SEPULUH

692 111 38
                                    

Aku memasuki wilayah kumuh yang letaknya lumayan jauh dari mini market tadi. Kami harus berjalan kaki kurang lebih lima belas menit untuk sampai ke sini. Dan selama di perjalanan tadi, Angel tidak berhenti makan. Sesekali dia menoleh ke arahku yang berjalan di sisi kanannya seolah dia meminta izin kepadaku untuk memakan makanan yang kubawa.

"Sekolahnya di sana, Kak." Tangan mungil Angel menunjuk ke arah sebuah rumah yang terbuat dari papan tripleks. Mungkin kalau tidak disangga dengan kayu kokoh, rumah itu mudah rubuh bila ada angin kencang atau hujan besar. "Kalau rumahku ada di sana." Angel menunjukkan rumah yang berjarak beberapa meter di depan sekolah.

"Kakak namanya siapa, sih? Angel belum tahu nama Kakak dari tadi. Angel kan bingung."

Aku menghentikan langkah, lalu menghadapnya. Aku berjongkok dan mengusap-usap rambutnya. "Oh iya, Kakak lupa ngasih tahu nama." Kuulurkan tangan kananku. "Namaku Sabrina. Angel panggil aku Kak Bri aja, ya!"

Angel mengangguk-angguk sambil mengelap pipinya dengan telapak tangannya yang penuh cokelat. Aku tertawa kecil melihatnya seperti itu.

"Sekarang Angel mau ajak Kak Bri ke mana?" tanyaku sambil membersihkan pipinya. "Ke sekolah atau ke rumah?"

"Hmm, sekolah aja deh. Di sekolah banyak teman. Di rumah, Ibu lagi sakit."

"Oh, ya? Sakit apa? Nanti Kak Bri boleh jenguk Ibu?"

"Jangan, Kak. Ayah galak. Nanti Kakak diomelin."

Hatiku miris mendengarnya. "Baiklah, Gadis Mungil. Ayo, kita sekolah!"

Angel berlari riang menuju rumah yang disebutnya sekolah. Aku mengikutinya di belakang. Terlihat beberapa anak kecil duduk sambil membaca buku di depan sekolah. Meski hanya beralaskan tanah dan beratapkan langit, mereka terlihat begitu senang.

Tuhan, adakah yang ingin Kau berikan kepadaku lagi di sini?

Hatiku merasakan ada sesuatu di sini, tapi entah apa.

Terdengar suara bariton seorang cowok sedang mengajarkan anak-anak membaca dari dalam. Seketika hatiku menghangat.

Angel menyibakkan tirai usang yang digunakan sebagai pintu. "Ayo, Kak. Masuk!"

Aku mengangguk, lalu memasuki pintu. Rasanya aku menemukan dunia ajaib. Aku benar-benar bahagia. Kulihat ruang kelas yang dipenuhi banyak warna. Bukan warna cat di dinding, tapi warna pada gambar-gambar yang ditempel. Sungguh tak pernah kubayangkan. Seolah dunia kanak-kanakku terulang kembali.

Aku terus mengamati ruangan yang tak seberapa besar ini hingga ada seseorang menyentuh bahuku.

"Kamu volunteer baru di sini?"

Mataku mengerjap ketika menangkap sosok bersuara bariton itu. "Bu-bukan. Aku cuma—"

"Ini temanku, Kak." Angel menggenggam jemariku, lalu dia melihat ke arahku. "Namanya Kak Brina."

Aku tersenyum melihat wajah polosnya. Lalu, kulihat cowok yang sedari tadi menatapku. Kuulurkan tangan kananku ke arahnya. "Namaku Sabrina."

Dia menyambut uluran tanganku. "Namaku Adera."

Cowok bernama Adera itu melemparkan senyum miringnya kepadaku. Manis.

Perlu diketahui mengenai Adera. Dia kurus, sedikit berisi, rahangnya tegas, bersih, rapi, dan cukup menarik. Tingginya melebihi kepalaku. Kalau diukur, tinggiku hanya sebatas bahunya. Oh, bukan. Aku beberapa senti di bawah bahunya.

Ah, aku suka kesal menyadari kalau diriku pendek.

Adera kurang lebih seperti Sadam. Bedanya dia tampak lebih dewasa, sedangkan Sadam ....

MAHKOTA KERTAS [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang