Nama saya bukan Debbie!

Start from the beginning
                                    

Ora menoleh. "Tidak bisa kalau ibu kamu tidak mau. Saya jelas tidak bisa membujuknya, Puspa," jawabnya.

"Tapi Ibu diperkosa. Siapa pun yang melakukannya, harus dihukum!"

Ora berhenti dan memegang bahu Puspa. "Ibu kamu tidak mau mengatakan apa pun pada saya, jadi saya sulit untuk memproses ini. Tapi ... kamu bisa melakukannya."

Puspa mengerjap. "Maksud Mbak Ora?"

Ora menatapnya lama. "Puspa, katakan pada ibumu yang kamu rasakan, lakukan apa pun untuk membuatnya mengerti kalau dia tidak boleh merahasiakan apa yang sudah terjadi. Sementara itu, saya akan terus menyiapkan apa yang perlu untuk membawa ini ke pengadilan. Kamu bisa?"

"Apa Mbak Ora akan tetap memasukkan laporan ke kepolisian? Tidak akan mencabutnya?"

Ora mengangguk. "Ya. Tapi, kamu harus bekerja cepat. Karena sistem tidak akan bisa bekerja maksimal kalau kejadian ini lewat terlalu lama. Banyak bukti yang mungkin menghilang."

Puspa mengerjap cepat. "Baik. Demi Ibu, akan saya lakukan apa pun," katanya penuh tekad.

Sekali lagi Ora melihat dirinya dalam remaja cerdas itu. Dia pun tersenyum. Sesuatu yang jarang dia lakukan.

*****

"Jadi ... klien kau itu berniat menarik laporan?" Pande bertanya.

Ora mengangguk. "Dia bilang percuma, Bang. Tidak akan ada yang percaya," jawabnya.

"Kau percaya?"

"Setelah melihat apa yang terjadi pagi tadi dan juga bukti-bukti ini? Tidak!" Ora menunjukkan sebuah kantung plastik.

"Ini bukti?"

"Iya. Puspa berhasil menyelamatkan bukti ini dari tempat sampah, dan aku akan mengirimkan ini ke polisi untuk uji forensik."

Pande bersiul kencang. "Wow! Anak jaman sekarang pandai kali, lah! Benar-benar cepat kali dia berpikir!"

"Mengingatkan Abang pada seseorang, tidak?"

Pande menatap datar. "Tak usahlah kau cari pujianku. Narsis kali kau!"

Ora cemberut. "Susah amat sih Bang, buat jujur? Bukannya dulu Abang bilang aku ini cerdas?"

"Sampai sekarang pun kau masih cerdas, tapi kepala kau besar. Tak tahan aku bicara lama-lama sama kau, tanpa merasa muak. Tahu kau?"

Ora makin cemberut, tapi Pande tak memedulikannya. Pria Batak itu menggerakkan tangannya untuk mengusir Ora keluar.

Sedikit sebal Ora pun menurut dan kembali ke mejanya. Diletakkannya tas plastik berisi cabikan baju Tatik, lalu dikeluarkannya foto yang dibuat Puspa saat Tatik masih dalam kondisi terguncang, sebelum berusaha menutupi apa yang sudah terjadi.

Berat dia menghela napas. Dia tidak akan menyerah. Siapa pun yang melakukan perbuatan keji macam pemerkosaan, harus membayar konsekuensi dari perbuatannya itu. Ya. Dia akan memastikan itu.

******
"Ini semua adalah bukti adanya tindakan pemerkosaan terhadap Bu Tatik. Mohon segera diproses, Pak."

Petugas yang menerimanya tercenung. "Waktu tim tadi siang menanyai korban, korban tidak mau bicara dan menyatakan kalau dia akan menarik laporan karena sebetulnya tidak terjadi apa-apa. Menurut Anda?"

"Menurut saya, korban punya pertimbangan sendiri. Tapi sebagai pengacara Puspa yang bertindak sebagai pelapor, saya harap kasus ini tidak mengendap."

Petugas di depannya tersenyum. "Tentu saja kami akan memproses sesuai bukti dan petunjuk yang ada. Jangan khawatir."

"Ehem!"

Sang Penantang Badai (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now