Memangnya kenapa?" Akhtar balik bertanya.

"Kalau suatu hari nanti Mas Akhtar ketemu jodoh Mas, apa sosok Mbak Cindy tetap nggak tergantikan?"

"Maksud kamu?" Akhtar meminta penjelasan lebih jauh.

"Apa bisa seorang laki-laki mempersunting seorang wanita yang tidak benar-benar ia cintai, menjalani pernikahan dengannya, memiliki keturunan, namun di saat yang bersamaan masih mencintai orang lain, orang yang tak bisa ia miliki karena kematian, lebih dulu dimiliki oleh orang lain, atau karena kendala lainnya?"

Akhtar membisu.

"Bisa Mas?" Embun mengulang pertanyaannya, mencoba menegaskan.

"Karena saya belum menikah, saya sebenarnya nggak bisa jawab pertanyaan ini."

Raut wajah Embun berubah menjadi tertekuk, jawaban Akhtar tidak memenuhi sisi kehausannya tentang sudut pandang laki-laki.

"Tapi saya bisa memberikan gambaran jawabannya."

Embun kemudian menatap Akhtar dengan mimik antusias, menantikan penuturan yang keluar dari bibir pria itu.

"Saya nggak menampik kehilangan Cindy di hidup saya adalah sesuatu yang besar, dan saya juga masih mencintainya hingga saat ini. Namun jika saya sudah menemukan orang yang tepat untuk dijadikan pendamping hidup dan juga ibu dari anak-anak saya, saya akan bertanggung jawab penuh atasnya."

"Bertanggung jawab penuh?"

"Ya, bertanggung jawab penuh dengan masa depannya. Termasuk mencintainya, tanpa membuatnya khawatir dengan cinta lama saya."

Sampai titik ini Embun paham bahwa hal itu memang bisa saja dilakukan,  perbedaan mendasarnya antara jawaban Akhtar dan praktik yang Ravindra lakukan adalah tanggung jawabnya. Jika Ravindra membuang semua jejak masa lalunya tanpa membuat sang istri mengetahui atau khawatir atas kehadiran cinta lamanya, tentunya Nia tidak akan merasakan kepahitan di usia pernikahan mereka yang masih seumur jagung, pun juga Embun.

"Jadi, apa yang membuat seorang Embun Humaira bertanya hal ini?" tanya Akhtar penuh selidik, pasalnya perempuan di hadapannya itu berubah menjadi layu setelah bertanya dengan begitu antusiasnya beberapa menit sebelumnya.

"Nggak apa-apa, cuma kenal sama laki-laki yang seperti itu."

Akhtar mengangguk dan memilih untuk tidak mengulik lebih jauh. Embun jelas belum siap untuk menceritakan masalahnya kepadanya. "Kamu pulang naik apa Bun?"

"Taksi atau ojek online mungkin Mas."

"Biar saya antar, saya juga mau ketemu Papamu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 02, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kacamata KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang