(KK 6) Last Cry

2.7K 663 73
                                    

Apa yang membuat orang yang menjalani hubungan tanpa status lebih sulit melupakan? Karena mereka tidak tahu dengan pasti kapan awal dan akhir kisah mereka.

Seperti kisah Embun dengan Vindra yang bertemu pertama kali dalam sebuah acara bakti sosial yang diadakan oleh kantor mereka. Ya, meski berbeda gedung, mereka tetap dinaungi oleh induk perusahaan yang sama, sehingga di beberapa kegiatan terutama kegiatan sosial keduanya kerap kali dipertemukan.

Apa semuanya berawal dari sana? Tidak. Waktu perkenalan sudah terlewati, pertemuan pertama, kedua, ketiga semua berjalan lancar dan biasa saja. Sampai suatu saat Vindra menawarkan diri untuk mengantarkan Embun pulang, di dalam perjalanan mereka terlibat percakapan yang mengasikan, hingga tujuan awal Vindra untuk mengantar Embun sampai stasiun, berubah menjadi ke rumah.

Tidak ada acara mampir atau pun bersalaman dengan orangtua Embun saat itu. Vindra berlaku selayaknya Argi dan Agung yang mengantarkan Embun sampai depan rumah dan berkata, salam untuk orangtua.

Sejak saat itu keduanya mulai semakin dekat, bertemu di luar kegiatan kantor lama-lama menjadi sebuah kebiasaan. Menceritakan bagaimana hari yang dilalui, masalah yang menjumpai maupun percakapan mengenai masa depan. Embun terbiasa dengan kehadiran begitu pun Vindra. Keduanya menjadi dekat dan memahami satu sama lain seiring dengan berjalannya waktu.

Kenapa tidak pacaran saja? Tidak sekali dua kali Embun dan Vindra mendapatkan pertanyaan itu. Embun tak pernah mendapat jawaban tentang hal itu, Vindra hanya menyampaikan keinginannya kepada Embun untuk memiliki istri dibandingkan memiliki pacar.

Embun bersabar, menunggu Vindra membahas lebih jauh mengenai hubungan mereka. Tetapi Vindra tidak pernah membahasnya, sedangkan jika Embun ingin pergi dengan lelaki lain, Vindra seolah menutup akses.

Embun selalu berkonsultasi dengan kakak sepupunya yang bernama Irwan, dan Kak Irwan bilang tidak ada laki-laki yang begitu intens bertandang ke rumah perempuan jika tidak mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Tetapi Embun tidak pernah mengerti maksuda dan tujuan Vindra bersikap seperti itu sampai ia pergi begitu saja, tanpa sepatah kata.

Ayah Embun tidak pernah mengeluarkan suaranya lagi mengenai hal ini sejak mengetahui mengenai fakta tersebut. Mereka hanya terlibat percakapan ringan di meja makan. Tapi dari mulut sang ibu, Embun tau bahwa Ayahnya sangat kecewa. Ya, Embun mengetahui dengan pasti bagaimana kedekatan sang Ayah dengan Vindra, jadi Embun tak bisa mendeskripsikan lebih jauh bagaimana hancurnya perasaan sang ayah.

Seminggu setelah ia mendapat penjelasan dari Rianda, Embun mendapati Vindra di luar kantornya saat jam pulang kerja. Embun mencoba berjalan lurus, mengabaikan pandangan orang-orang yang kini memperhatikan mereka berdua dengan pandangan yang begitu penasaran.

"Embun?" panggil Vindra pelan.

Langkah Embun terhenti.

"Bisa bicara sebentar?" tanyanya.

Embun menoleh, melihat gurat penyesalan yang terlukis di wajah Vindra tak membuat hatinya luluh. "Untuk apa?" tanya Embun dengan tawa hambar. Vindra adalah suami orang lain saat ini, Embun tidak ingin memperkeruh suasana.

"Untuk menjelaskan semuanya," timpal Vindra.

"Penjelasan tidak akan mengubah keadaan."

"Mungkin memang nggak akan mengubah keadaan, tapi mungkin bisa mengubah cara kamu memandangku."

"Dari mana kamu bisa menyimpulkan itu?"

Vindra melangkah maju untuk menepis jarak, menghampiri Embun yang terpaut jarak tiga meter darinya. "Embun, please... aku nggak bisa lihat sorot mata kamu yang memandang kayak gitu ke arahku."

Embun tertawa getir. Apakah Vindra sedang menghakiminya karena cara pandang yang ia lontarkan? Padahal itu sama sekali tak sebanding dengan rasa sakit yang ia dan keluarganya dapatkan.

"Rianda sudah menjelaskan semuanya,"

"Aku tahu!" sahut Vindra dengan cepat. "Karena itu aku ingin menjelaskan semuanya."

"Embun... tolong," mohon Vindra.

Embun memejamkan mata untuk berpikir sejenak. Hatinya mengatakan untuk tidak terlibat hal-hal yang menyangkut dengan Vindra lagi, tetapi ada bagian lain dari dirinya yang mendorong untuk mendengarkan penjelasan Vindra.

"Aku harus kejar kereta jam delapan," jawab Embun seraya melihat jam yang melingkar di tangannya.

Vindra mengangguk, kemudian ia berjalan ke coffe shop yang berada di dekat kantor dengan Embun yang mengekori di belakangnya.

"Mau minum apa?" tawar Vindra yang dijawab gelengan oleh Embun.

"Aku ke sini untuk dengar penjelasanmu, bukan minum kopi," jawab Embun dingin.

Vindra mengulum senyum pahitnya. Embunnya bukan Embun yang dulu ia kenal. Mungkin ia sudah melukai Embun terlalu banyak.

"Keluargaku terlilit hutang." Vindra mengawali ceritanya. "Dan keluarga istriku lah yang membantu keluargaku keluar dari masalah itu."

Mendengar Vindra menyebut kata 'istriku' seolah menabur garam di atas luka Embun. Embun jadi tak yakin Vindra mengajaknya bertemu untuk menjelaskan atau untuk melukainya lebih jauh. Oleh karena itu Embun memilih untuk meluapkan segala resahnya.

"Ravindra Mahardika," ucap Embun penuh penekanan. Vindra menaruh atensi penuh terhadap Embun yang berada di depannya. "Yang membuat aku dan keluargaku terluka bukanlah tentang alasan kamu menikahi istrimu, tapi caramu yang datang masuk ke dalam keluargaku dan mengambil hati mereka layaknya seorang calon menantu tanpa memikirkan bahwa keluargaku sudah berharap terlalu jauh akan sikap kamu."

Vindra bungkam. Ia tak menyangka sebait kalimat penjelasan darinya malah membuat bom waktu di dalam diri Embun meledak.

"Kamu pergi tanpa kata dan menyuruh Rianda untuk memberitahuku mengenai rencana pernikahanmu? Kamu pengecut Vindra."

"Itu karena aku nggak mau kamu syok saat undangan itu sampai di telingamu Embun."

"Oh, kamu pikir aku nggak syok saat tau semuanya dari Rianda? Ada jeda dua bulan sebelum pernikahan kamu, dan kamu memilih bungkam Vindra!"

"Aku takut goyah akan keputusan itu Bun, aku gabisa ketemu kamu. Aku sengaja menyuruh Rianda untuk kasih tau kamu agar kamu tidak datang di hari pernikahanku, tapi kamu malah datang."

"Dan itu membuatmu jadi goyah, begitu?"

Vindra mengangguk.

Embun menarik napas panjang. "Vindra, berapa perempuan dan keluarga yang kamu sakiti di sini?"

"..."

"Tidakkah kamu malu dengan semua sikapmu? Masih mau terlihat dan dinilai baik oleh semua orang setelah kejadian ini?"

"..."

"Jangan jadikan hutang keluargamu sebagai alasan Ravindra. Kalau kamu memang berniat serius denganku sejak awal, kamu nggak akan menggantungkan perasaanku, membuat percakapan omong kosong mengenai masa depan, dan yang terpenting kamu nggak akan menjadikanku sebuah pilihan kedua."

"Aku nggak bisa memilih," aku Vindra.

"Oh ya? Yang nyaman dan perhatian? Sejak awal kamu memiliki pilihan. Jangan mengelak Ravindra."

"..."

"Kamu sudah menyakiti aku dan keluargaku Vindra. Tolong jangan menyakiti istrimu dan keluarganya juga. Kamu sudah menjadi seorang suami sekarang."

Vindra termangu di tempatnya, menatap Embun dalam diam. Embun sosok yang dikenalnya begitu lembut, namun hari ini sosok itu telah sirna. Luka seolah mengajarkannya untuk menjadi sosok baru.

"Aku rasa cukup sampai di sini. Sekali lagi terima kasih untuk pelajaran hidup berharga yang kamu berikan."

Embun segera melangkahkan kakinya untuk keluar dari coffe shop. Beban di hatinya seolah terangkat, perasaannya menjadi plong. Namun sudut matanya mengeluarkan air karena luapan emosi yang tak bisa dirangkaikan oleh aksara. Embun berjanji pada dirinya sendiri bahwa ini air mata terakhirnya yang jatuh karena lelaki bernama Ravindra Mahardika.

Kacamata KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang