Ikan Tebu.3

25 0 0
                                    

Jarak rumah Fosi ke Kali Tengah sekitar 500 meter, kami berjalan tak bersepedah, menyusurijalanan ditengah persawahan yang menghampar, membiarkan terik matahari perlahan menyengat kulit, kami tak mengeluh karena kami sudah terbiasa dengan sengatannya. Berjalan dengan alas kaki memerperbudak rumput dan tanah untuk memberi jalan. Sesekali kami menyapa orang-orang yang sedang mengerjakan sawahnya dikala kemarau, mereka memberi minum kepada jagung yang kehausan, mengusir hama dengan pestisida, atau sekedar mencari rumput untuk hewan peliharaan. Angin kembali berhembus, memberi kesejukan dikala panas berkuasa.Terlihat seorang kakek bertopi, bercelana hitam panjang yang tak memakai baju terus mencangkul dengan penuh tenaga, bulir-bulir keringat yang keluar dari kulit sawo matangnya langsung membuarai tak dibiarkan oleh matahari. Keringat yang menggenang dikening sesekali ia usap dengan lengannya, kakinya menancapbumi dipanggang tanah yang bekerjasama dengan matahari. Telapak kakinya seolah menantang panas karena tak memakai alas sama sekali. Kami menyapanya.

"Monggo mbah...." sapa dari kami.

"Iyoo leee...." jawabnya kepada kami dengan gigi ompong yang ia perlihatkan bersama senyuman ramah.

Kami terus berjalan, hingga sampai pada tujuan.Kami pun turun satu persatu ditengah badan kali, turunan yang tak ada anak tangga, yang ada hanya jejak-jejak kaki manusia yang kami pijak lagi dengan tangan berpegangan pada tumbuhan.Kami pun sampai di dasar kali, terlihat ikan-ikan yang berenang pada genangan.Mereka terlihat jelas pada air jernih yang nampak bersih. Namun sampah-sampah terlihat ditimur tepat dibawah jembatan, buah tangan orang yang tak peduli lingkungan, yang mereka pikirkan hanyalah membuang sampah sembarangan dan berharap arus deras akan membawanya pergi, tapi sekarang kemarau bukan penghujan.Otak mereka berlogika instan, masalah mereka terselesaikan mereka senang. Tanpa melihat dampak yang ditimbulkan, ekosistem alam rusak akan terjadi dikemudian hari.

Kami berjalan ke barat menuju tempat yang airnya lebih bersih, melepas sandal dan menentengnya pada tangan, kaki kami masuk kedalam air yang tigginya hanya semata kaki. Terasa segar setelah dipaksa pikiran untuk menuruti kemauannya. Kami terus berjalan sambil melihat atas sebelah selatan.Mencari tempat yang pas untuk masuk pada kerumunan tebu, memilihnya, memotongnya, kemudian mengambilnya.Kami masih mencari tempat mana yang pas untuk naik.

"Disini aja gimana ?" tanya Lana pada kami bertiga.

"Jangan kita masih belum sampai ketengah tengah, kalau disini kita akan ketahuan." jawabku.

"Ayo kita jalan kebarat lagi." ajak Fosi pada kami.

"Ayooo..." jawab kami bertiga.

"Nanti kalau ketahuan sama mandornya gimana...? aku takut." ujar Aji takut bila nanti ketahuan.

"Enggak enggak.... Kita kan sudah ahli dalam hal ini."Jawab Lana meyakinkan Aji.

"Yasudah" kata Aji yang mulai tenang.

Kami kemudian berhenti dan melihat ke atas sebelah selatan.

"Wahh.. Kayaknya ini pas Fos.." kataku kepada Fosi.

"Iyar u..Disitu tempatnya pas sudah jauh dari depan." kata Fosi menyahutku.

"Bagaimana ?Jadi ?" tanyaku kembali kepada teman-temanku.

"Yaaa jelaslah jadi.... Sudah bawa celurit loo ini." jawab Lana yang sudah ngebet ingin menghisap air tebu.

"Taa..tapiii nanti kalau ketahuan mandor gimana ?" tanya Aji kembali dengan suara terbata-bata.

"Kalau ketahuan ya nanti kita langsung turun lagi keKali, gitu aja kok repot ji jiii..." jawabku kepada Aji.

"Eee...eee....soalnya kemarin Heri ketangkap sama mandor, trus diancam akan dipenjarakan karena mencuri, trus..trus.... Heri nangis histeris lalu Heri dilepaskan oleh mandor, aku takut." Aji menceritakan kejadian kemarin kepada kami.

"Enggak..enggak ji.. Santai aja lahh."Jawab Fosi menggapi cerita dari Aji.

Debu & Deru : Dampak Sakitnya Kelud Sampai ke desakuOnde as histórias ganham vida. Descobre agora