Ingin rasanya aku menangis. Tapi sayangnya, air mataku nggak pernah bisa tumpah lagi. Bersyukurlah jika kalian masih bisa menangis. Karena dengan menangis, kalian bisa meluapkan sedikit sesak didada kalian.
Jadi, bisakah kalian bayangkan gimana perasaanku?

"Ji..." panggil Revan yang entah sejak kapan sudah berdiri disebelahku.

Aku menatapnya datar. "Ada yang mau kamu jelasin?" tanyaku basa-basi.

Aku melihat jelas raut kebingungan bercampur gengsi disana. Tepat diwajah Revan.

"Aku begini karena aku pengin punya anak, Ji." secara nggak langgsung dia membenarkan apa yang dilakukannya.

Aku tersenyum sinis. Aku menatapnya tajam menusuk ke hatinya. Tempat segala kejujuran seseorang bersarang.

"Van, gak usah menipu diri. Kamu dan aku, sama-sama tahu jelas kalau kita belun periksa ke dokter. Seseorang mandul apa nggak itu dibuktikan dari hasil medis bukan hasil gunjingan keluarga kamu." aku memberondongnya dengan kenyataan-kenyataan yang dia kesampingkan.
"Kamu gak bisa secara sepihak nyalahin aku. Nuduh aku mandul. Gimana kalau pada kenyataannya kamu yang mandul?"

Dia diam. Dia nggak mampu berkata-kata. Sorot matanya tiba-tiba redep seperti dihantam kenyataan pahit yang kini menghantuinya, mulai menjadi ketakutan terbesarnya.

Aku menghela napas panjng, aku tersenyum hangat pada suamiku itu.
"Biar semua senang, semua tenang, besok kita kedokter. Kita test dan buktikan. Kalau aku yang mandul, aku yang akan mundur dari hidup kamu dan minta maaf sama seluruh keluarga besar kamu. Tapi kalau kamu yang mandul, kita lihat karma apa yang bakal nimpa kamu." pungkasku.

Aku berjalan meninggalkan teras belakang rumahku. Kuraih kunci mobil dilemari kunci dekat pintu utama rumahku.
Aku masuk kedalam mobil dan mulai memacunya.

Persetan dengan ulang tahun pernikahanku. Apa yang harus kurayakan lagi?
Fitnahan keluarga suamiku? Atau perselingkuhannya?

Saat mobilku memasuki jalanan dengan pamatang sawah dikiri dan kanannya, kubuka jendela mobilku.
Aku mengatur napasku. Aku menarik napas dalam lalu menyembulkan kepalaku keluar jendela dan mulai beteriak kuat-kuat, "FUCK FOR LOVE!!!"
Berkali-kali hingga tenggorokanku kering dan pedih.
Hatiku remuk tapi sialnya aku tetap nggak bisa menangis.

Aku menghabiskan jam-jam berikutnya dengan berkendara tanpa tahu arah tujuan. Kadang jalanan yang kulalui bebukitan, kadang laut yang membentang luas, kadang pertokoan, kadang tempat hiburan.
Ditempat ramai maupun sepi bagiku rasanya sama aja. Sepi, sunyi dan sendiri.

Tiba-tiba sosok Brice muncul dipikiranku, membekukan otakku.
Pertanyaan Brice waktu itu kembali muncul kepermukaan. Pertanyaan yang sudah lama kukunci dalam peti dan kukubur dalam-dalam, 'benarkah keputusanku menikah dengan Revan?'.
Petanyaan itu kembali menggaung memenuhi pikiranku.
Aku menginjak rem dalam-dalam. Kepalaku derdenyut nyeri. Untung nggak ada kendaraan lain dibelakangku.
Kubenturkan kepalaku berulang-ulang pada kemudi yang kucengkram erat.

Aku mengatur napas hingga kembali tenang. Aku mulai menginjak gas kembali dan berkendara sampai kembali kerumah.

Arloji ditanganku menunjukan pukul satu dini hari saat kakiku menapaki lantai ruang keluarga. Keadaan rumah sudah sepi, lampu-lampu terpasang temaram. Sedang sebagian lagi dipadamkan.

Aku melangkah ke kamar. Ngaak ada Revan disana. Entah dimana. Mungkin dia ke tempat wanitanya. Aku nggak peduli.

Aku menarik laci nakas kamarku. Kuambil sebotol obat tidur yang memang sengaja aku simpan disana. Aku membuka penutup botol dan menuangkan beberapa butir ketelapak tanganku. Aku menenggaknya dengan ganas. Lalu aku membaringkan tubuhku diatas ranjangku.

JINGGA (COMPLETED)Kde žijí příběhy. Začni objevovat