✧ Chapter IX

636 102 11
                                    

Saat itu hujan turun dengan deras

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

Saat itu hujan turun dengan deras. Memang, sebelumnya mendung sempat menyapa. Akan tetapi, Lucas sama sekali tidak siap akan hujan yang jatuh begitu saja di saat ia baru saja menemukan targetnya dan berniat untuk mengintai lebih dalam.

Tidak peduli dengan tubuhnya yang basah terkena air hujan, ia terus melangkah dengan hati-hati untuk mengikuti target yang sedari tadi ia perhatikan. Karena hujan yang turun dengan sangat deras, Lucas sedikit kepayahan dalam misi mengintainya. Untuk yang kesekian kalinya, ia tidak siap untuk sesuatu yang tiba-tiba. Entah karena ia yang terlalu fokus pada targetnya sehingga ia tidak begitu memperhatikan sekitar atau mungkin karena hujan deras. Sebuah motor melaju dengan kecepatan di atas rata-rata, tanpa sengaja menyenggolnya. Karena itu, Lucas terpental dan terbaring di pinggiran jalan yang sepi. Hujan turun tepat di wajahnya. Ia meringis ketika mencoba untuk bangun. Rasa perih di sikut dan juga kakinya, menandakan bahwa ia terluka. Darah yang mengalir di pelipisnya mengalir, bersamaan dengan air hujan yang juga menerpa wajahnya.

Baginya ini adalah kesialan. Ia terluka karena seorang pengendara motor yang mengendarai motornya dengan tidak wajar ketika hujan turun, juga kehilangan target yang diintainya.

.

.

.

Hendery sedang membuat kopi ketika ia mendengar pintu rumahnya terbuka. Tanpa perlu repot-repot untuk melihat atau menyambut siapa yang datang ke rumahnya, Hendery sudah tahu. Karena, siapa lagi yang akan datang pagi buta seperti ini, kalau bukan

"Selamat pagi, Tuan kaku."

Liu Yangyang.

"Aku pikir kau tahu tata karma untuk bertamu," ujar Hendery tanpa perlu memandang ke arah anak itu.

Yangyang hanya bergidik. Ia malah membalas perkataan Hendery dengan senyuman, kemudian duduk di kursi meja makan. Dengan santai ia juga mengambil sepotong roti yang telah Hendery panggang di atas meja makan, kemudian memakannya.

"Kenapa banyak bunga daisy di beranda rumahmu? Kau beralih profesi menjadi florist sekarang?"

Hendery menyesap kopinya, kemudian melangkah dan duduk di hadapan Yangyang. "Hanya untuk bersenang-senang."

Yangyang mendengus. "Apa senjata tidak lagi menjadi mainanmu untuk bersenang-senang?"

"Kenapa kau banyak bertanya?"

"Kau hanya perlu menjawabnya, bukan?"

Hendery tertawa. "Tidak penting," ujar Hendery. Kemudian ia melanjutkan, "apa kau sudah meminta izin pada Ayahmu? Seharusnya aku tidak heran melihat kau yang lebih memilih untuk menemuiku di pagi buta seperti ini daripada bermalas-malasan di kamarmu."

"Tidak sudi," ia menatap Hendery yang tertawa mengejek padanya, kemudian mendengus kesal. "Dia bukan Ayahku, kau tahu itu."

"Pulanglah, Yangyang."

"Tidak. Aku ingin kau menemaniku seharian penuh ini."

"Huh?"

"Ayo kita kencan!"

Hendery yang sedang menyesap kopinya, tersedak. Helaan napas berat keluar dari bibir tipis milik Hendery. Kemudian, ia menatap anak itu tepat di manik matanya. "Yangyang—kau tahu kan siapa aku?"

"Tentu," jawab Yangyang, ia berdecak kesal. "Memangnya kenapa? Apa dengan statusmu yang merupakan seorang pembunuh bayaran menjadi penghalang untukku mencintaimu?"

Rumit.

Pagi ini, Hendery dibuat pusing oleh seorang bocah.

Ia menggeram. Kemudian menatap Yangyang tajam, dan menjawab. "Ya." Dan setelahnya, ia berdiri dari duduknya, berniat untuk pergi karena jika ia terus berada di dekat Yangyang, emosinya bisa tersulut kapanpun.

Dua langkah Hendery berjalan, suara bel rumahnya berbunyi. Hendery tahu apa maksudnya. Ia segera berjalan dengan cepat untuk keluar. Sementara Yangyang menyeringai di tempat duduknya sebelum ikut menyusul Hendery.

Bunga tulip hitam yang di bawa Hendery masuk ke dalam rumahnya, di letakkan di ruang tengah. Yangyang berdiri bersandar di tembok pembatas dapur dan ruang tengah. Tangannya terlipat di depan dada.

"Tulip hitam adalah bunga terkutuk." Ucapnya disusul dengan suara tawa. Kemudian ia berjalan mendekat pada Hendery. "Semoga berhasil. Kau tahu 'kan, Tuanmu sangat kejam?"

Setelah mengatakannya, Yangyang mengambil tas ranselnya di atas sofa dan kemudian berjalan keluar.















Hendery berjalan dengan kepala yang tertunduk di sepanjang jalan setapak. Tubuhnya terbalut jaket hitam dan celana jeans bewarna senada, juga topi hitam yang selalu dipakainya di saat-saat seperti ini.

Ia membelokkan langkahnya ke kanan lalu masuk ke dalam sebuah bar.

Suasana ingar bingar kelab malam, menyambutnya. Lautan manusia yang tengah asik meliukkan badannya di lantai dansa, atau mereka yang tengah bergumul—saling mengukung demi kepuasan napsu adalah hal yang biasa. Aroma rokok serta alcohol yang tercampur dengan aroma berbagai macam parfume menusuk indera penciumannya.

Mengabaikan segala hal, Hendery melanjutkan langkahnya. Ia sempat melemparkan senyuman tipis kepada bertender yang sedang berkerja sebelum menghilang di balik pintu menuju tangga darurat.

Tujuannya ada di lantai tiga.

Ruang-ruang vvip berada di lantai itu.

Ketika ia sampai di depan pintu lantai tiga, Hendery menyeringai tipis. Di misinya kali ini, ia tidak sendirian. Dan targetnya merupakan orang penting—dan tentu saja, bayarannya kali ini tidaklah sedikit.

Sebelum berjalan di sepanjang koridor, Hendery sempat menyeringai menatap kea rah cctv yang terdapat di sudut langit-langit. Ia tahu, bahwa kamera cctv tersebut telah dimatikan. Kemudian, ia melanjutkan langkahnya menuju ruangan paling ujung.

Kode ruangan; 6686.

Sebelum membuka pintu ruangan tersebut, Hendery mengeluarkan sebuah pistol antik yang didapat dari Bosnya beberapa waktu yang lalu. Memeriksa pistolnya sebentar kemudian menarik pelatuknya. Setelahnya ia membuka pintu ruangan tersebut, dan dengan segera mengarahkan pistolnya ke arah targetnya yang sedang duduk di sofa. Hendery memasang senyuman liciknya. Menatap sang target dengan remeh. "Ada pesan terakhir, Nakamoto Yuta?"

Nakamoto Yuta serta merta berdiri dari duduknya dan segera mengeluarkan pistolnya juga. Namun, tepat setelahnya, seluruh lampu padam. Dalam kegelapan, Hendery kembali tersenyum. Dan terakhir, hanya ada suara lima kali tembakan dan teriakan panik dari orang-orang di lantai tiga tersebut.

Dalam kegelapan, Hendery dengan mudahnya menghilangkan satu nyawa.

Dan misinya berhasil.



DAISY // HENXIAOOnde histórias criam vida. Descubra agora