5. 🍃Kejutan Hati🍃

Mulai dari awal
                                    

"Eh ada Fatonah tuh sama Fathoni, " tunjuk Keysa pada temannya-Fatonah yang memiliki saudara kembar di pesantren putra. Aira hanya mengangguk paham saja saat itu.

"Mana, sih, Pak Lek mu belum datang juga."

"Paling bentar lagi, masih ngaos mungkin."

"Loh, hitech aku ketinggalan di kelas kayaknya." Aira seketika menyadari saat bolpoin hitechnya tidak ada di saku baju.

"Kamu taruh mana?" tanya Keysa.

"Aku lihat dulu di kelas, ya?"

"Ya sudah. Ngga pake lama." Aira segera keluar dari pintu ruang tamu sebelah kanan yang mana langsung menuju ke gedung Al Marwa. Setelah sampai di kelas, Aira melihat hitechnya sudah terkapar di bawah meja. Karena itu adalah benda keramat bagi para santri. Sekali jatuh tidak dapat dihidupkan lagi. Harganya pun juga terbilang mahal.

"Yah, tamat sudah kalau begini," desis Aira cepat-cepat mengambil hitechnya dan bergegas kembali ke ruang tamu.

"Harga kamu itu nggak murah, jangan suka menjatuhkan diri, dong." Aira merutuki bolpoin hitech itu sepanjang perjalanan menuju ruang tamu. Kali ini yang sambang adalah Pak Leknya, karena Ibu Aira masih dua minggu lagi datang. Gadis pemilik nama Aira Falikha itu hanya memiliki seorang ibu dan kakak perempuan yang sudah menikah, ayahnya telah meninggal sewaktu ia kelas 5 SD.

Belum sempat Aira memasuki ruang tamu, tiba-tiba saja jantungnya berdetak dengan sangat cepat dan keringat dingin mulai membasahi tangannya. Sosok yang baru-baru ini mengusik hatinya kini hadir di hadapannya. Kejadian malam ini sangat tiba-tiba seperti kejutan untuk hati yang sedang merindukan bulan. Ia sempat tercengang di tempat ,ia masih mematung di depan Ustadz Fadly yang hendak memasuki ruang tamu juga, dan ia baru sadar jika ruangan ini adalah wilayah Ustaz Fadly, karena beliau termasuk ketua pengurus divisi pertamuan.

Mengenakan koko warna merah marun,sarung hitam yang senada dengan kopyahnya, membuat penampilan Ustaz Fadly malam ini sangat berbeda dari biasanya saat jam sekolah.

"Ya Allah maafkan lah hambaMu yang khilaf ini." Batin Aira setelah sadar terlalu lama memandang. Hingga bolpoin hitechnya kembali jatuh. Sebelum musuh-musuh Nabi Adam menghasut dirinya lebih jauh, Aira lekas memasuki ruang tamu dengan tergesa. Ah, lupa. Bolpoin keramat itu tertinggal.

Sementara itu, Ustaz Fadly tak berkata apapun, ia tetap tenang seperti biasanya. Menunggu gadis itu selesai dengan salah tingkahnya kemudian barulah ia masuk ke dalam ruang tamu.

"Keysa, ada minum nggak disitu?" Keysa yang menyadari situasi temanya seperti tengah habis lomba maraton bertanya, "Kamu habis ngapain keringetan gitu, Ra? Balap karung?" Namun pertanyaan itu ia abaikan. Irama jantungnya tak bisa diajak kerja sama dengan baik. Ketara sekali.

"Haus Keysa, ambilin gih!"

"Nggak tahu aku, tempat airnya di mana, ya?"

"Ada di belakang pintu, Mbak. Sebentar saya ambilkan." Tiba-tiba suara seorang laki-laki yang kini mulai dihafal oleh Aira menyahut pembicaraan mereka. Tak lain adalah Ustazz Fadly.

Mereka berdua lekas menoleh ke belakang. Keysa biasa saja, Aira yang mulai gusar dan salah tingkah.

"Masyaallah, Ustaz Fadly." Keysa terhenyak. Dia faham sekarang mengapa sahabatnya itu terlihat seperti kehabisan nafas saat masuk ke ruang tamu. Ternyata ada pemicunya yang begitu kuat. Ustaz Fadly tidak menunjukkan reaksi apapun. Ia hanya mengangguk kemudian mengambil satu kardus air mineral dan diberikan untuk tamu tamu yang lain. Memang sudah seperti itu tugasnya. Sedangkan Aira masih belum bisa menetralisir perasaannya malam ini. Beberapa kali Keysa menyenggol pundak, dan menowel pipinya. Namun itu tidak terasa apapun.

"Monggo, diminum." Ustaz Fadly menyodorkan dua gelas air putih mineral. "Terima kasih, Ustaz. " Tentunya itu suara keysa. Aira hanya mampu diam. Bibirnya terkunci rapat dan memainkan pulpen hitechnya untuk mengusir perasaan gugup yang tak menentu.

Sampai pada akhirnya Lek Khudori datang,walaupun panggilannya Pak Lek tapi masih muda dan manis parasnya. Mirip sekali dengan Ibu Aira. Usianya tiga tahun lebih tua dari Ustadz Fadly. Sepanjang hari ia menyibukkan diri mengabdi di ndalem Kyai Zarkasyi, pengasuh pondok pesantren putra.

"Kelamaan, ya, nunggunya. Ini ada cemilan dibagi sama Keysa," ucap Lek Khudori segera ikut duduk lalu kemudian Aira menyalami pamannya. Bagi Aira dia adalah ayah kedua setelah ayah kandungnya meninggal.

"Terima kasih, Lek, kok lama banget? Kebiasaan nggak tepat waktu."

"Ada urusan sebentar tadi di mabes. Ayo dimakan!" Lek Khudori membuka sebuah kudapan keripik tempe khas Ngawi yang ia perolah dari lurah pesantren. Demi menjaga hati agar tidak terlalu jauh terbawa arus perasaan tak jelas. Aira turut mencomot satu keripik itu, diikuti Keysa setelahnya.

"Loh, Kang Fadly tadi ndak ikut ngaos sama Abah?" tanya Kang Khudori seraya menikmati keripik tempe yang renyah itu. Mungkin lupa menawari Ustaz Fadly.

"Ikut, Kang. Cuma tadi dapat telpon kalau keponakan saya mau kesini."

"Oh, begitu."

Waktu terus berjalan, Aira pun sudah bisa mengatur perasaannya dengan baik. Untung saja Ustadz Fadly kini sedang berada di emperan ruang tamu. Yang mana tepat di setiap sudut teras terdapat berderet-deret tanaman lidah mertua yang semakin memperindah desain ruang tamu untuk wali santri.

Di sebelah kanan sebelum masuk ke ruangan itu. Dulunya adalah pekarangan kosong. Namun karena putra sulungnya Kyai Zarkasyi gemar mengoleksi ikan, maka dibuatlah kolam ikan mini beserta air mancur buatan Kang santri yang riak suaranya menentramkan. Tak jarang ada beberapa santri yang menggunakan pinggiran kolam itu sebagai tempat istimewa untuk murojaah ataupun lalaran alfiyah.

Malam terus berjalan. Tepat ketika adzan isya berkumandang, Aira segera mengakhiri pertemuannya dengan sang paman. Kejadian malam ini benar - benar mengejutkan hati bagi Aira.

"Aku balik dulu, Lek."

"Iyo, itu tadi ada nasi goreng tiga bungkus. Makan sama temen-temen kamu."

"Siap," kata Aira memberi hormat pada Lek Khudori. Lalu di balas dengan tepukan halus di pundaknya.

"Ayo, Keysa," ajak Aira kemudian, tangannya penuh dengan kresek-kresek berisi camilan dan makanan. Tapi yang diajak bicara tiba-tiba saja menjadi kaku tak berkedip. Tangannya dingin seperti apa yang dirasakan beberapa menit yang lalu.

"Keysa." Aira melambai-lambaikan tanganya di hadapan Keysa, tetapi sahabatnya itu tetap tak berkutik dan menatap lurus ke luar ruang tamu.

"Ilham...."

🍃

Jangan lupa vote dan komennya ya kawan.
Maaf jika terlalu garing ceritanya. Hehe.

Ustadz, Aku jatuh Cinta [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang