Chapter 3

599 71 88
                                    

Hari ini Tama berangkat bersama kedua adiknya. Walau kelasnya dimulai pukul 8, namun ia memutuskan untuk berangkat bersama Radit dan Andhi. Alasannya agar bisa sekalian mengantar mereka berangkat sekolah. Hal ini sudah dilakukan sejak hari pertama Tama masuk kuliah.

Kedua adiknya melambaikan tangan ketika berpisah dengan kakak mereka di halte. Tama membalas dengan tawa dan segera naik bus yang kebetulan tiba beberapa detik setelah ia sampai.

"Hati-hati kak Tama!" Radit dan Andhi berseru serentak, sayangnya Tama sudah melangkah masuk bus sehingga tak bisa membalas mereka lagi.

Tapi tak apa. Bisa berangkat bersama saja sudah membuat keduanya lebih bersemangat. Selama masa liburan Tama, mereka diharuskan berangkat berdua. Tama mengurus rumah karena lagi-lagi orangtua mereka mendapat tugas keluar negeri.

Sudah biasa mereka hidup bertiga. Semua kebutuhan tetap terpenuhi sebab orangtua mereka rutin mengirim uang tiap dua minggu sekali, jadi tidak ada masalah. Radit dan Andhi sudah diurus oleh Tama sejak 3 tahun lalu karena mulai saat itu orangtua mereka sibuk pulang-pergi luar negeri.

Mereka sudah terbiasa dengan Tama. Memang terkadang ada rasa kangen pada orangtua, tapi pekerjaan tetaplah pekerjaan. Mereka tak bisa memaksa orangtua mereka untuk tetap di rumah. Jadi, dengan Tama saja sudah cukup.

Beberapa saat setelah ditinggal Tama, bus selanjutnya datang dari arah berlawanan. Arah yang akan ditempuh Radit dan Andhi untuk sampai ke sekolah. Keduanya naik bersama, lalu berdoa agar mereka dan Tama bisa pulang dengan selamat hari ini. Mereka selalu melakukannya tiap hari agar keselamatan mereka terjaga.

Tama di dalam bus mengambil kursi dekat jendela. Berangkat sepagi ini memungkinkannya dapat tempat duduk. Sebenarnya ini juga salah satu alasannya berangkat pagi. Jika berangkat agak siang, pasti bus sudah penuh sesak. Berdiri sepanjang perjalanan tentu melelahkan.

Perhatiannya teralih saat merasakan getaran pada ponselnya. Ia meraih ponsel dari saku celana dan melihat notifikasi yang baru saja masuk.

Nama Satria terpampang di sana. Satria mengirim sebuah pesan lewat WhatsApp. Dari notif yang terlihat sebelum membukanya, Tama membaca pesan singkatnya, kemudian menautkan alis.

Satria hanya bertanya apakah nomornya telah disimpan oleh Tama atau belum. Siapa tahu semalam Tama langsung tidur setelah menerima telepon darinya.

Apa pentingnya pesan seperti ini dikirim pagi-pagi?

Tama langsung mengetik balasan dengan cepat.

"Udah."

Detik itu juga pesannya dibaca Satria. Tama agak kaget. Ia mengira akan dibalas lagi oleh Satria, tapi nyatanya Satria hanya membaca pesannya. Tama yang tidak mau ambil pusing pun memasukkan kembali ponselnya ke saku.

Beberapa menit setelah itu, ponsel bergetar lagi. Sebuah balasan dari Satria ternyata. Balasan singkat yang seharusnya tidak perlu dikirim.

"Oh."

Tama keheranan. Apakah seniornya baik-baik saja pagi ini?

.
.
.

Matanya menyipit kala melihat seseorang yang mungkin dikenalnya. Ada sesuatu yang membuatnya agak ragu untuk menyapa. Tama menjajarkan langkahnya dengan orang tersebut, berusaha melihatnya dari dekat. Ketika sudah yakin bahwa ia tidak salah orang, Tama pun memanggilnya pelan.

"Dimas?"

Tidak ada jawaban.

"Dim!"

Orang itu masih melangkah tanpa dosa.

EPIPHANY [Samatoki x Ichiro]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang