🍁Prolog🍁

24.9K 845 108
                                    

Cerita ini suda ada di google play. Dan sudah pernah dibukukan.

Awalnya juga nggak kepikiran buat dipublish dimana pun.

Kenapa saya publish, jawabannya cuma iseng pengen liat masih ada yang mau baca atau nggak. Yg mau baca, jangan lupa tetap kasih vote dan komennya ya, kali aja saya bisa sering updatenya.

Salam dari penulis amatir yg hari ini merasa sedikit uring-uringan.
                                                                           
🍁🍁🍁
                                                                           
Fari menatap nelangsa kedua bocah kecil yang duduk di hadapannya. Dalam posisi berjongkok, Fari rasanya ingin menangis karena lelah harus terus mendengar pertengkaran yang tak ada habisnya, yang dilakukan kedua bocah yang kini tengah menyuapkan es krim ke dalam mulut mereka yang mungil.

Hanya karena berdebat soal usia dan status, bocah kecil berlainan jenis kelamin itu pasti berakhir dengan pertengkaran, hingga Fari yang berencana menghabiskan harinya di apartemen sambil menemani anaknya bermain dengan terpaksa membawa mereka ke taman ini, membelikan mereka es krim yang disukai, dan menyisakan Fari yang terus mendumeli ayahnya.

Bagaimana bisa, ayahnya yang tidak sadar usia itu pergi berlibur bersama istrinya, dan meninggalkan bocah laki-laki yang memiliki kemiripan hampir 100% dengan ayahnya itu untuk ia asuh?

Bukankah keterlaluan namanya, saat sang ayah menikmati bulan madunya yang entah ke berapa kali, Fari malah harus berakhir di sini, di antara orang-orang yang sedang menikmati hari libur mereka bersama orang yang terkasih.

"Pa, emangnya benar ya, kalau Aya ini ponakannya dia?"

Suara merdu bagaikan nyanyian bidadari tersebut membuat Fari dengan cepat melembutkan ekspresi wajahnya. Ditatapnya sang putri kesayangan yang mengedikan dagu ke arah Sharga Naryama Biantara- adiknya yang berusia 3 tahun lebih beberapa bulan itu dengan ekspresi tak rela.

"Iya, sayang." mau bagaimana lagi, Fari tentu harus memberikan jawaban yang jujur. "Arga memang pamannya kamu, sama kayak paman Alif." imbuhnya lelah karena harus menjelaskan hal yang sama berulang-ulang karena Aya yang masih belum bisa menerima harus menghormati paman kecilnya itu.

Sementara bibir Aya cemeberut, bocah yang dicarakan tetap anteng memenuhi mulutnya dengan es krim.  Duplikat ayahnya itu memang tipe anak yang pendiam, cerdas untuk anak seusia, sangat lancar berbicara, dan mahir membalas setiap kata Daisy Aristawidya, anaknya yang beberapa bulan lagi akan berusia 6 tahun.

"Tapi 'kan umur Aya lebih tua, pa, masak Aya harus hormat sama Arga?"

"Paman." si bocah kecil yang dibicarakan mendelik kesal. "Arga ini paman, makanya Aya harus hormat sama Arga. Kalau lebaran, harus salim, bukannya terus cemberut."

Aya merengut kesal. Ia mengalihkan pandangan, tak peduli tampang ayahnya yang cengo karena lagi-lagi harus melihat perdebatan yang sama.

"Mas... "

"Y... ya." Fari tergeragap saat suara khas anak kecil bocah laki-laki merasuki indra pendengarannya. Begitu matanya fokus menatap adik kecilnya, Fari disuguhi wajah tampan Arga yang amat menggemaskan. Pipinya yang bulat kemerahan itu membuat Fari gemas ingin menggigitnya.

"Ayanya nakal, nggak mau hormat sama Arga. Aya ditukar aja sama segerobak es krim, biar Arga nggak perlu beli es krim lagi."

Mata Fari membola mendengar apa yang Arga katakan. Apa dia bilang, Aya ditukar dengan segerobak es krim? Sungguh pikiran adiknya ini tidak akan pernah bisa ditebak oleh siapapun.

Jodoh Sang DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang