[vol. 1] 2. Cinta dalam Diam

Mulai dari awal
                                    

"Sialan si Angkasa! Seenaknya aja dia putusin gue di depan banyak orang. Awas aja, gue bakal bikin perhitungan sama dia. Dia pikir dia siapa? Pangeran William? Calvin Harris? Justin Bieber? Berani-beraninya dia giniin gue!" Tidak henti-henti Lola menggerutu lantaran tidak terima akan perlakuan mantan pacarnya. "Kalau udah begini mau ditaruh mana muka gue, Flo?" tanyanya pada Flora, sahabat karibnya sejak semasa SMP, yang sekarang mereka berada di fakultas yang sama, yakni Fakultas Ekonomi, namun sayangnya berbeda jurusan. Flora mengambil jurusan akuntansi, sedangkan dirinya mengambil jurusan manajemen.

"Ya, tetep lo taruh di situlah. Mau ditaruh mana lagi? Emang bisa muka dipindah-pindahin? Ngaco aja lo!" sewot Flora, yang mungkin bingung sekaligus gumoh juga melihat Lola terus marah-marah tidak jelas seperti sekarang ini.

"Gue nggak mau tau, pokoknya lo harus bantuin gue bales dendam sama Angkasa si manusia es itu! Bantu gue cari ide cepetaann," desak Lola sambol menggoyak-goyakkan lengan Flora.

"Lo suruh aja cewek lain buat pacarin Angkasa. Terus suruh deh itu cewek putusin dia juga di depan banyak orang. Kayak apa yang udah dia lakuin ke lo."

💕

Di saat Pak Sudrajat sedang sibuk menerangkan panjang lebar mengenai filsuf-filsuf di Indonesia, Sakura di kursinya nampak diam tidak memerhatikan. Sebelah tangannya bertopang dagu, sementara sebelah tangannya yang lain, yang memegang sebuah pena, tiba-tiba tergerak menuliskan sebuah kalimat, yang ia tujukan untuk seseorang yang Bima ceritakan padanya tadi, Argalen Elnandhio.

"Satu dari sekian juta detik yang kumiliki, selalu ada tentangmu yang terselip di antaranya."

"Sa!" panggil seseorang. "Sakura!" Sampai ketika panggilan yang kedua, barulah Sakura menoleh. Didapatinya sesosok cowok berkepala gundul berlarian dengan lambaian tangan ke arahnya. Membuat Sakura mendenguskan napas cukup panjang.

Rasanya baru sekian detik Sakura mendapat posisi nyaman untuk duduk, sekarang sebuah pemandangan yang dapat Sakura prediksikan akan merusak segala kenyamanan yang baru ia rasakan, terlihat. "Apaan?" sahutnya.

"Kak Galen, Sa!" Bima Sakti, satu-satunya orang yang tahu seseorang yang Sakura sukai di kampus, berseru heboh dengan terengah-engah. Tubuhnya yang gemuk membuat Bima cukup kesulitan walau hanya untuk mengatur napasnya sendiri.

"Kak Galen kenapa?"

"Ayo, deh, lo ikut gue aja. Biar lo percaya, kita liat langsung!"

"Yaelah, Bon, baru juga gue duduk. Tega amat lo sama gue," protes Sakura.

"Lo bisa duduk lagi setelah ini. Karena kalau gue omongin doang juga percuma. Lo nggak bakal percaya!"

Tangan Bima yang bertenaga setara dengan tenaga kingkong, menarik tangan Sakura yang jelas dua kali lebih kecil dari tangannya. Membuat Sakura akhirnya tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti cowok yang tidak pernah marah dengan julukan Bibon itu, alias Bima babon.

Sakura pikir Bima akan mengajaknya ke lapangan indoor untuk menonton Galen dalam pertandingan futsal antar Fakultas seperti biasanya. Tapi ternyata salah. Sakura justru bingung ketika tiba-tiba Bima malah menariknya ke belakang pohon besar.

"Sa, lo liat, tuh, Kak Galen."

Sakura mengikuti ke mana jari telunjuk Bima mengarah. Di sana, Sakura melihat pemandangan yang sebetulnya tidak ada sangkut patutnya sama sekali dengan dirinya. Yakni mendapati Galen dengan gadis lain.

"Itu pacarnya yang gue bilang kemarin," bisik Bima agar tidak ada yang mendengar suaranya. Karena sekarang ia dan Sakura sedang melakukan aksi mata-mata. "Sekarang lo percaya, kan?"

Sakura memang begitu, tidak mudah percaya dengan apa kata orang sebelum ia benar-benar melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Sebelum ini Bima sempat berkali-kali memberitahunya bahwa kini Galen, Senat Universitas Nusa yang dikagum-kagumi oleh Sakura semenjak masa ospek, telah memiliki kekasih. Yang artinya, tidak ada lagi harapan bagi Sakura untuk memiliki cowok itu.

Benar kata Bima, cinta dalam diam apa-apanya harus ditanggung sendiri. Sesak sendiri, cemburu sendiri, menangis sendiri, karena memang hanya kita sendiri yang merasakannya. Sakura pun bingung kenapa sampai sekarang ia bisa sejatuh ini pada seniornya yang satu itu. Kenapa ia bisa mencintai cowok itu, dengan sepenuh hati dan jiwanya, meski kenyataan yang ada justru berbalik menampar dirinya.

"Sakura!"

"Iya, Pak!" kaget Sakura lalu terhenyak sesaat.

"Bisa kamu jelaskan apa yang saya jelaskan tadi?!" Dosen Filsafat yang merupakan dosen tertua di Universitas Nusa itu mendelik menatap tajam ke arah Sakura. Membuat anak-anak lain yang berada dalam kelas saat itu ikut menujukan matanya pada Sakura yang duduk di belakang.

Sakura tertegun, meneguk salivanya susah payah. Dengan gerakan terpatah-patah, lehernya menggeleng. Tidak bisa menjawab.

"Silakan kamu keluar dari kelas saya," pinta Pak Sudrajat. "Bagaimana kamu bisa menjawab, memerhatikan saja tidak. Saya lihat kamu malah asyik melamun!"

Apabila sudah seperti ini, siapapun tidak akan ada yang bisa membantahnya. Termasuk Sakura. Sakura segera membereskan buku dan alat tulisnya. Menyelempangkan tasnya, lalu membungkuk sejenak pada Pak Sudrajat sebelum bergegas. "Saya permisi, Pak."

"Ya, ya, silakan."

Sakura berjalan sembari memukul-mukul kecil kepalanya. Merutuki kebodohannya sendiri. "Sakura sadar dong! Kalau lo begini terus, yang ada semester selanjutnya beasiswa lo dicabut! Nanti kalau dicabut, lo mau bayar pakai apa? Pakai daon?"

"Gue bisa aja bayarin uang kuliah lo. Bahkan sampai lo S2 kalau gue mau."

===

To be continue...

ayo vomment yaaa, biar aku rajin update ehehehe:D

Cold EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang