It's True

1.1K 69 17
                                    


"Ayah..." Sivia menyapa Ayahnya yang sedang berada di gazebo malam itu. Ayah memberhentikan pekerjaannya sejenak dari layar laptop.

"Ada apa sayang?" tanyanya. Sivia duduk di samping ayah namun ia masih terdiam.

"Sivia, ada apa?" Tanya ayah sekali lagi.

"Sivia mau tanya sama ayah, tapi ayah harus jawab jujur. Janji?" Sivia mengulurkan jari kelingkingnya ke hadapan sang ayah.

"Ya, Ayah janji. Mau tanya apa?" Sahut ayah seraya mengaitkan jari kelingkingnya di kelingking Sivia.

"Apa yang terjadi dengan Kakak? Kenapa setelah kejadian Kakak nangis di rumah sakit itu, Kak Alvin berubah sama Sivia? Bunda juga berubah..." Suara Sivia terdengar miris. Ayah menghembuskan nafasnya. Apa yang harus ia katakan pada Sivia? Tak mungkin ia membohongi Sivia, ia sudah terlanjur janji.

"Berubah gimana maksud kamu?"

"Kak Alvin jadi dingin, cuek sama Sivia. Kak Alvin bahkan nggak bolehin aku masuk ke kamarnya lagi sejak hari itu. Kak Alvin nggak mau lagi maen basket sama aku. Bunda juga, setiap aku ngajakin Kakak maen basket, Bunda selalu marah sama aku. Apanya yang salah sih? Aku nggak suka di gituin. Bunda selalu aja ngasih perhatian lebih buat Kak Alvin."

"Kamu ingat janji kamu tujuh tahun lalu?" Sivia mengangguk. "Jangan ngebiarin Kakak sendirian."

"Tapi kenapa Ayah? Kenapa harus seperti itu? Seharusnya kan aku yang harus dijaga!" Sivia menuntut kejelasan.

"Karena Kakak sakit," Jawab ayah membuat jantung Sivia seketika berdegub kencang. Ia terpaku, airmatanya meleleh membasahi pipi tirusnya.

"Ayah becanda kan?" Sivia mencoba menyangkalnya. Ayah menggeleng.

"Kebocoran jantung dan Pneumotoraks tingkat akut."

"Ayah BOHONG!" Sangkalnya keras. Ia sudah menangis keras.

"Ayah nggak bohong."

"Kenapa kalian bohongin Sivia selama ini?! Kenapa kalian harus nyembunyiin ini dari Sivia?!" Sivia semakin histeris menerima kenyataan tentang saudara kembarnya. Kenapa hanya ia yang tidak tahu? Ayah memeluknya.

"Alvin yang minta Ayah sama Bunda buat nyembunyiin ini dari kamu."

Sivia melepaskan pelukan ayahnya dan berlari meninggalkan sang ayah menuju kamarnya. Saat ia sampai di lantai dua, tak sengaja ia menabrak seseorang dan membuat tubuh keduanya terjatuh.

Braak!

Air mata Sivia bertambah deras saat ia tahu ia menabrak tubuh kurus Alvin. Sivia panik ketika mendapati Alvin sedang meremas dada sebelah kirinya kuat-kuat dan mengerang kesakitan.

"Kak Alvin?! Kakak kenapa?" Paniknya. Saat ia ingin membantunya berdiri, Alvin membentaknya.

"GUE NGGAK PAPA..hh!!" Sivia bersikeras membantu Alvin berdiri, namun Alvin segera menepisnya.

"Nggak usah! Gue...hh...nggak butuh bantuan Lo! Gue bisa..hh... sendiri!" Alvin menatap tajam ke arah Sivia. Tak lama, pandangannya mulai mengabur. Ia melihat Sivia yang berdiri dari jatuhnya dengan deraian air mata kehancuran. Sivia beranjak saat matanya mulai meredup, nafasnya sudah datang dan pergi tak jelas. Dan semua menjadi gelap, ia ambruk tergeletak di lantai. Sivia berbalik kearah Alvin.

"BUNDA!!" Teriak Sivia saat melihat tubuh kakaknya sudah tergeletak di lantai. Ia menghampirinya dan memangku kepala Alvin. Wajah Alvin pucat sudah. Ia terus menangis sembari menepuk pipi Alvin, menyuruhnya bangun.

"AYAH!!...hiks..." Teriaknya sekali lagi dengan diiringi isakan hebat.

*

Sivia menatap kosong hamparan pasir putih dihadapannya. Ia menoleh ke samping saat ada sebuah minuman dingin disodorkan oleh seseorang ke hadapannya.

"Nih minum." Titah seseorang itu.

"Thanks, De." Sivia menerimanya sambil tersenyum kecil. Debo duduk di samping Sivia, pandangannya lurus ke depan.

"Kadang, hidup itu sulit buat kita mengerti." Celetuknya tanpa mengubah arah pandangannya. Gerakan Sivia seketika terhenti saat ia membuka minuman kalengnya, ia menatap Debo.

"Maksud lo?" Tanya Sivia bingung.

"Ah iya, gimana sama kata-kata gue kemaren lusa?" Bukannya menjawab, Debo mengalihkan pembicaraannya dan berbalik tanya. Seperti ingin menghindar.

"Entahlah, gue bingung. Gue coba buat dekat, tapi kayaknya mereka sengaja ngejauh. Mereka nyembunyiin masalah besar dan hanya gue satu-satunya orang yang nggak tau tentang masalah itu. Dan kemaren sore, gue tau semuanya dari Ayah." Sahutnya pedih, ia mulai bercerita sedangkan Debo menjadi satu-satunya pendengar setia curahan hati gadis cantik itu.

"Lo tahu, kenapa gue nggak pernah cerita sama lo kalau gue punya Kakak kembar? Karna gue ngerasa Kakak gue udah kayak orang lain. Sifatnya beda banget sama dia yang dulu. Dia ngejauh dari gue, bahkan dia selalu marah-marah sama gue, selalu cuek sama gue, dan dingin. Itu buat gue jadi ngejauh juga sama dia." Sivia berhenti mengambil jeda.

"Dulu waktu kecil, gue suka maen basket bareng sama dia setiap senja. Tapi, semenjak kejadian tujuh tahun lalu, waktu Kakak gue tiba-tiba pingsan tanpa sebab dan dia di bawa kerumah sakit, semua berubah. Semuanya jadi asing buat gue." Sivia mulai terisak.

"Bunda selalu marah sama gue saat gue ngajakin Kakak maen basket. Dan Kakak dilarang keras buat maen basket bareng gue lagi. Gue nggak tau apa alasannya, dan semenjak saat itu gue nggak peduli lagi dan nggak mau tau apa alasannya. Gue kepikiran sama kata-kata lo waktu itu, malemnya gue tanya sama Ayah. Dan gue tau semuanya." Debo merengkuh bahu Sivia dan mendekapnya, membiarkan gadis itu menangis di bahunya.

"Tapi aneh, kenapa gue nggak bisa ngerasain apa yang Kakak rasain. Padahal kita kembar." Ucap Sivia ditengah isakannya.

"Kakak sakit dan gue nggak tau."

"Apa sekarang lo menyesal?" Tanya Debo dengan hati-hati. Sivia diam tak tahu harus menjawab apa.

"Lebih baik lo tau sekarang, daripada lo taunya setelah kakak lo pergi. Itu akan sangat menyakitkan. Sekarang sebelum lo menyesal lebih jauh dari ini, temui Kakak lo, minta maaf sama dia, minta maaf juga sama Bunda dan Ayah lo. Bahagiaiin mereka dan tersenyum buat mereka." Kata Debo dengan bijak. Sivia semakin mengeratkan pelukannya. Sivia merasa lebih baik sekarang.

"Sebenernya, gue udah tau kalau lo punya kembaran tanpa lo cerita sama gue." Sivia tercengang mendengar perkataan Debo.

"Kemaren lusa, waktu gue di rumah lo, waktu gue habis dari kamar mandi itu, sebenernya gue nggak lagi panggilan alam. Saat itu, gue lewat di depan pintu kamar di deket tangga. Gue denger ada suara benda jatuh dan suara rintihan. Gue mendekat ke arah pintu yang kebuka sedikit itu. Suara nafas yang tersenggal-senggal semakin jelas gue denger dari dalam kamar."

"Gue buka dan gue nemuin Kakak lo yang lagi susah payah buat ngambil obatnya di lantai. Dia ngelarang gue buat tanyain soal apapun tentang dia sama lo. Dia ngelarang gue ngasih tau kejadian yang di alaminya sama lo. Dan gue tau alasannya. Karna dia nggak mau buat lo sedih. Dia nggak mau lo liat dia lagi kesakitan. Dia sayang banget sama lo dibalik sikapnya selama ini. Ternyata dia lebih rapuh dari lo." Jelas Debo panjang lebar.

"Dan gue juga tau dia sakit apa, karena obatnya sama persis kayak obat mendiang Mama gue." Lanjutnya. Sivia menangis kencang memeluk Debo, menenggelamkan wajahnya di bahu Debo dan membuat kaus abu-abunya basah karena air mata Sivia. Debo mengusap lembut rambut hitam Sivia.

"Anterin gue ke rumah sakit."

***


BREATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang