Dia Membuntuti #part 1

Start from the beginning
                                    

Dari tempatku berdiri, beberapa langkah sebelum mencapai bibir jurang, aku bisa melihat puncak topi anyaman bambu dari seseorang yang sedang berdiri di bagian dalam jurang. Hmm, itu aneh. Memang itu jenis topi yang biasa di pakai pemulung, aku biasa melihatnya di pakai mereka di sini, tapi pemulung turun ke dalam jurang? Aku belum pernah melihat ada pemulung melakukan hal itu sebelumnya. Biasanya mereka sibuk mengorek di tepian kubangan, tidak sampai turun jauh ke dalam.

Aku maju beberap langkah, cakupan pandangan mataku semakin luas, mengungkap sosok yang tadi hanya kulihat puncak topinya saja. Ya, dia seorang pemulung, pemulung pada umumnya. Mengenakan topi bambu yang tepian anyamannya rusak, beberapa helai bambu mencuat keluar tak karuan. Sosok itu memakai kaos hitam yang amat kusam sehingga warna hitam itu berubah menjadi warna baru yang—tiba-tiba saja tebersit dalam benakku—terlihat seperti pemukaan kuburan tandus.

Tangan kanan sosok itu mencengkeram mulut karung yang tergolek di sebelah kakinya. Karung itu tampak penuh separuh dan bergerak-gerak. Sementara tangan kirinya membawa gancu panjang khas milik pemulung untuk mengorek dan memungut sampah. Ujungnya yang melengkung hitam dan berkarat. Sosok itu hanya mengenakan celana pendek kotor dengan kedua kaki terbenam di dalam sampah sampai ke tengah betis. Dia diam tak bergerak.

Begitu terpesona oleh sosok itu, aku lupa bahwa aku harus segera membuang sampah dan pulang. Hanya saja, sesuatu yang tak biasa sedang merambati tempat ini. Kesunyian ini, kucing yang tak tampak satu pun, kicau burung yang senyap, angin yang berhenti berembus, dan sosok yang berdiri mematung di bawah sana, semua itu membuatku terjerat dalam rasa penasaran sekaligus takut yang tak mudah dijelaskan. Aku terpaku diam mengamati.

Entah berapa lama waktu berlalu ketika aku merasa ada sesuatu melompat di dekatku. Perasaan itu membuatku terkejut sekaligus sadar aku sudah terlalu lama di sini. Dan sosok itu masih di sana, pemulung aneh itu, berdiri diam membelakangiku.

"Peduli setan." Gumamku sembari bersiap melemparkan keresek sampah; sekuat mungkin, sejauh mungkin.

Tepat pada saat itu, si pemulung bergerak untuk pertama kalinya. Pertama-tama kepalanya, lalu kedua pundak, disusul kedua tangan, badan, dan seluruh tubuhnya menggeliat. Aku terkesiap. Sosok itu terus bergerak, namun sangat pelan seakan ada rantai tak kasat mata membelit sekujur tubuhnya. Kemudian aku sadar bahwa dia—pemulung mencurigakan itu—sedang berusaha untuk membalik badan. Kesadaran itu membuatku terkejut dan panik. Seketika aku merasa tidak ingin dia memergokiku sedang mengawasinya.

Gerakannya kini lebih keras dari sebelumnya—aku berani sumpah mendengar seperti geraman teredam darinya. Dia benar-benar ingin berpaling tapi... kakinya terjebak di dalam sampah dan dia tidak bisa melepaskan diri. Tanpa pikir panjang, dengan terburu-buru dan ketakutan, kulemparkan kantong sampahku sekuat tenaga. Keresek hitam itu pun melayang. Sejenak bergerak lurus di udara sebelum kemudian tunduk oleh gravitasi dan mulai bergerak melengkung ke bawah. Ke bawah... tepat mengarah pada sosok misterius itu.

Mulutku ternganga. Aku ingin berteriak 'AWAS' tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Sosok itu sudah bisa menarik satu kakinya keluar dari sampah dan hampir berhasil membalik badan ketika keresek hitamku menghantam bagian belakang kepalanya dengan telak, membuat topi bambunya terlontar dan mendorong tubuhnya jatuh tersungkur menyosor sampah.

"Tidaaakkk!!!" aku memekik, tapi telingaku tidak mendengar suara apa pun.

Telingaku juga tidak mendengar jerit kesakitan pemulung berbaju hitam. Hanya suara tubuhnya berkemerasak jatuh menimpa sampah terdengar keras dan nyata.

Untuk sepersekian detik aku dicekam kepanikan dan pergulatan antara takut, rasa bersalah, ingin meminta maaf, membantunya berdiri, atau pergi melarikan diri. Dan beberapa detik kemudian tanpa sadar aku sudah balik badan, lari menuju sepeda motor, memutar kontak, memasukkan perseneling, dan kabur meninggalkan tempat pembuangan sampah. Jantungku berdentam begitu kencangnya seakan siapa pun yang kulewati di tepi jalan bisa mendengar. Tak pernah aku ketakutan separah itu sepanjang hidupku.

Dia MembuntutiWhere stories live. Discover now