chapter 11: makan malam

5.2K 903 29
                                    


"di umur 19 kamu menyadari bahwa tidak ada makna sederhana dari sebuah tatapan rahasia."

AMA merasa ada yang aneh. Dengan posisi Setyo dan Ara di sampingnya sambil menonton No Escape bareng, dengan Depha yang di pojok ruangan sambil main ponsel, dengan Tari dan Rendra yang mengoceh tentang bagaimana baiknya memasak sebuah lasagna (omong-omong, mereka masih berdebat soal cara pelafalannya, lasanya' atau plek dibaca l-a-s-a-g-n-a).

"Lidah gue tuh lidah Indonesia! Ribet kalo udah gitu," elak Rendra ketika Tari menunjukkan bahwa yang benar adalah lasanya' lewat ponselnya. "Gue mewakili lidah-lidah Indonesia yang lain, memutuskan bahwa bacanya l-a-s-a-g-n-a."

"Emang batu kalo dibilangin susah, ya," ucap Tari berapi-api, beda dengan Tari yang biasanya. Ama bahkan sempat terkejut mendengarnya.

"Nih, nih, bentar lagi dilempar, nih," ucap Setyo di sebelahnya sambil mengemil Lays, membuat bubuknya mengotori baju dan mulutnya. Matanya terpancang pada layar laptop Ama. "TUH DILEMPAR KAN!"

Seruan itu dibalas dengan seru oleh Ara. Bahkan Ara sempat mengguncang-guncang bahu Ama saking serunya menonton film.

Ama ingin Bunda cepat-cepat pulang, jadinya.

Semua berawal dari produksi air mata Ama yang bekerja tidak pada waktunya. Membuat seisi ruangan panik dan menenangkan Ama, kemudian Rendra bertekad untuk menemani Ama sampai orang rumah pulang, yang disusul dengan anggukan tiap orang, besok hari libur, apa mau dikata?

Sekarang jam tujuh malam. Mereka yang tadinya panik, kini mulai nyaman di rumah Ama setelah Ama mengatakan, "Anggap aja rumah sendiri," dan mereka berbaur secepat Ama berkedip.

"Mmm..., Guys?" tanya Ama dengan gumaman kecil.

Semua orang masih terfokus pada aktivitas mereka, kecuali Depha yang bangkit dari pojokan ruangan dan menghampiri Ama.

"Kenapa?" tanya Depha.

Depha yang memang jarang bicara, sekalinya mengeluarkan pertanyaan, semua orang menengok ke arahnya, kecuali Ara. Membuat Ama jadi sedikit malu.

"Misi apa misi," ucap Ara, alis tertaut, mata masih terpancang pada layar laptop yang kini tertutupi oleh badan Depha.

Depha menggeser ke kiri.

"Misi apa misi," balas Setyo kompak.

Depha menggeser ke kanan, kemudian berjongkok di hadapan Ama.

Ara berdecak, "Bucin."

Wajah Ama pasti sudah seperti kepiting rebus sekarang, yang dia tutupi sebisa mungkin dengan melihat ke arah lain selain Depha.

"Gak, gak jadi," Ama merapatkan bibirnya.

"Bucin? Apaan tuh?" celetuk Rendra tiba-tiba.

Ama langsung mengalihkan topik. "Lasagna-nya udah jadi?"

Pertanyaan itu membuat Rendra mengangguk sambil tersenyum bangga. Tari yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng kepala. Sementara, Ama lega Rendra melupakan kejadian tadi.

"Anak-anak, makanan sudah siap," seru Tari seperti ibu yang mengajak anak-anaknya makan malam.

Ara dan Setyo langsung beringsut dari sofa menuju meja makan bundar. Meninggalkan Ama dan Depha berdua. Ama garuk-garuk kepala, kemudian menyingkir dari hadapan Depha. Depha melihat Ama menjauh, menghela napas, lalu menyusul.

Mereka berenam duduk melingkar. Urutannya adalah Ama, Depha, Ara, Setyo, Tari, dan Rendra. Jadilah Ama diapit oleh Rendra dan Depha. Rendra yang aktif sekali berbicara pada Ama tentang pembuatan lasagna sementara Depha yang makan dalam diam.

di umur 19Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang