Part 1 - Good Bye Abah

8 0 0
                                    

Angin sejuk mengawali hari yang indah pagi ini. Kicauan burung gereja bersahutan, tak ingin kalah dengan kokokan ayam jago. Dari timur, sang surya mulai menampakkan cahayanya. Memberikan kehangatan setelah dinginnya malam.

Rutinitas manusia kembali semula. Saling menatap dan bertegur sapa di jalan-jalan. Anak-anak dan remaja bersemangat menimba ilmu di sekolah. Pemuda pemudi pagi ini pun bergegas ke tempat kerja. Ada pula para petani bertempur di ladang. Wanita-wanita paruh baya juga bersiap memetik hasil kebun. Kakek tua tak kalah sibuk mengayuh becak. Demi pundi-pundi rupiah, tak memandang usia, apapun dikerjakan.

Begitulah suasana sebuah desa di Malang. Jauh dari hiruk pikuk padatnya suasana kota nan jauh di sana. Pepohonan rimbun tegak berdiri sepanjang jalan. Udaranya masih bersih, jarang terjamah polusi kuda besi.

Indahnya pagi ini dirasakan semua orang. Kecuali abah. Rasa kalut melandanya. Akankah dia harus melepas putri semata wayangnya pergi ke pulau seberang. Seorang diri, tanpa siapapun menemani.

Dewi menatap wajah abah lekat. Mata abah mencari-cari objek untuk dia lihat. Apapun itu, asal tidak menatap mata anaknya yang beranjak dewasa. Matanya mulai basah. Napasnya tak teratur. Pundaknya terasa berat akibat menahan tangis yang seharusnya tumpah sejak lama. Yaitu kala Dewi memutuskan merantau ke Bontang, kota kecil di Kalimantan Timur.

Dewi meletakkan cangkir teh panas di atas meja. Sengaja dia duduk di hadapan abahnya. Ia memeluk baki erat. Kali ini harus berhasil membujuk abah. Mencari kerja menjadi alasan tepat bagi Dewi. Sesungguhnya dibalik itu, ia ingin menemui seseorang yang ia kenal di dunia maya. Lewat jaringan Facebook ia berkenalan dengan pria yang mengaku bekerja sebagai polisi.

Pembualan. Dewi memang berbohong demi seseorang yang belum tentu nyata. Namun angan-angannya mampu membuatnya menepis rasa bersalah. Seandainya ia berjodoh dengan sang perwira, ia akan menegakkan kepala saat kembali ke kampung halaman. Abah pun tak perlu repot berjualan sayur mayur di pasar.

"Abah, tolong ikhlaskan Dewi ke Bontang. Kan ada tante Siti di sana yang akan menjaga Dewi," kata Dewi.

Tante Siti merupakan adik bungsu abah. Sudah 25 tahun dia dan suaminya merantau ke Bontang memboyong 3 anaknya. Hanya hitungan jari saja tante Siti mudik karena kesibukannya mengurus rumah makan bersama suami. Kadang ketika abah rindu adiknya, ia hanya bisa berkirim pesan. Pesan teks yang dikirimkan selalu sama. 'Assalamualaikum dik', 'Jangan terlalu lelah dik', atau 'Kapan pulang dik?'
Jika ditelpon, tante Siti tidak bisa fokus melayani pembeli. Bahkan malam, abah tak tega mengganggu adiknya yang pasti beristirahat karena lelah.

"Apa enaknya di Bontang nak. Lebih baik kamu cari kerja di sini saja. Atau abah carikan kerja di tempat Pakde Musi," bujuk abah. Sebenarnya, karena abah takut Dewi seperti Tante Siti.

"Abah, kalau Dewi kerja cuma kupas bawang tidak akan berkembang. Teman Dewi bilang di Bontang banyak lowongan kerja. Lulusan SMA saja masih mau diterima," kata Dewi.

"Kamu yakin nak? Sudah cukup umi tinggalkan abah. Kamu tega tinggalkan abah juga?" tanya abah.

Dewi menangkap raut sedih pada wajah abah. Sudah 5 tahun umi meninggalkan abah dan Dewi karena penyakit asma. Sebenarnya Dewi tak tega. Namun masih ada Pakde Musi dan istrinya yang bisa menemani abah.

"Abah, Dewi janji akan terus menghubungi abah. Kalau ternyata dalam seminggu Dewi belum dapat kerja, Dewi balik lagi ke Malang. Dewi janji abah," rayu Dewi.

Abah menyerah membujuk putrinya sendiri. Dia tau akan gagal membujuknya karena watak keras kepala Dewi sedari dulu. Tetapi dia tetap mencoba, berharap mungkin saja berhasil. Ternyata tidak.

"Jadi, kapan rencana kamu berangkat? Pergi sendirian? Yakin?" tanya abah.

"Jadi boleh abah?" mata Dewi berbinar.

Kau TujuankuWhere stories live. Discover now